Seperti mimpi buruk

1333 Words
Tiga bulan kemudian. Rasa hangat tiba-tiba terasa di pipi Diandra. Ia menoleh saat sebuah gelas berisikan teh hangat menempel di pipinya. “Minum ini ... Bibirmu terlihat sangat kering,” ucap Yogi sambil tersenyum. Diandra mengambil teh hangat yang diberikan Yogi padanya. “Terima kasih.” “Sudah makan?” tanya Yogi sembari memberikan satu kantong kresek berisikan beberapa macam roti dan juga camilan untuk Diandra. “Kamu harus banyak makan. Ini semua demi kesehatan kamu. Menjaga orang sakit, kalo kita juga ikut sakit kan engga lucu.” Diandra menganggukkan kepalanya. “Aku tidak lapar,” jawabnya sembari melihat ke arah langit malam yang bertabur bintang. Yogi dan Diandra duduk di bangku rumah sakit. Angin malam berhembus perlahan. Membuat Diandra sedikit merasa dingin. Ia melipat kedua tangannya di depan dadaa. Yogi menghela nafas panjang saat melihat Diandra yang kedinginan dan wajah pucatnya. Ia melepas jaket yang dikenakannya dan memakaikannya pada Diandra. “Pakai ini,” ucapnya sambil menaruh begitu saja jaket miliknya di bahu Diandra. Diandra menoleh dan menatap Yogi yang selalu sangat perhatian padanya. “Kenapa jaket ini kamu berikan padaku? Nanti kamu kedinginan.” Yogi menggelengkan kepalanya. “Tidak usah. Kamu saja yang pakai. Walau kedinginan, aku kan sudah makan. Beda sama kamu yang belum makan. Nanti bisa masuk angin.” Diandra tersenyum simpul. Tatapannya berkaca-kaca. Buliran air mata menetes dari sepasang mata indahnya. Terasa hangat mengalir di pipinya. Dan kemudian Diandra buru-buru mengusap air mata yang mengalir itu. “Kenapa menangis?” tanya Yogi. “Apa keadaan Adam semakin buruk?” Diandra menggelengkan kepalanya. “Aku terharu.” Yogi mengerutkan dahinya. “Terharu? Kenapa?” tanyanya tidak mengerti. “Saat aku mengalami keterpurukan seperti ini. Kamu tetap bersamaku Yogi. Kamu selalu menemaniku di saat suka dan duka. Kamu memang seperti abangku, sahabatku dan juga ayahku.” Yogi tertawa ringan mendengarnya. “Berlebihan. Jika aku seperti ayahmu. Aku sudah sangat tua ....” Diandra menjadi ikut tertawa dan kembali mengusap air matanya yang tanpa disadarinya jatuh kembali membasahi pipinya. “Ingat, saat kita tumbuh bersama di panti asuhan?” “Tentu saja ingat. Sejarah tidak akan pernah bisa dihapus atau dilupakan,” jawab Yogi. “Kita tumbuh besar di sana. Dan kamu lah yang paling perhatian dan menyayangiku. Bagai seorang ayah, abang dan juga sahabat.” Diandra memeluk Yogi erat. Yogi terkejut saat Diandra memeluknya tiba-tiba. Tangannya yang terentang, seakan kaku untuk membalas pelukan erat Diandra. Yogi menghela nafas panjang. Rasa cintanya yang terluka dan patah hati saat Diandra lebih memilih Adam, sudah susah payah disembuhkan. Kini perasaan cinta itu kembali mulai bersemi hanya dengan satu pelukan hangat dan sikap Diandra yang membutuhkannya. Beberapa menit mereka berpelukan dan kemudian Diandra melepaskan pelukannya. Yogi menatap manik mata Diandra yang berkabut. Dengan lembut Yogi mengusap air mata Diandra yang jatuh membasahi pipinya. “Jangan menangis lagi. Semua ini cobaan. Aku yakin Adam pasti akan segera sadar.” Diandra menganggukkan kepalanya pelan. Bibirnya terkatup. Menahan air mata yang terus saja jatuh bercucuran. “Ayo kita kembali ke ruang perawatan Adam. Di sini dingin. Tidak baik untukmu yang kurang istirahat,” ujar Yogi sambil beranjak berdiri dan mengulurkan tangannya pada Diandra. Diandra menatap telapak tangan Yogi yang terbuka. “Ayo, kita kembali ke dalam. Angin malam tak baik untukmu,” kata Yogi lagi. Diandra menarik nafas panjang dan kemudian menyambut tangan Yogi dan kemudian berdiri. Mereka bersama-sama berjalan menuju ruang perawatan Adam yang tepat berada di belakang mereka. *** Hari ini tepat hari ke sembilan puluh sembilan setelah kejadian kecelakaan tragis itu. Namun Adam tidak kunjung siuman. Diandra memandang ke arah ranjang di mana Adam sedang terbaring. Ia sudah mulai frustasi. Adam hanya terbaring seperti orang yang nyenyak tidur dan bermimpi indah. Selang dan jarum infus adalah sahabatnya kini. Di tambah dengan alat monitor jantung yang terpasang di badan. Sempurna memperlihatkan jika suaminya itu kini sedang dalam keadaan tidak berdaya. Pagi ini, seperti rutinitas seperti biasa, setelah kepulangan Andri Subargja, ayah Adam yang notabene adalah ayah mertuanya itu menjenguk putranya di setiap pagi sebelum berangkat ke kantor. Diandra membersihkan dan mengelap tubuh Adam dengan handuk kecil basah. Di setiap waktu dan kesempatan, Diandra selalu mengajak Adam berbincang. Berharap suatu saat nanti Adam akan menyahut ajakannya berbicara. “Pagi Mbak Diandra ...,” sapa Lina seorang perawat cantik yang sering menangani Adam. Kebetulan Lina adalah perawat jaga di bagian ruang kelas satu dan VIP. Karena itu Diandra pun sering bertemu dengannya. Hal itu membuat mereka menjadi lebih akrab. Waktu yang tidak sebentar, selama tiga bulan Adam berada di rumah sakit, membuat Diandra dan Lina secara alami menjadi dekat karena sering mengobrol. “Gimana mas Adam, sudah ada perkembangan. Apa jari-jarinya sedikit mulai bergerak? Jika ada perubahan dan pergerakan sekecil apa pun itu jangan lupa beritahukan saya atau dokter ya,” ucap Lina mengingatkan. Diandra menganggukkan kepalanya. “Iya, pasti mbak.” Lina yang memang berdiri di samping ranjang Adam, menatapnya. Ia merasa wajah Adam tidak asing baginya. Terasa familiar namun ia juga lupa pernah bertemu di mana. “Adam, kalo kamu nanti siuman kamu pasti kaget kalo aku punya teman baru di rumah sakit ini,” ucap Diandra pada Adam. Dan kemudian melihat ke arah Lina yang tersenyum. “Hai, Adam. Sayangnya kita belum kenalan ya ...,” kata Lina dengan suara lembutnya. “Semoga saat kamu siuman nanti kita bisa menjadi teman.” *** Di pikiran alam bawah sadar Adam yang sedang terbaring koma di atas ranjang rumah sakit: “Hai Adam!” Suara seseorang wanita memanggil-manggil namanya. Suasana berkabut. Hingga Adam tidak dapat melihat siapa wanita yang memanggil-manggil dirinya itu. “Adam! Aku di sini!” teriak suara wanita yang sama. Adam mengerutkan dahinya. Hanya mendengar. Namun tidak bisa melihat siapa yang memanggil namanya. “Adam!” “Siapa kamu?” tanya Adam. Ia merasa kenal dengan suara yang memanggilnya. Namun ia lupa. “Adam!” Adam semakin berusaha mencari siapa yang memanggil namanya. Tapi kabut tebal di sekelilingnya membuat susah melihat. Jarak pandangnya terbatas. Ia sama sekali tidak bisa menemukan siapa sosok wanita yang sejak tadi memanggil-manggil namanya itu. “Adam!” “Siapa kamu?” “Aku di sini!” Adam mengerenyit. Rasa penasaran semakin menjadi. Hanya berbekal suara yang memanggil namanya. Hal itu dijadikan tuntunan langkah kakinya untuk mencari. Walau kabut tebal mengelilinginya dan banyaknya jajaran pohon pinus besar dan tinggi di sini membuatnya takut. Tapi rasa penasaran akan siapa wanita yang memanggilnya sejak tadi tak bisa dibendung. Adam seperti berada di sebuah hutan yang dipenuhi tumbuhan pinus. Udaranya pun sangat dingin hingga menusuk tulang. Jajaran pohon pinus ini pun besar-besar dan menjulang tinggi. Suasananya sunyi. “Adam ....” Adam menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari siapa yang memanggilnya. “Hei, keluarlah! Ini tidak lucu!” Seketika hening. Tidak ada yang menjawab. Bulu kuduk Adam meremang. Tapi tidak membuat Adam takut dan gentar untuk mencari siapa yang memanggil namanya. “Adam ... ini aku ... Teganya kamu lupa denganku.” Suara wanita yang samar-samar terdengar di indera pendengaran Adam, membuatnya teringat akan satu orang. Adam berlari terus mencari. Langkah kakinya yang lebar seakan telah mengelilingi sebagian hutan ini. Nafasnya tersengal dan kelelahan mencari. Hingga satu batu sedikit besar tergelatak di atas tanah yang tak terlihat, membuat kaki Adam tersandung. “Braaak!” Adam tersungkur. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Anehnya hanya satu batu yang membuatnya jatuh. Tapi rasa sakit ketika membentur tanah ini seperti membentur jalanan aspal yang keras dan menyakitkan. Seakan terlempar beberapa meter dan jatuh ke atas aspal. Hingga membuat sekujur tubuhnya terasa sangat sakit. “Urgh ....” Adam merintih. Dan tiba-tiba satu tangan wanita terulur ke arahnya. Adam terkejut melihat tangan yang tiba-tiba muncul di depannya. Perlahan ia melihat telapak tangan yang terarah padanya. Cincin yang melingkar di jari manis itu sangat dikenalnya. Adam menelan ludah. Dengan jantung yang berdebar perlahan ia melihat siapa pemilik tangan yang terjulur ke arahnya itu. Kedua matanya membulat. Melihat seorang wanita berambut panjang lurus berwarna cokelat tanah dengan wajah terhias senyuman. “Rena ...,” desis Adam dengan tatapan terkesiap. “Sadarlah ... semua orang menantimu ....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD