Part 3

666 Words
"Mbak mohon sama kamu, jadilah ibu s**u untuk anak Mbak." Kaget bukan main, saat aku mendengar permintaan mbak Ratih padaku. Bagaimana mungkin, mbak Ratih meminta hal seperti itu padaku. Sedang, aku saja belum punya anak. Terlebih, aku belum pernah merasakan hamil dan melahirkan. Jadi, mana mungkin aku bisa memiliki asi. "Mbak ngomong apa, sih? Ga mungkin, aku jadi Ibu s**u untuk anak Mbak," tolakku halus. "Sayang," mas Arslan memotong obrolan kami. Aku berdiri dari dudukku di ranjang, memberi ruang pada mas Arslan untuk mendekati mbak Ratih. "Mas, kamu inget kan waktu kita pergi ke konsultan laktasi? Disana, kita ketemu wanita yang mau menyusui anak adopsinya. Setelah melakukan induksi laktasi, dia berhasil menyusui anaknya, Mas. Aku yakin, Mey juga pasti bisa," ucap mbak Ratih menggebu. "Kenapa, aku harus jadi ibu s**u buat anak kalian? Sedangkan Mbak, bisa menyusui anak Mbak sendiri," protesku. Raut wajah mbak Ratih berubah seketika. Tatapannya menjadi sendu. Lalu terlihat cairan bening luruh dari sudut matanya. Mas Arslan menghela napas berat, lalu segera membawa mbak Ratih ke dalam pelukannya. Mengusap pelan punggung mbak Ratih, seolah tengah memberi ketenangan. Ada hal yang janggal saat aku melihat mereka berdua, seolah tengah dirundung kesedihan yang amat dalam. Bukankah hal ini tidak wajar? Hei, mereka baru saja mendapatkan malaikat kecil pelengkap rumah tangga mereka, harusnya saat ini mereka tengah merasakan bahagia, kan?. Aku yang melihat mereka, menjadi kikuk. Niat hati ingin meninggalkan mereka bedua, tapi ternyata mbak Ratih menahan tanganku. Aku menoleh, dan mbak Ratih mengurai pelukannya dari mas Arslan. "Sebenarnya apa yang terjadi, Mbak? Kenapa Mbak, sampai minta aku buat jadi ibu s**u untuk anak Mbak?" tanyaku pelan. Mas Arslan meninggalkan kami, melangkah menuju jendela, menatap nanar ke arah luar. Sedang mbak Ratih, terlihat seperti ragu untuk berbicara. Setelah diam beberapa saat, mbak Ratih mengembuskan napas perlahan dan akhirnya mulai berbicara. "Mbak, terkena tumor otak Mey. Dan, Mbak baru mengetahuinya sebulan yang lalu." Bagai tersambar petir di siang hari bolong, jantungku berpacu dengan cepat demi mendengar omongannya. Lututku terasa lemas, hingga aku tak sanggup menopang berat tubuhku dan duduk terkulai di lantai. "Mey," pekik mbak Ratih, yang melihatku terduduk di lantai. Hampir saja, mbak Ratih turun dari ranjang untuk membantuku berdiri, tapi dengan sigap mas Arslan menghentikan mbak Ratih lalu beralih membantuku berdiri. Serta, mengambilkan bangku untuk ku duduki di samping ranjang. "Maafkan Mbak Mey, jika bikin kamu syok kaya gini." Erat, tangannya menggenggam tanganku. Dingin, itu yang kurasa dari tanganku. Mas Arslan menghampiri dengan membawa botol minuman, lalu diserahkannya botol minuman itu padaku. "Minumlah Mey, kau terlihat sangat pucat." "Terima kasih, Mas" ucapku seraya menerima botol tersebut. Hampir setengah botol, air meluncur cepat kedalam tenggorokanku. Rasanya melegakan, hingga mampu mengembalikan sedikit energiku. "Kamu baik-baik aja, Mey?" tanya mbak Ratih, dengan nada yang penuh kekhawatiran. "Gimana bisa Mbak tanya apa aku baik-baik aja, sedangkan saat ini justru Mbak yang lagi ga baik-baik aja." Aku memeluknya, erat. Kami terisak bersama. menumpahkan segala rasa yang ada di hati. Setelah puas menangis, aku meminta penjelasan pada mbak Ratih tentang penyakitnya. "Mbak harus segera menjalani operasi, Mey. Meski kemungkinan berhasilnya sangat kecil. Tapi, Mbak tetap ingin mencobanya," jelasnya padaku. "Berapa persen kemungkinan berhasilnya, Mbak?" tanyaku. "Ga sampai lima puluh persen." Mbak Ratih tersenyum tipis, saat mengucapkan kalimat barusan. Mungkin, sengaja dia lakukan untuk menutupi risau hatinya. Lagi-lagi aku dibuat lemas oleh penjelasannya. Tak mampu ku bendung air mata ini, hingga ku biarkan dia mengalir begitu saja. "Apa Mamah dan yang lain tau kondisi Mbak saat ini?" tanyaku lagi. Mbak Ratih hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Sesak, itu yang kurasa kini. "Mbak, hanya ingin yang terbaik untuk anak Mbak. Dan asi, adalah yang terbaik untuknya. Itu keyakinan Mbak. Bahkan Mbak, sudah menyiapkan ilmu tentang asi dari jauh hari selama hamil. Tapi sayang, ternyata takdir berkata lain. Mbak harus mengalami ini semua, hingga ga bisa memberikan asi pada anak Mbak" aku memeluknya lagi. membiarkannya menumpahkan semua sedihnya. Dilema, itu yang kurasa kini. Di satu sisi, masih sulit untukku menerima penjelasan mbak Ratih tentang induksi laktasi. Karna menurutku, asi diproduksi selama masa kehamilan. Jadi, mustahil rasanya bisa memiliki asi tanpa hamil dan melahirkan terlebih dahulu. Tapi, di sisi lain lidahku juga terasa kelu untuk menolak permintaannya. Allah, beri aku petunjukMu agar dapat menentukan pilihan yang terbaik untukku. *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD