Part 2

1562 Words
Karena penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, Aleesa mendekati suara itu. Rasa ingin tahunya mengalahkan etika. Dia tahu, tidak sopan menguping pembicaraan orangtua, Tapi dia sangat ingin tahu pembicaraan mereka. Ia menduga, pembicaraan itu ada sangkut pautnya dengan dirinya. "Yah, Bunda nggak setuju kalau Aleesa jadi dokter. Dia itu ceroboh. Ayah masih ingatkan bagaimana dia mendorong Nela ke kolam? Untung Si Inah lihat dan buru buru nolongin, coba kalau tidak? Bunda nggak tahu apa yang terjadi pada Nela." "Kejadian itukan sudah lama, Bun. Lagi pula, saat itu Aleesa masih kecil, mungkin ia hanya ingin bercanda." "Ayah selalu saja membelanya, padahal ayah tahu sendiri, sejak bunda mengandungnya, ada saja kesialan menimpa keluarga ini... Wendy lah sakit nggak sembuh-sembuh, bahkan ayah sempat selingkuh dengan perempuan lain! Saat melahirkannya, bunda hampir saja mati karna pendarahan. Setelah dia lahir, ayah dimutasi ke Kalimantan. Dan nyawa Nela hampir saja melayang karena ulahnya. Terus kalau dia jadi dokter, lalu pasiennya kenapa kenapa karena kecerobohan dan kesialannya itu, kan, kita juga yang kena getahnya! Pokoknya Bunda nggak setuju kalau dia masuk kedokteran!" "Bunda, sudahlah, walau bagaimanapun, Aleesa itu putri kita. Dia lahir dari rahim kamu. Sudah sewajarnya kalau kita mendukung dan mewujudkan cita citanya." "Yah, Bunda tahu kewajiban kita sebagai orang tua, tapi bunda nggak mau keluarga ini terkena sial lagi karena keberadaannya di rumah ini. Lihat sekarang, belum satu bulan dia tinggal bersama kita, tapi sudah bikin Pengangkatan ayah sebagai direktut HRD di cancel. Bunda khawatir, semakin lama dia di sini, bisa bisa, Ayah nggak jadi di angkat, lagi pula bukannya dia dapat beasiswa di Surabaya, kenapa tidak ambil itu saja?" Mendengar ucapan bunda, lutut Aleesa gemetar, ia tidak ingin jatuh pingsan di tempat itu. Perlahan ia menjauh dan kembali ke kamarnya. Dihempaskannya raga ke kasur putih yang masih tertata rapi. Rasanya ia tidak sanggup lagi menahan sesak di d**a. Dibiarkannya air mata tumpah membanjiri bantal, ia ingin menangis sepuasnya. Agar himpitan itu tidak lama bercokol di d**a. Ia tidak ingin sakit di hatinya menjadi benci, ia tidak mau menyimpan dendam pada orangtuanya. Sesakit apa pun perlakuan bunda padanya, dia tetap ibunya, wanita yang telah mempertaruhkan nyawan untuk melahirkannya. Aleesa menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Sejenak ia tertegun mengingat kembali ucapan bunda. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini. Sekarang dia tahu mengapa orangtuanya menitipkannya pada Pakde, ternyata karena dianggap pembawa sial. Sekarang tekadnya sudah bulat untuk mengambil PMDK yang di berikan pihak sekolah. dengan begitu, ia tidak perlu tinggal bersama orangtuanya. Aleesa beranjak dari timpat tidur, lalu merapikan barang barang. Dimasukkannya semua barang pribadinya ke dalam koper. "Aleesa! disuruh kebawah sama Ibu!" ujar bi Inah dari luar mengetuk pintunya. "Iya, Bik, nanti aku turun," jawabnya singkat. Bergegas Aleesa menuruni tangga dan menemui ayah bunda di ruang tv. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, ia diam dan menunduk, ia berusaha menyembunyikan matanya yang memerah. "Aleesa, ayah dan bunda sudah diskusi. Biaya kedokteran itu sangat mahal, kakak kamu Nela saja belum selesai. Kamu tahu kan kalau Nela kuliah kedokteran di universitas swasta? Biayanya sangat mahal. Jadi kalau kamu kuliah kedokteran lagi meski di universitas negri, ayah belum sanggup membiayai kuliah kamu. Jadi kami harap kamu mau mengambil beasiswa PMDK itu. Kamu tinggal saja di Surabaya, kost di sana. Ayah akan rutin kirim uang bulanan untuk kamu.” "Iya, Yah." jawab Aleesa singkat, matanya lekat menatap lantai. "Ya sudah, kalau begitu besok kamu cari tiket kereta, agar segera berangkat ke Surabaya... Ini uang buat beli tiket." Ayah meletakkan uang lima lembar berwarna merah. Aleesa menunduk mengambil uang itu. "Eca kembali ke kemar, Yah, Bun." ucapnya lembut, suaranya terdengar parau. Ayah mengangguk. *** Pagi ini, Alessa bersiap berangkat ke Surabaya, rumah terlihat sepi. Ayah sudah berangkat ke kantor, Nela sudah berangkat ke kampus. Wendy masih berada di kamarnya. Sedangkan bunda, pergi ke arisan. Aleesa menarik napas dalam, dia ingin pamit, tapi tidak tahu pada siapa. Bik Inah pembantu di rumah itu pun sedang pergi ke pasar. Aleesa memutuskan berangkat tanpa pamit pada siapa pun. ** Dua tahun kemudian "Astaga, Aleesa....lo, makan mie instan terus, ngga bosan apa?" tanya Yasita teman sekamarnya "Ini bukan masalah bosan, Ta! Tapi ini masalah bertahan hidup. Dari pada gue mati kelaperan, mending makan mie instan," jawab Aleesa sembari menyantap menu rutinnya. Yasita memandang takjub, dia belum pernah melihat orang makan mie selahap itu. “Emang bokap, lo, nggak ngirim duit sama sekali?” Alessa tidak menjawab, ia hanya tersenyum sembari menikmati mie di piringnya. Untung ada Mie instan, coba kalau tidak, dengan cara apa ia berhemat. Puasa Nabi Daut rutin dikerjakannya bahkan sering nyambung ke puasa senin kamis. Uang bulanan yang dijanjikan ayah, hanya dikirim dua bulan pertama di awal kuliah, setelah itu, ayah tidak pernah mengirim lagi. Jadi dia harus bisa membiayai semua kebutuhannya. Untungnya dia dapat beasiswa, jadi masih bisa bertahan hingga semester enam saat ini. Aleesa tidak mau merengek memohon uang bulanan pada ayah. Menurut hematnya, kalau memang ayah dan bunda ingin membiayai hidupnya, tidak perlu ditelphon berkali kali. Dia sudah pernah beberapa kali menghubungi ayah, tapi panggilannya tidak diangkat. Nelphon bunda, dia pikir keadaanya akan sama. Untungnya Aleesa diterima menjadi guru privat di salah satu bimbel, walau hasilnya tidak banyak, tapi cukuplah untuk bayar kost dan biaya hidup sehari-hari. Kadang dia mencari tambahan dari megerjakan tugas teman temannya. Berapa pun uang yang mereka beri sebagai upah, Aleesa sangat berterimakasih. "Alhamdulillah, kenyang," ujar Aleesa sembari mengelus perut. Yasita menggeleng, ia juga pemakan mie instan sejati, tapi tidak segila Alessa. Palingan kalau uang bulananya habis buat lisptik atau beli barang barang lain, baru lah di akhir bulan ia makan mie instan. "Sa.. liburan semester ini, ikut gue ke Bali, yuk." Ajak Yasita. "Ngapain?" "Cari duit lah. Jangan lo kira bisa makan tidur gratis nebeng gue." "Hm, kirain…” candanya. “Tapi gimana cara nyari duitnya? Gue kerja apa aja mau, asal jangan angkat rok!" "Tenang saja... angkat rok atau tidak, itu tergantung kesepakan lo sama klien." "Heh, maksud, Lo" "Aleesa, Lo kan cakep, tampang unik... laku, lo, jadi lady escort." " Lady escort itu pekerjaan seperti apa?" "Lo nggak up to date banget, sih! Gugling, donk!" "Ngga punya kuota, nyalain donk hotspot, Lo, he?" pinta Aleesa menaikkan alis. "Dasar miskin.” Celetuk Yasita kesal. “Lady escort itu cewek yang dibayar untuk nemenin seseorang. Semacam penggembira gitu, deh." ujarnya menjelskan. Aleesa tertegun sejenak, khawatir pekerjaan itu berhujung di tempat tidur. Karena dia sudah bertekad akan menjaga kado pernikahan miliknya hanya untuk suaminya kelak. "Woi, bengong lagi." Yasita melempar bantal ke wajah Aleesa. "Ntar dulu... gue lagi mikir! Gue, kan takut kalau salah langkah." "Gue nggak maksa, terserah lo saja. tapi ini kesempatan lo dapat duit banyak. Kalau seteju, besok pagi kita berangkat ke Bali." "Hem, tahu aja lo, Ta, gue lagi butuh duit. oke deh, Gue setuju." "Nah, gitu donk, semangat! Satu bulan ini pergunakan kesempatan lo buat cari duit yang banyak, biar ngga ngutang terus sama gue!" Aleesa cengir kuda mendengar ocehan Yasita, Mulut sahabatnya itu memang nyinyir, tapi ia merasa Yasita memiliki hati yang baik. Cuma dia yang sanggup tinggal sekamar dengannya. Dulu sebelum bertemu dengannya, hampir setiap bulan Aleesa pindah kost. Mencari teman yang mau berbagi kamar dengannya. Tapi, lagi-lagi baru satu bulan, teman sekamarnya tidak tahan tinggal denganya. Mungkin mereka merasa terganggu sebab di akhir bulan Aleesa sering cari pinjaman uang untuk makan. Cuma Yasita yang sanggup berbulan-bulan tinggal sekamar dengannya. ** "Ta, uang gue hanya cukup untuk sekali jalan tanpa makan. Jadi karena lo yang ngajak, jadi lo harus tanggung jawab sama perut gue." "Musibah banget punya temen miskin seperti, lo!" grutu Yasita "Gue ganti kalau sudah punya duit!" "Dua kali lipat!" "Itu namanya lintah darat!" Yasita tertawa melihat wajah masam Aleesa. Setelah menempuh Perjalanan sekitar 10 jam akhirnya mereka pun tiba di pantai Gilimanuk. "Yuhui ... I'm coming Bali ...." Teria Aleesa. Ia melompat kegirangan. Ini kali pertama dia menginjakkan kaki di pulau dewata. dihirupnya udara pantai yang segar, angin berhembus lembut menyapu wajahnya. “Dasar norak!” celetuk Yasita sembari beranjak. Ia memberhentikan taxi yang lewat. Setelah taxi berhenti keduanya naik. "Bang, Nusa Dua, ya," ujar Yasita memberi instruksi. Taxi segera membawa mereka menusuri jalanan. Sesekali Aleesa tersenyum simpul, tidak pernah terpikir sebelumnya ia tiba di pulau indah ini. Saking hikmadnya menikmati perjalanan, ia tidak sadar kalau mereka sudah sampai di tujuan. Ia bergegas bergegas turun mengikuti Yasita. Villa Garden Nusa Dua, sebuah tulisan yang dihiasi lampu warna warni sangat menarik perhatian Aleesa. Dia mengikuti Yasita yang berjalan lebih dulu menuju lobi. " Selamat sore Mba, Saya Yasita dari Surabaya. Saya ada janji dengan pak Bram, bisa tolong panggilkan?" Pintanya ramah. "Oh, Baik, Mbak Yasita, silakan tunggu sebentar, saya akan panggilkan." Tidak menunggu lama, keduanya diantar oleh salah satu staff hotel ke sebuah ruangan. "Indah sekali ruangan ini." gumam Aleesa. Matanya liar memperhatikan sekeliling. Ruangan tertata rapi, sofa putih terkesan mewah membuat siapa saja yang melihat pasti ingin duduk diatasnya. Staff yang membawa mereka ke ruangan itu pamit keluar meninggalkan Aleesa dan Yasita. Sejenak Aleesa menatap Yasita seolah minta penjelasan tentang semua itu. Yasita hanya tersenyum, tanpa berkata sepatah katapun. Baru saja Aleesa ingin bicara, pintu terbuka. Seorang lelaki paruh baya dengan jas hitam dan berdasi merah, muncul dari balik pintu. Yasita segera beranjak dan menghampiri. "Halo, Pak Bram ....," sapanya. Keduanya saling merangkul sembari mencium pipi kanan dan kiri. "Halo juga Yasita, apakabar? Makin cantik saja kamu!" jawab Bram sembari mencubit genit pipi Yasita. Aleesa mematung melihat pemandangan di depannya, ia tampak risih. Tubuhnya kaku saat lelaki itu melirik ke arahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD