04 |CAMPING YEAYY

1033 Words
Tanggal 30 tepat. Rombongan anak psikolog yang mengikuti camping akhirnya tiba di hutan harapan pukul lima sore menjelang Maghrib. Perjalanan dari Jakarta ke Jambi membutuhkan waktu yang cukup lama, sebagian besar anak-anak sudah kelelahan namun tetap dipaksa mendirikan tenda untuk tidur malam ini. Setelah tendaku dan Rossa terpasang, kami pun langsung tidur telentang di sana. Mengistirahatkan tubuh kami yang rasanya hampir remuk karena seharian duduk di kursi bus, ditambah berjalan kaki ke lokasi camping di dalam hutan harapan. “Kalau tahu bakal secapek ini, gue ogah banget ikutan camping,” keluh Rossa yang berbaring di sampingku. “Yaelah, tapi seru tahu! Lagian kapan lagi kita bisa ngerasain camping langsung ke alam kayak gini. Waktu SMA dulu aja campingnya cuma dihalaman sekolah, nggak asyik banget yang ngadain tuh camping.” Aku menyahut sembari mengingat pengalaman camping terakhir kali sewaktu SMA. “Masih beruntung ngikuti camping-campingan, gue mah cuma study tour doang.” Rossa menanggapi. Aku menoleh sambil bertanya, “Kamu study tour kemana waktu SMA?” “Nggak jauh sih, cuma ke Paris,” jawab Rossa sok merendah, sedangkan aku membelalakkan mata dan memprotes, “Kampreeet! Ke Paris kamu bilang nggak jauh?” Rossa tersenyum nyengir, dan balas bertanya, “Emangnya kalau sekolah lo study tour kemana?” “Kamu pikun? Kita satu sekolah pea’!” semprotku, mengubah ekspresi Rossa berubah cengo lantas ikut menyosor, “Terus kenapa juga lo tanya gue study tour kemana kalau kita satu SMA dodol?!” Aku dan Rossa kemudian tak bisa menahan tawa yang sama-sama meledak. Lalu tidak lama setelah itu terdengar bunyi azan berkumandang yang membuat kami berdua lantas terburu-buru keluar tenda untuk mengambil wudhu dan menunaikan ibadah shalat jamaah bersama para mahasiswa dan bapak-ibu dosen lainnya yang ikut camping. *** Tanpa repot-repot menutup mulut, aku menguap lebar-lebar ketika para dosen membangunkan mahasiswa untuk shalat subuh pukul setengah lima pagi. Subuh adalah waktu paling rentan bagiku melewatkan shalat karena jarang sekali aku bisa bangun sepagi ini, paling pagi biasanya jam setengah enam, tapi seringnya molor sampai jam tujuh pagi baru tuh panik-paniknya mandi dan berangkat kuliah yang biasanya dimulai pukul delapan. Salah satu hikmah mengikuti camping di sini salah satunya shalatku akan penuh lima kali selama tiga hari ke depan, yup… karena campingnya dilakukan selama tiga hari dua malam. Setelah shalat subuh, mandi dan sarapan. Kegiatan camping pertama kami pun dimulai. Kondisi hutan sudah cukup terang pagi ini, cuaca juga sangat cerah—membuat semangatku semakin menggebu-gebu. “Assalamualaikum anak-anak, selamat pagi!” Pak Rektor berbicara menggunakan speaker toa dan membuat anak-anak yang berbaris di depannya berhenti bicara satu sama lain. “Waalaikumsalam Pak!” jawab para mahasiswa dengan kompak. “Pagi ini kita akan mengadakan game berkelompok! Masing-masing kelompok yang sudah dibagi harus masuk ke hutan mencari bendera merah-putih, tim kelompok yang berhasil kembali membawa bendera adalah pemenangnya!” Pak Rektor mulai menjelaskan aturan mainnya. “Jangan sampai salah mengambil jalur, tim dosen sudah menandai jalur yang harus kalian lewati dan tidak boleh kalian lewati, jadi jangan sampai keliru! Mengerti?” “Mengerti Pak!” “Oke, kalau sudah mengerti kita langsung bentuk kelompoknya saja. Tiap-tiap mahasiswa akan mengambil kertas gulungan di box, kertas gulung yang kalian ambil berisi nomor kelompok. Nomor kelompok yang sama artinya kalian satu tim. Ayo dimulai dari barisan paling depan!” Satu persatu mahasiswa pun mengambil kertas gulung yang sudah dipilihnya masing-masing. Aku berharap bisa satu tim dengan Rossa, namun melihat angka dikertasku menunjukkan nomor 3 sedangkan Rossa nomor 4, pupus sudah harapanku untuk satu tim dengannya. “Jeh, masih inget kan tugas tambahan khusus dari Pak Glen?” Rossa mengedipkan mata mengingatkanku ketika kebetulan barisan kelompokku bersebelahan dengan kelompoknya. Wajahku memberenggut, “Iya-iya, makasih loh udah diingetin!” tandasku, setengah dongkol, sementara Rossa semakin senyam-senyum melihat penderitaanku. Di saat timku sibuk berdiskusi membagi tugas mencari bendera di tiga lokasi yang berbeda, aku manggut-manggut saja seolah menyetujuinya. Padahal aku sudah punya rencanaku sendiri. Toh kalaupun mau menang, hadiahnya juga pasti itu-itu aja. Lebih baik aku fokus mencari serigala yang diminta Pak Glen. *** Tanpa memikirkan risiko atas apa yang kulakukan, dengan santainya kakiku melangkah ke luar zona aman di dalam hutan. Aku tidak perlu jauh-jauh, cukup mencari di sekitar sini saja siapa tahu keberuntungan sedang berpihak padaku dan serigala vegetariannya muncul tanpa repot-repot aku cari. Ah, membosankan sekali berkeliling hutan sendirian. Tiba-tiba aku menguap, masih ngantuk karena tadi dibangunkan pagi-pagi hari untuk shalat subuh. Mungkin istirahat sebentar bisa mengusir rasa kantukku. Akupun meneduh dan bersandar di pohon besar, awalnya hanya berniat istirahat—tapi siapa yang sangka aku malah ketiduran. “Aku akan menunggumu, Jeha…” Tetesan air hujan yang jatuh mengenai kulit wajah membuatku segera bangun dari mimpi buruk dikejar serigala. Hufftt… untungnya itu cuma mimpi. Kepalaku mendongak menatap langit gelap yang diselimuti awan hitam tebal, padahal sebelum tidur cuacanya masih cerah, aneh sekali sekarang tiba-tiba hujan. Aku berdiri dan menegakkan tubuh, waktunya kembali ke camping. Kalau nanti aku dimarahi dan ditanyai, tinggal jawab saja disuruh Pak Glen mencari serigala. Hehehe, aku tersenyum jahat ketika membayangkan wajah kicep Pak Glen yang pasti dimarahi habis-habisan oleh Pak Rektor akibat memberi tugas nyeleneh padaku. “Okeee… mari kita pulang, eh?” Baru satu langkah dan aku sudah dibuat cengo oleh jalanan yang terbentang luas di depanku. “Perasaan tadi aku nggak jauh-jauh amat ngelewatin batasnya, kenapa mendadak lupa arah gini?” Aku seketika panik sambil memegang kepala bingung. Ditambah lagi aku sudah mulai menggigil kedinginan akibat pakaianku basah kuyub diguyur hujan. “Huaaaa mama… papa… Jeha mau pulanggggggg!!!” Aku berteriak seperti anak kecil, lalu berlarian kesana-kemari mencari jalan kembali ke camping. Tapi yang ada, entah kenapa arah jalan yang kupilih malah semakin membuatku masuk lebih dalam ke hutan. “Pokoknya ini salah Pak Glen! Kalau sampai aku mati di tengah hutan, aku bakal gentayangin Pak Glen seumur hidup!” sumpahku dengan wajah penuh dendam, padahal semua ini akibat kesalahanku sendiri. Hujan membuat kondisi tanah menjadi becek dan licin, aku yang tak berhati-hati pun lantas tergelincir lalu terbelalak saat sadar bahwa arah jatuhku justru mengarah ke tebing curam yang dibawahnya mengalir air sungai. Byurrrr. Di sisa kesadaran yang kumiliki, aku sadar bahwa tubuhku tercebur ke sungai. Dan mungkin sebentar lagi aku akan mati, melihat pandanganku sekarang perlahan-lahan mulai kabur dan menggelap. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD