Part 3

1250 Words
Aleesa risih dengan tatapan lelaki itu yang seolah ingin menelanjanginya. Mata leleki itu penuh selidik, Aleesa bergeming. Melihat sahabatnya masih diam mematung, Yasita menaikkan alis matanya, seolah memberi kode agar Aleesa segera menyapa lelaki paruh baya di depannya. Aleesa gugup, tapi dia tahu tidak mungkin bertahan terus dengan sikapnya. Perlahan ia mendekat, "Selam kenal, Pak" sapanya. Untuk beberapa saat ia diam, ada keraguan di hatinya. Melihat Yasita membulatkan mata menatapnya, Aleesa sedikit membungkuk sembari menjulurkan tangan pada Bram. Saat hampir tersentuh, buru-buru Aleesa menarik tangannya. Lelaki berkulit kuning langsat itu tersenyum, entah apa arti senyum itu, yang jelas membuat Aleesa berkidik. "Pak, ini Aleesa yang kuceritain itu, cantik, bukan?" tanya Ysita memecah keheningan. "Ow, ini...., iya, dia cantik. Good job, Yasita." ujar Bram menoleh pada Yasita sembari menaikkan alisnya. Aleesa mengernyitkan dahi mendengar percakapan keduanya. Ada apa ini? Apa yang mereka bicarakan? Apa yang dirahasiakan Yasita? Pertannyaan itu silih berganti di kepalnya. "Nah, karena kalian berdua sudah datang, saya ingin mengajak kalian makan, kalian belum makan, bukan?" "Pak Bram tahu saja kalau kami belum makan?" Jawab Yasita manja, ia santai saja glendotan pada pria paruh baya itu. Sebuah senyum lebar terukir di wajah Bram, "Saya sudah siapkan makanan istimewa untuk kalian, mari ikut saya!" Setelah mengangguk, Yasit menarik tangan Aleesa yang masih diam mematung. Kemudian mempercepat langkahnya, ia mensejajarkan posisinya berjalan di samping Pak Bram. Aleesa mengikuti dari belakang. Matanya nanar memandang ke kanan dan kiri. Ia ngeri melihat megahnya hotel itu, ia bisa menebak, pasti tidak sembarangan orang bisa menginap di tempat itu. Sesampainya di sebuah ruangan, Bram mempersilakan kedua tamunya untuk duduk. Tidak perlu lama menunggu, makanan segera datang tersaji. Makanan ditata dengan rapi, tampak berbagai menu terhidang di sana. "Sebelum kita mulai makan, saya akan memberi sedikit pengarahan tata cara dan estetika makan. Hal ini akan berguna saat kalian menemani klien makan di luar sana." Bram menjelaskan dan mempraktekkan cara memegang sendok ala Eropa. Aleesa dan Yasita bergantian di bimbing selama satu jam. Setelah dianggap layak, Bram menyerahkan mereka pada Dewi untuk mengurus segala keperluan keduanya. "Untuk hari ini, kalian istirahat dulu, besok mulai lah bekerja!" ujar Dewi menyerahkan kunci kmar pada Yasita. "Tank you, Mba!" ujar Yasita. ** Aleesa menatap cermin di depannya. Tak pernah terbayang sebelumnya, wajahnya secantik itu jika di poles dengan make up. Diliriknya Yasita di sampingnya, ia takjub melihat sahabatnya itu. Yasita tampak cantik dan seksi dengan baju dress di atas lutut yang di pakainya. Aleesa tetap memakai hijab, penampilannya dibiarkan natural oleh Dewi. Busana muslim yang dipakainya terkesan modis dan supel. Yasita di bawa ke ruang lain, sedang Aleesa dibawa ke ruang tunggu, tempat pertama ia bertemu Bram. Sambil menunggu instruksi selanjutnya, Aleesa membaca majalah di samping sofa, mencoba menenagkanm diri. Ia benar-benar tidak tahu pekerjaan apa yang akan dilakukannya. Tidak terasa tiga puluh menit sudah menunggu. Saat pintu dibuka, reflek ia menoleh. Terlihat salah satu staff hotel masuk. "Mba Aleesa, mari ikut saya!" ujarnya sopan. Aleesa mengangguk, lalu mengikuti lelaki itu. Saat sampai di halaman belakang, seorang gadis berbaju seksi di dalam mobil sedan hitam memanggilnya. Ragu-ragu, Aleesa naik dan duduk di samping wanita itu. "Hai, aku Ayin." sapanya ramah. "Hai juga, aku Aleesa," balasnya tersenyum kaku. Aleesa menarik napas dalam, ia terlihat gugup. Ia merasa seolah sedang berada di dunia yang berbeda. Dunia yang tak pernah terbersit di kepalanya. "Aleesa, turun, kita sudah sampai," ajak Ayin. Mata Aleesa bulat menatap sekeliling lalu bergegas mengikuti Ayin dari belakang. Tak jauh di depan, ia melihat Pak Bram sedang berbincang dengan dua pria bule. "Halo, Ayin ... Aleesa ... Kenalkan ini Mr. Jose dan Mr. Derry, tamu tamu kita." Ayin segera menyapa dua pria bule itu sambil menempelkan pipi kanan dan kirinya pada pipi ke dua bule itu secara bergantian. Aleesa enggan melakukannya. Walau dipenuhi rasa takut, ia tetap bertahan untuk tidak bersentuhan dengan kedua bule itu. Ia memberi salam dengan menutup kedua telapak tangannya dengan membungkukkan sedikit badannya. Kedua bule itu hanya mengangguk merespon salamnya. Ayin mengambil posisi di samping Derry, sedangkan Aleesa masih mematung di samping Pak Bram. Lelaki paruh baya itu kembali mengajak kedua bule itu mengobrol. Dari kejauhan terlihat dua petugas mendekat menuntun kuda. Derry mengajak Ayin naik di belakangnya. Jose melakukan hal yang sama, ia naik ke atas kuda yang satunya. ditolehnya Aleesa yang masih diam mematung. "Hai Nona, ikutlah denganku?" ujarnya. Bram menatap Aleesa, seolah memberi kode agar segera naik ke belakang Mr. Jose. Dengan perasaan tak menentu, Aleesa naik ke atas plana kuda di belakang Jose. Sebenarnya bukan naik kuda yang ditakutinya, Aleesa cukup mahir menunggang kuda. Ia risih duduk terlalu dekat dengan orang asing. Tapi sepertinya dia tidak punya pilihan. Setelah Aleesa duduk di belakangnya, Jose menarik tali kendali, lalu menepak perut kuda dengan kakinya dan segera menyusul Derry dan Ayin. Aleesa melirik gadis yang baru dikenalnya itu, gadis itu terlihat akrab dengan Derry. Sesaat kemudian, ia mengalihkan pandangannya pada punggung pria berkaos putih di depannya. Aroma parfum maskulin, membuat paresaan Aleesa tidak menentu. Setelah beberapa menit menunggang kuda, mereka memasuki area pantai. Karena hari ini bukan hari libur, pantai cukup lengang sehingga wisatawan bebas berkuda di pinggir pantai. Melihat pantai seperti itu, Aleesa teringat pantai Baron tempatnya dibesarkan, tempatnya dan Edi sering berlatih menunggang kuda. Tidak terasa matahari mulai meredup, mereka kembali ke lokasi awal. Sebuah mobil sedan menghampiri. Derry mengambil alih kemudi. Sedangkan Jose membuka pintu belakang dan mempersilakan Aleesa masuk, keduanya duduk bersebelahan. Sedangkan Ayin duduk di depan bersama Derry. Mobil pun melesat meninggalkan pacuan kuda. "Kita makan dulu, oke?" ujar Derry. "Oke Mr. Derry, dengan senang hati," sahut Ayin manja. Jose diam saja, sesekali ia melirik Derry yang fokus mengendalikan setir. Sepanjang perjalanan hanya suara Derry dan Ayin yang saling bersahutan. Sedangkan Aleesa dan Jose, diam seribu bahasa. Sejujurnya, bukan Aleesa tidak mau membuka percakapan dengan pria asing itu, ia takut jatuh cinta. Mungkin ini terdengar gila. Tapi karisma yang dimiliki jose sungguh luar biasa. Memandang wajahnya saja ia tidak berani apalagi menatap matanya. ** Aleesa melirik Ayin yang duduk dengan tegak, ia tampak profesional. Aleesa berusaha mengikutinya dengan menegakkan punggung dan kedua tangan dipangkuan, sambil berjuang menahan mata agar tidak melirik Jose. wanita mana yang tidak grogi memandang wajah tampan itu. Aleesa benar-benar takut jatuh cinta pada orang asing itu. Derry mengajak Ayin berdansa, sepertinya mereka sangat menikmati suasana. Berbeda dengan Jose, ia tampak lebih santai. Aleesa bersyukur karena Jose tidak seagresif Derry. Ia berharap sikap Jose yang santai itu bukan karena kecewa padanya yang tidak profesional seperti Ayin. "Nona, jangan suka melamun, nanti kecantikanmu berkurang." Bisik Jose. Aleesa tersentak dari lamunanya. Ia hanya tersenyum kaku membalas ucapan Jose. Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa, dia benar-benar tidak mengerti harus apa. yang jelas, dia enggan melakukan seperti yang dilakukan Ayin. "Kamu tinggal di mana?" Tanya Jose. mencairkan kekakuan mereka berdua. "Di Surabaya, Mister" jawabnya singkat. "Hm..." angguk Jose. "Mau dansa denganku?" "Ee, boleh menolak?" "Kalau aku jawab tidak?" "Ee.. memangnya Mister tidak keberatan dansa dengan wanita berbusana seperti ini?" "Tidak, jika kamu pun tidak keberatan dansa denganku?" jawabnya sembari menggerakkan bahunya. "Kalau saya keberatan?" "Tentu saja tidak jadi. Aku tidak suka memaksa seorang gadis." "Begitu saja? Tidak ada konsekuensi apa pun yang akan saya terima?" "Apa Bram mengancammu?" "Tidak, sama sekali tidak." "Kalau begitu, kenapa aku harus menghukum gadis cantik sepertimu hanya karena tidak mau diajak berdansa denganku?" "Eee ...." Aleesa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia tidak tahu harus jawab apa. Ia melirik pria asing di depan, walau ada rasa takut, jauh di dasar hatinya, ia kagum dengan pria berwajah tampan itu. Sejauh ini, sikapnya cukup sopan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD