Bagian 4

1982 Words
Dua hari satu malam di rumah sakit, Arkana akhirnya boleh pulang. Aku terpaksa izin lagi hari ini untuk menjemputnya.        Sekarang ia di kamar beristirahat. Sementara aku dan Mama ngobrol di ruang tamu. Setelah ini aku akan mengantar Mama pulang.        Tapi ada satu hal tak terduga. Huff .... Harusnya aku sudah menduga hal ini sejak awal agar tak terkejut.       Sebuah mobil datang memasuki pelataran rumah. Kelihatan jelas dari ruang tamu ini karena jendela kaca rumahku cukup besar untuk mengawasi sejauh pandang, setiap sudut halaman depan.        Seorang laki - laki paruh baya keluar dari mobil itu. Tingginya standar, badannya tidak terlalu bersisi, namun terlihat berotot dengan urat - urat yang menonjol. Ia mengenakan celana kain dengan atasan kaos pendek berkerah.        Aku dan Mama segera keluar. Mama nampak antusias. Bukannya bicara padaku, orang yang datang itu malah bicara pada Mama.        "Benar dengan Ibu Aida, ya?" tanyanya.        Perasaanku mulai tak enak. Namun masih belum cukup bukti atau pun petunjuk tentang apa yang sedang terjadi.        Mama sungguh semringah, tersenyum manis padanya, menyambutnya seperti menyambut bulan Ramadhan. "Iya benar. Anda pasti Pak Saptono, ya!"        "Iya benar, Bu. Saya Saptono, supir yang membawa mobil carteran, pesanan Ibu Ayana, yang dikirim ke mari untuk mengantar barang - barang Ibu Aida."        Baru lah sebelah alisku naik. Mengantar barang - barang katanya? Barang - barang apa? Untuk apa? Apalagi orang itu dikirim oleh Ayana, adik bungsuku yang tinggal dengan Mama.        "Alhamdulillah, si Aya gercep juga. Baru setelah Arkana dibolehin pulang tadi, Mama nyuruh dia beres - beresin barang Mama, terus sekalian minta tolong dipesenin mobil buat ngangkut. Eh, secepet ini udah dapet. Mana udah nyampek sini pula. Ya udah Pak Saptono, tolong sekalian angkat barang - barang saya ke dalem, ya. Ntar saya tambahin ongkosnya."        "Oh, iya - iya, Bu. Siap!" Pak Saptono kelewat senang.        Barulah aku punya cukup alasan untuk bertanya, atau lebih tepatnya melayangkan sebuah protes. "Ini ada apa sebenernya? Barang - barang apa yang dikirim ke sini? Mama mau apa sebenernya?"        Mama menyeringai. "Gitu aja kamu nggak ngerti, Nara. Halah, sebenernya kamu udah menduga - duga, kan? Iya, dugaan kamu bener. Apa Mama harus jelasin detail?"        "Mama mau nginep? Malem ini aja, kan?" Mama tak mengindahkan pertanyaanku.        Pak Saptono yang memanggul tas hitam besar. "Ini ditaruh mana tasnya, Bu?" tanyanya.        Mama masih fokus pada Pak Saptono. "Ayo, Pak, ikut saya!" Ia mendahului masuk rumah.        Aku membuntut mereka menuju kamar tamu. Barang diturunkan di sana.       Pak Saptono kembali ke mobil untuk mengambil barang lain. Tas lagi.        Pak Saptono kembali beberapa kali. Sampai - sampai aku melotot melihat lima tas hitam besar berjajar di lantai kamar tamu.        "M - Mama ...." Aku sampai tak sanggup berkata - kata. "O - oke. Aku bisa ngerti Mama mau nginep sini sementara untuk memantau perkembangan keadaan Arkana ...."        "Tepat sekali!" Mama memotong ucapanku.        "T - tapi ... Mama mau nginep berapa lama sampai bawa barang segitu banyak?"        Mama mengangkat bahu. "Mama juga belum tahu. Yang jelas Mama mau mantau keadaan Arkana sampai anak itu benar - benar sehat dan kembali seperti semula. Kamu tolong jangan larang Mama!"       "Aku nggak larang Mama, kok. Cuman ... Arkana sekarang bahkan udah membaik, Ma. Palingan besok atau lusa udah bisa balik sekolah. Tapi barang bawaan Mama kayak mau nginep di sini satu abad."        Mama tertawa keras. "Ya terserah Mama, dong. Ya kali Mama nggak boleh nginep di rumah anak Mama sendiri. Toh kamu nggak punya istri. Jadinya Mama bebas mau ngapain aja tanpa takut nyakitin perasaan menantu."        "T - tapi, Ma ...."        "Apa? Kamu takut privasi kamu keganggu. Tolong, deh, Nara. Kamu punya privasi apa, sih, yang harus dijaga dari Mama? Mama udah tahu segalanya dalam diri kamu. Mama yang lahirin kamu, rawat kamu, mandiin kamu dari bayi sampai kelas 5 SD. Baru, deh, kamu mandi sendiri sehabis sunat. Waktu sunat Mama juga yang rawat kamu, gantiin perban. Mama juga ...."         "U - udah, Ma, udah!" Aku segera menghentikan ucapan Mama sebelum semakin panjang kali lebar dan membuatku semakin malu.        Terlebih karena Pak Saptono masih ada di sini, mendengar semua percakapan kami. Apa - apaan, sih, Mama itu!        Mama melotot padaku karena ucapannya kupotong. Mama kini menjelma menjadi bom waktu yang siap meledak. Nanti saat ada kesempatan mengomeliku, pasti akan ia lakukan dengan sepenuh hati dan tanpa ampun.        Selesai mengangkat semua barang, Mama benar - benar memberi uang tip cukup banyak pada Pak Saptono. Dengan riang gembira laki - laki itu berterima kasih, berpamitan, dan akhirnya pergi.        Ya ... ini lah saatnya pertunjukan dimulai. Uhm, maksudku saatnya bom waktu meledak.        "Nara ... Nara .... Apa Mama bahkan punya alasan untuk nginep di rumah anak Mama sendiri? Terlebih karena saat ini cucu Mama sedang sakit?" Mama menatapku dalam, matanya yang sayu itu memelas.       Tidak, tidak .... Orang akan tertipu dengan jurus modus maut ala mamaku ini. Jurus modus yang kusebut sebagai playing victim kelas ... bukan kakap lagi, melainkan salmon.        Ini, lah, bom waktu yang kumaksud. Jurus Mama untuk dengan mudah mengantongi izinku untuk menginap di sini cukup lama.        "Mama sama sekali nggak menyesal melahirkan kamu. Anak Mama ganteng, pinter, tinggi, berkarisma. Beuh ... sempurna banget kelihatannya. Tapi kenyataannya, putra Mama ini punya kekurangan besar yang menutupi semua kelebihannya. Apa itu? Dalam darah putra Mama terkandung zat batuan alam yang sangat tinggi kadarnya. Mengakibatkan Anara yang begitu Mama sayangi, menjadi sebatu sekarang. Teramat sangat batu. Benar - benar batu! Sampai - sampai mamanya Arkana nggak betah, lalu kabur."       Aduh, telingaku sudah panas. Ingin rasanya aku membantah ucapannya lagi. Tapi karena diceramahi seperti ini, aku jadi sedikit melunak. Terlebih semenjak bertemu kemarin, aku banyak bersikap kurang ajar padanya. Aku tidak mau dicap anak durhaka, lalu dikutuk menjadi batu betulan.        "Namun seberapa batu pun kamu, Mama selalu tetep sayang kamu. Nggak pernah sekali pun Mama nggak anggep kamu anak. Apalagi ngeluarin kamu dari KK -- meskipun niat itu pernah ada. Tapi sekarang, saat Mama pengin nginep di rumah kamu, sikap kamu begini. Padahal Mama nggak pernah keberatan, tuh, kamu nginep di rumah Mama dari lahir sampai menikah -- ya meskipun setelah itu istri kamu kabur. Mama ...."        "Iya, Ma, iya. Nggak usah diterusin lagi. Mama boleh nginep di sini selama yang Mama mau." Akhirnya aku menyerah.        Mama tersenyum lebar. "Nah, begitu dong dari tadi!"        Hm, seberapa pun egoisnya aku. Nyatanya aku tak pernah bisa menang dari ibuku sendiri. Lebih baik membiarkan Mama tinggal di sini, dari pada hatiku semakin sakit  karena rentetan ucapannya. Terlebih sebab dia -- mama Arkana -- terus menerus disebut oleh Mama.        ~~~~~ SINGLE FATHER - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Ramli menugaskan aku mengirim email pada pihak pabrik kertas, salah satu produsen bahan mentah perusahaan kami. Sebagai informasi, perusahaan kami bergerak di bidang produksi ATK. Salah satu yang diproduksi adalah buku tulis. Untuk bahan baku kertas kami tidak membuat sendiri, melainkan mengambil hasil kerja pabrik yang sudah ahli di bidangnya.        Tiap kali berselancar di internet, aku jarang tertarik tentang apa pun yang tak ada hubungannya dengan urusanku. Sayangnya kali ini berbeda.        Sebelum membuka email, ada portal berita yang judulnya menarik perhatianku.        Seorang Remaja di Amerika Didiagnosa Kanker Otak Setelah Terjatuh        Aku ingin mengabaikan artikel itu. Tapi entah mengapa ada yang mengganjal dalam hatiku. Pasti karena kasus Arkana. Gara - gara ulah Lugas yang sembarangan mendiagnosa putraku dan meganjurkannya melakukan CT Scan segala.        Aku sudah hampir membuka artikel itu. Tapi setelah melihat jam digital pada sudut kanan bawah layar komputer, aku teringat bahwa email harus segera kukirim.        Kala aku menulis isi email, konsentrasiku buyar. Pikiranku masih tertuju pada artikel tadi. Sial.        Aki akhirnya hanya mengopi email terakhir yang kutulis pada mereka. Kemudian mengganti beberapa bagian yang perlu, serta melampirkan surat permintaan dengan tanda tangan Ramli.        Selesai, aku kembali pada halaman sebelumnya, membuka artikel tadi.        George Arthur Hernandez (16 tahun), warga Miami, Florida, Amerika Serikat telah didiagnosa mengidap kanker otak pada hari Sabtu, 15 Februari 2020. Kanker yang ia derita ternyata sudah mencapai stadium akhir.       Orang tua George, Robert Samuel Hernandez dan Linda Lupita Perez merasa sangat terpukul dengan berita buruk yang mendadak. Apalagi putra mereka saat ini dalam keadaan yang sangat lemah. Dokter masih mendiskusikan tindakan apa yang akan dilakukan untuk menyelamatkan George.        Linda berdalih bahwa selama ini George tak pernah menunjukkan tanda - tanda sedang sakit. Bahkan pagi hari sebelum George berangkat, di hari di mana ia terjatuh, George masih bersikap seperti biasa dan sehat-sehat saja. Sampai ia mendapat kabar bahwa putranya terjatuh, kehilangan keseimbangan, muntah berlebihan, dan berakhir dibawa ke rumah sakit oleh pihak sekolah.         Perihal penyakit kanker otak yang datang tanpa gejala ini, pihak American Daily News telah melakukan wawancara singkat dengan dokter yang menangani kasus George. "Kanker otak tanpa gejala bukan baru sekali ini terjadi. Sudah cukup sering sebenarnya. Kanker baru terlihat saat kondisi sudah parah, di mana harapan hidup pasien sangatlah sedikit," ujar dr. Alexander Leonardo Kent.         Sial. Kenapa yang dialami anak itu mirip dengan yang dialami Arkana? Tapi nyatanya putraku baik - baik saja sampai sekarang.        Aku malas membaca lanjutan artikel berita itu. Nanti aku malah berpikir macam - macam tentang keadaan Arkana.        Aku tersentak karena bunyi ponselku yang sebenarnya tidak terlalu kencang. Pasti efek membaca artikel berita tadi. Sial. Lagi - lagi sial.        Telepon dari Mama. Aduh ... kenapa pula Mama menelepon saat aku sedang kerja. Ingin rasanya kuabaikan teleponnya, tapi percuma karena nanti Mama pasti akan telepon lagi.        "Halo ...," jawabku malas - malasan.        Kudengar Mama terisak. Ada apa?        "Nara ... Nara ... cepat pulang!" Mama seperti kesulitan berkata - kata di sela tangisnya.        "Ada apa, Ma?" Jantungku berdegup cepat. Pengaruh sinkronisasi artikel yang membuatku menduga - duga dan juga kabar dari Mama ini.        "Arkana ... dia ... Arkana kejang - kejang, Nara. Cepetan kamu pulang, Mama nggak tahu harus gimana. Cepetan, Nara!"        Ya Tuhan ... katakan ini mimpi! Tolong, ini pasti mimpi, kan?         ~~~~~ SINGLE FATHER - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD