Jangan Kembali Reo, Raya?! (2)

1663 Words
Jangan Kembali Reo, Raya?! (2) Maaf, selama ini mungkin aku terlalu lembut dan mengiyakan semua kemauan mereka. Tapi perselingkuhan itu sudah tak bisa aku tolelir dengan cara apapun. Ada saatnya aku lembut, tapi aku juga punya harga diri yang tak bisa ditukar dan dipermainkan. Mungkin aku tak punya anak, mungkin aku mandul, tapi aku tetap berhak bahagia. Aku berlalu dengan anggun meninggalkan mereka. Mengubur secepatnya rasa sakit yang kemarin singgah di hati. Biar kunikmati bahagiaku sendiri tanpa harus memperjuangkan orang-orang yang tak tahu terima kasih. “Bu-bunda, dua orang kumuh ini mana mungkin orang tuaku? Mereka jelek dan kotor, wajahnya nggak mirip denganku. Hizzh.” Si jelita dari tempat sampah itu mengibas-ngibaskan tangannya. Ya Allah mana kesopanan yang aku ajarkan selama ini, itu orang tua, terlebih orang tuanya sendiri. “Pergi kalian berdua! Jangan harap aku mau ikut kalian.” Ia menarik kembali koper-koper itu ke sudut ruangan. Aku tertawa mendengarnya. Anak yang rakus. Mau menjadi anakku tapi juga mau memiliki suamiku. Salah apa aku mendidik dia baik-baik tapi karakternya sama sekali tak bisa mengikutiku. Mungkin karena memang dia bukan darah dagingku, sekeras apapun aku mendidik, gen bawaan dari keluarganya tetap melekat padanya. Yang kutahu Ayah Ibu mereka waktu muda dulu memang pemabuk, penjudi dan pencuri. Bersyukur sekarang mereka sudah taubat. “Bunda, istriku sayang. Tidak adakah kesempatan lagi untukku? Tuhan saja maha pemaaf, kenapa kamu tak mau memaafkanku?” teriak Reo. Suara-suara mereka saling bersahutan terdengar di telingaku dari lantai atas. Aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Aku menarik napas berkali-kali, lalu memilih duduk, berpikir, mencari jalan selanjutnya, mempersiapkan apa yang harus aku lakukan kedepan. Hidup memang terkadang tak pernah kita duga. Semua bisa tiba-tiba berubah dan terbalik dari kenyataan awal. Rumah tanggaku yang bahagia, suami pendiam penuh cinta, giat bekerja. Anak gadis yang semakin besar semakin pintar dan tumbuh cantik. Tiba-tiba dalam sekejap semuanya berubah, oleh ulah mereka sendiri. Aku yang harus jadi korbannya. Beruntung dunia telah banyak mengajarkanku untuk selalu tenang menghadapi apapun, segenting apapun. “Bunda, jika Bunda beri kesempatan sekali lagi, Ayah janji akan lakukan apapun yang Bunda mau. Ayah masih sangat mencintaimu, Bun. Ayah hanya khilaf sesaat, Bun. Maafkanlah Ayah. Ayah nggak mau menandatangani surat-surat ini, kalau soal jabatan Ayah dicopot nggak apa-apa. Tapi kalau harus bercerai darimu, sampai kapanpun Ayah nggak akan mau,” teriak Reo masih tak putus asa memohon. Aku mendengar pengacara dan polisi membujuknya untuk menandatangi surat-surat itu. Ia masih ngotot tak mau. Terdengar suara langkah kaki berlari di tangga, dalam sekejap seseorang itu sudah bersujud di atas kakiku. “Tolong Bun. Ayah nggak mengira Bunda semarah ini. Tolong Bunda beri kesempatan untuk Ayah memperbaiki semuanya. Tolong pertimbangkan lagi. Ayah nggak pernah berbuat salah ‘kan Bun. Dikantor kerjanya Ayah bagus. Ayah selama delapan belas tahun ini juga selalu setia dengan Bunda. Tapi Ayah terpeleset, Ayah khilaf oleh godaan setan sekali ini saja. Tolong Bun, tolong beri kesempatan, maafkan Ayah, tolong Bundaaaa ....” Ia merajuk menangis di hadapanku. Wajahnya basah menangis seperti anak kecil dan bersujud di pangkuanku. Au bergeming beberapa saat. Kamu harus kuat Amelia. Jangan terpengaruh bujukannya. Tetaplah tegar dan teguh pada pendirianmu. Keputusanmu sudah bulat bukan? Dua orang polisi datang menjemput ke atas. “Borgol saja Pak Polisi, khawatir membahayakan Bu Amel,” ucap pengacaraku. Ngilu melihat kedua tangannya langsung terborgol. Tak lama ada suara mobil masuk ke pekarangan rumah. Sepertinya itu Papa yang baru pulang dari Medan. Papa sudah mengetahui semuanya. Sudah beberapa hari ini aku berdiskusi dengannya. Terdengar suara sepatu Papa masuk dengan tergesa. Aku bergegas turun tangga untuk menghampiri, menyalami tangannya, takkzim. Belum sempat aku melepas tangan Papa, Ia sudah bergerak menuju Reo dan menampar Reo dengan keras. PLAKKK!!! PLAKK! Sekali lagi. Aku lekas menutup wajah dengan kedua tangan. “Biadab kamu Reo. Menjijikkan, itukan anak kamu, Harusnya kamu jaga, bukan malah kamu rusak!” ucap Papa Lantang. Ada darah mengalir keluar dari bibirnya saat aku mencoba mengintip dari sela-sela jariku. Ya Allah pasti Papa sudah menampar dengan sangat keras. Biarlah, biar ia rasakan sakit seperti yang aku rasakan ketika melihat bibirnya mencumbu mesra, melumat lebih dari dua menit bibir Raya. Biar ia rasakan perihnya hatiku saat melihat tangannya menggerayangi d**a gadis yang bertahun sudah kuanggap seperti anak kandung sendiri. Menjijikkan memang. Ia seperti kucing kelaparan yang tak pernah diberi makan, padahal aku selalu menghidangkan ikan segar terenak untuknya setiap saat. Tubuhku selalu aku lulur wangi ke salon langganan. Olahraga setiap sore, kapan ia meminta haknya aku tak pernah menolak. Karena aku juga sadar dari sana aku bisa menimba banyak pahala. #Ajt Sayangnya ia rakus dan mau mencoba makanan haram hidangan wanita lain. Wanita yang sedari kecil memang sulit jika aku suruh shalat. Rupanya dalam jiwanya memang sudah ada bibit nakal tersemat. Raya ... Raya ... Kurang apa aku padamu. “Maafkan Reo, Pa. Reo khilaf. Silahkan hajar Reo sekuat Papa karena memang Reo salah. Tapi maafkan Reo setelahnya, Pa.” Kini ia bersujud di hadapan Papa. Tangannya meraih-raih kaki Kaki Papa. “Kalau kamu mabuk, judi dan sebagainya, masih bisa saya maafkan! Tapi kamu sudah menyakiti anakku, itu yang paling tak bisa aku maafkan. Kamu tahu kenapa dulu Amel memilih kamu sebagai suami? Karena Amel mengira kamu lelaki paling bijak dan paling lembut yang tak akan mungkin menyakitinya. Dia tak perduli dengan bujukanku untuk menikah dengan laki-laki dari kalangan kami yang berpendidikan tinggi juga mapan. Banyak pula lelaki ganteng dan kaya melamarnya. Dia tetap memilih kamu laki-laki biasa tapi menurutnya berhati mulia. Sekarang? Mulia apa? MEMALUKAN!!” Papa sangat marah. Reo masih bersujud di hadapan Papa. “Apa yang dapat menghapus dosa saya, Pa? Tolonglah. Tapi jangan minta saya untuk bercerai dari Amel. Sekarang saya sadar, hati Amel sungguh mulia dan saya sia-siakan.” “Bagus, setelah kamu dikondisikan dalam keadaan seperti ini baru mata kamu terbuka ‘kan?” “Sayangnya sudah terlambat, Pa. Aku tak berniat untuk memaafkan Reo dan Raya. Biarkan saja mereka pergi dari sini dan kalau mau menikah silahkan. Sampah memang cocoknya dengan sampah. Dan aku memang harus membuang sampah pada tempatnya,” jawabku tegas. Tak lama ada taksi masuk ke halaman. Rupanya itu Mama yang datang menyusul Papa. Papa dari bandara tadi langsung kemari. Aku bergegas menyambut dan mencium tangan Mama. Baru saja Reo hendak mencium tangan Mama di dorong oleh Papa. “Ngak perlu, Reo.” Reo mundur dan bersujud kembali di hadapan kami. Ia begitu ketakutan. “Amel sudah cerita semuanya sama kami. Mama nggak menyangka kamu setega itu di belakang Amel,” ucap Mama. Ya, aku memang sudah merencanakan hari ini. Tepat saat Papa bisa pulang ke Jakarta, jadi Papa Mama aku minta datang sekalian menyaksikan Reo yang harus menandatangani semuanya,. Juga orang tua Raya yang telah kuminta untuk datang. Berat melepaskan gadis itu sebenarnya. Gadis yang banyak menemani hari-hariku selama empat belas tahun ini. Gadis yang dulu hitam, kucel, bau, dan ternyata ketika besar bisa menjadi sangat cantik begini. Sampai-sampai kepercayaan dirinya sedemikian luar biasa. Tapi aku harus tegas. Tak perlu mengingat kenangan manis dan kelucuan-kelucuan saat bersama mereka. Semuanya harus aku kubur dalam-dalam. Kenyataannya mereka yang telah merusak kebersamaan manis ini. “Pak Reo, tolong tanda tangani surat pemecatan Bapak ini. Jangan ulur-ulur waktu. Saya tidak punya banyak waktu!” ucap Rany. Dengan gugup akhirnya Reo mengambil pena dari tangan Rany. Ia menatapku berkali-kali memastikan apakah aku serius meminta menandatangani surat itu. Aku melengos berusaha agar ia tak perlu meminta persetujuanku lagi. Semuanya sudah jelas. “Ya, tanda tangani silahkan!” kata Papa tegas. Dengan tangan gemetar, Reo akhirnya menandatangani surat pemecatan itu. Napasnya terengah usai menandatanganinya. Mungkin ada sesuatu yang berkecamuk dalam dirinya. Sekarang tinggal surat cerai yang belum. Dan aku tahu ini akan berat bagi Reo. Raya mengigit bibirnya dalam-dalam setelah menyaksikan Reo menandatangani surat pemecatan itu, mungkin dia pikir dia akan masih bisa hidup enak bila menikah dengan Reo. Dia tak tahu dari mana Reo berasal. Karena aku menutup semua cerita masa lalu Reo dari Raya. Awalnya aku hanya ingin Raya menghargai Reo benar-benar sebagai seorang Ayah. Raya pikir Reo adalah orang yang sukses tanpa campur tanganku. Raya pikir Reo bisa bekerja di perusahaan Papa karena memang ia hebat, ia melamar keja. Lalu aku jatuh cinta pada Reo dan menikah. Tidak Raya. Kamu tidak tahu betapa sulit menembus perusahaan dan menjadi salah satu Director divisi, jika tidak ada andilku. Raya menatapku dengan memelas, pasti ia tidak mengira kejadiannya akan sperti ini. Dia pikir rencananya akan berjalan mulus. “Bunda, bisakah Bunda ngertiin Raya sekali lagi?” ucapnya lirih dengan wajah sudah basah penuh air mata. “Nenek, Nenek tolong bujuk Bunda agar tak mengusirku.” Ia beralih menatap Mama dan memegangi tangan Mama memohon. “Sudah turun saja, Raya. Kamu sudah dewasa. Tanpa Amel, kamu bisa hidup. Mereka di bawah itu memang orang tuamu, pulang saja,” ucap Mama. “Supir sudah menunggu di bawah, Raya. Mereka akan mengantarmu.” Asisten rumah tanggaku bener-bener gercep. Mereka sudah mengemasi barang-barang Raya yang super banyak itu. Aku tak marah semua barang milik Raya dibawa. Toh itu memang barang milik dia. Hampir semuanya mahal. Semoga bisa dijual untuk biaya hidup dia nantinya di kala susah. Aku juga sudah memberi uang kedua orang tua Raya. Uang itu bisa digunakan untuk merenovasi rumah mereka di tepian sungai itu agar tak terlalu kumuh sehingga Raya bisa betah tinggal di sana. Biarlah yang kurawat dengan kasih sayang itu pada akhirnya harus kembali ke tempat asalnya. Tuntas sudah tugasku membesarkannya dan membersamainya selama ini. Mungkin memang sudah waktunya dia kembali ke asalnya. Security rumah ini sudah menarik paksa gadis itu masuk ke dalam mobil. Raya berontak, melolong menangis, menjerit tapi tak bisa menolak. Karena memang tak ada tempat lagi di sini untuknya. Mobil itu melaju dengan cepat. Aku menarik napas lega. Satu masalah selesai. Sekarang membereskan satu lagi yang masih bersimpuh di kakiku menangis sejak tadi. Ini yang akan berat, Aku harus tegar ... TO BE CONTINUED PART 3. Terima kasih sudah menyimak, semoga ada hikmah/ibroh dari cerita ini nantinya. Bantu klik love-nya and komen, dan masukkan ke dlm daftar bacaan tmn2, yah. Makasih udah bantu akun ini bertumbuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD