Part 4

1238 Words
"Kalau kamu tidak mau menemaniku berdansa, bagaimana kalo setelah makan nanti, kita nonton film?" " Terserah Mister saja, asal pulangnya jangan terlalu malam." "Oke. aku setuju soal itu." Perbincangan keduanya terhenti saat pelayan datang mengantarkan menu pesanan. Jose tertegun melihat Aleesa yang hanya memakan sayuran. "Kamu vegetarian?" tanyanya. Aleesa berhenti nyendok sayur mendengar pertanyaan Jose. "Hm? Tidak, Mister!" Jawabnya menggeleng. Mata keduanya saling beradu, tapi hanya sebentar, Aleesa segera berpaling, ia grogi. "Tapi yang kamu sendok semua sayur!" protes Jose "Em, ...." Kata-kata Aleesa seperti tersangkut di tenggorokan. ia tidak tahu bagaiman memberitahu pria asing itu jika sebenarnya ia ragu dengan kehalalan ayam dan daging yang tersaji di meja. Ia lebih nyaman makan sayur. "Tidak suka makananya?" tanya Jose penasaran. "Suka, hanya saja ..." Lagi-lagi kalimat Aleesa kembali terputus, lidahnya kelu untuk meneruskan kata katanya. Tapi sepertinya ia harus jujur, agar Jose tidak salah paham. "Begini Mister, saya muslim, banyak aturan agama yang harus saya patuhi sebagai bentuk ketaatan pada Tuhan saya. Terutama soal makanan, ada beberapa makanan yang tidak boleh saya makan" Diliriknya Jose, memastikan lelaki itu tidak tersinggung. Kali ini dia pasrah, apabila pria asing itu marah dan komplen pada Pak Bram. Ia akan berhenti dari pekerjaan itu dan mencari pekerjaan lain. Jose memandang menu di meja. "Tunggu sebentar," ujarnya beranjak. Ia melangkah mendekati Derry yang sedang berdansa dengan Ayin. Terlihat Derry mengeluarkan kunci mobil dari sakunya lalu diserahkan pada Jose. Jese kembali berjalan mendekati Aleesa. "Nona Aleesa, ikut denganku." pintanya Sejenak Aleesa mematung. Belum sempat ia berpikir, Jose sudah beranjak meninggalkannya. Dengan cepat Aleesa mengambil langkah seribu, mengikuti Jose yang sudah beberapa langkah di depannya. Jose membuka pintu mobil lalu mempersilakan Aleesa masuk. Setelah menutup pintu kabin di samping gadis itu, Jose berjalan berputar menuju pintu supir. Lalu melacu mobil dengan kecepatan sedang. Semua jalanan tampak asing bagi Aleesa. Nyalinya mulai ciut, ia cemas dengan keselamatannya. Siapa yang bisa menjamin lelaki asing itu tidak akan berbuat macam-macam padanya? Aleesa siaga penuh, jikalau ada gelagat mencurigakan yang ditampakkan lelaki itu, ia akan nekat lompat. Mobil melaju kencang lalu melambat dan masuk ke sebuah restoran. Aleesa tertegun membaca tulisan di gerbang restoran itu. Moeslim Food. Belum sempat ia menebak apapun, Jose menyuruhnya turun. Perlahan Aleesa keluar kemudian kembali menutup pintu mobil dan mengikuti Jose dari belakang. "Duduk!" ujar Jose sembari menyodorkan album menu. Aleesa melirik wajah lelaki itu, memastikan semua baik-baik saja. Setelah memesan menu, Jose menatap tajam pada Aleesa. Perasaan gadis itu tidak enak, entah pekerjaan seperti apa yang dilakoninya. "Kamu Mahasiswi semester berapa?" "Masuk semester akhir. Mister," jawabnya takut-takut. Jose menyandarkan punggungnya ke kursi. "Masih punya orangtua?" "Mm, ... Masih." Jawa Aleesa mengangguk. Jose mengangguk anggukkan kepalanya, matanya lekat menatap Aleesa. Gadis itu risih ditatap seperti itu. Ia takut Jose berpikir macam-macam tentangnya. tapi mau pembelaan seperti apa yang ingin dilakukannya? Nyatanya dia ada di sini bersama pria asing itu. Apa dia harus bilang terjebak? Dijerumuskan? Tentu saja itu tidak sepenuhnya benar. Dari awal Yasita sudah memberitahu kisi kisi pekerjaan itu padanya. Hanya saja saat itu karena benar-benar ingin terbebas dari kesulitan uang, Aleesaa tidak pikir panjang. Ia tidak berpikir akan benar benar menemani lelaki kesepian. Tidak lama menunggu, pesanan keduanya datang. Aleesa menyantap dengan lahap hidangan mewah didepannya. Persetan dengan prasangka pria asing itu, yang penting saat ini dia bisa perbaikan gizi. "Ayo, kuantar pulang!" ajak Jose setelah selesai makan. "Tadi katanya selesai makan, Mister mau nonton?" protes Aleesa. "Nona cantik, mata kamu sudah merah, sebaiknya kita pulang saja!" "Tapi saya belum mengantuk, Mister. Sungguh!" "Hah... Yang benar saja, Aku yakin sebelum filmnya habis kau pasti sudah tertidur!" "Tidak akanl!" bantah Aleesa, berusaha meyakinkan bahwa dia tidak mengantuk. "Oke, kita lihat sekuat apa matamu menahan kantuk!" Benar saja dugaan Jose, Aleesa tertidur di bioskop sebelum filmnya selesai. Jose memandang gadis disampingnya, temaram cahaya lampu membuat wajah gadis itu bertambah cantik. Jose tidak sampai hati membangunkan gadis itu, ia terlihat sangat lelah. Tapi tidak mungkin dia mengangkat tubuh gadis itu ke mobil. Akhirnya Jose memapah Aleesa menuju parkiran. ** Pagi ini, Mentari bersinar cerah, Cahayanya masuk melalui celah jendela. Aleesa terbangun. Didapatinya selimut putih rapi menutup setengah badannya. Matanya tertuju pada tirai putih yang tergantung di jendela kaca tepat disampingnya. Ia mencoba mengingat apa yang tengah terjadi, mengapa ia ada di kamar itu? Bukankah tadi malam ia nonton di bioskop bersama Jose? Lalu ini kamar siapa? Panik. Aleesa benar-benar panik. Reflek ia meraba sesuatu di dadanya. Memastikian pakaiannya masih menempel di tubuhnya. Gadis itu berucap syukur mendapati pakaiannya masih utuh dan rapi, bahkan jilbabnya pun masih melekat di kepala. Matanya tajam menyisir sekeliling. Sepi. tidak ada sesiapa pun di kamar itu. Ia menyimpulkan bahwa Jose mengantarnya ke kamar yang telah disiapkan Pak Bram untuknya. tanpa curiga apapun, ia mencari toilet di kamar itu. Saat menemukannya, langsung saja ia membuka pintu. Saat pintu terbuka ia terkejut melihat Jose tanpa busana sedang mengeringkian badan dengan handuk. Sontak ia menjerit dan menutup pintu kembali. “Aa…” Bam!! Aleesa berlari menjauh. "Gila tuh bule, kenapa mandi pintunya tidak di kunci? Oh Tuhan, bagaimana ini?" grutunya sembari meremas jemarinya sendiri. Ingin rasanya ia sembunyi di dalam laci, saat melihat Jose keluar dari toilet. “Hei Nona, kalau mau ke toilet ketuk dulu pintunya! Jangan asal masuk saja!" ujarnya sembari berdiri tepat di depan Aleesa sambil berkacak pinggang. "Ma- maaf Mister, saya pikir hanya saya yang ada di kamar ini!" jawabnya menunduk dalam, ia tidak berani menatap lelaki itu. "Lagi pula, kenapa mandi pintu tidak dikunci, dasar bule sinting!" grutunya pelan "Apa kamu bilang?" Jose mendekat, mencoba memperjelas celetukan gadis dedepannya. Aleesa mundur beberapa langkah dengan mata tertunduk ke lantai. Ia risih melihat Jose bertelanjang d**a seperti itu. Ia berusaha menepis pemandangan memalukan tadi yang tidak mau pergi dalam pikirannya. Melihat Aleesa seperti orang ketakutan, Jose menjauh, lalu mengambil baju di dalam lemari. Setelah berpakaian rapi, dia menghubungi kafe, dan meminta sarapannya diantar. "Antar sekarang!" pintanya seraya menutup telpon. Aleesa menoleh, tanpa bertanya ia menyimpulkan sendiri maksut ucapan Jose di telpon. Dia pikir, pekerjaannya sudah selesai dan bule tampan itu menyuruh seseorang untuk menjemput dan mengantarnya pulang. Aleesaa pura-pura merapikan jilbabnya, berharap Jose akan memberinya uang seperti yang dijanjikan Yasita padanya saat di Surabaya. Tapi, ia tidak melihat tanda-tanda bule itu akan mengeluarkan uang dari dompetnya. Aleesa berharap jika tidak dibayar penuh, setengahnya saja pun ia sudah senang. Ia sangat mengharapkan uang itu. Mendengar seseorang membunyikan bel, Aleesa segera beranjak dari duduknya. lalu berpamitan pada Jose. Dia mencoba berprasangka baik, mungkin uangnya sudah dititipkan pada Pak Bram. "Saya pamit, Mister, terima kasih sudah memperlakukan saya dengan baik, mengajak saya berkuda, makan dan nonton. Saya minta maaf jika pelayanan saya kurang profesional." ujarnya formal, seolah sedang bicara dengan dosennya di kampus. Jose mengernyitkan dahi menatap Aleesa, tanpa mempedulikan ucapan gadis itu, ia berjalan ke pintu dan membukanya. Aleesa mengikutinya dari belakang "Ini sarapannya, Mister." Seorang pramusaji membawa meja troli makanan yang ditutup dengan kain putih. "Oke, thank you." Jose menarik meja itu lalu menutup pintu kembali. Mata Aleesa membulat, wajahnya merona menahan malu. Pelan ia mebalikkan badan membelakangi Jose. "Tidak jadi pergi?" tanya Jose mengejek. Aleesa menggigit bibir bawah, dan memejamkan mata, lalu berbalik kembali menghadap bule bermata biru itu. Diliriknya makanan di meja troli itu. Perutnya terasa lapar, tapi sudah terlanjur pamit. "Eee, Jadi," ujarnya sembari menunduk lalu berjalan ke pintu keluar. Rasanya ia sudah tidak sanggup menahan malu. Mungkin belum rezekinya menyicipi hidangan lezat itu. Jose tersenyum kecut, memandang punggung Aleesa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD