Teganya Berzina di dalam Rumahku (1)

1934 Words
Teganya Berzina di dalam Rumahku (1) Semuanya bermula dariku yang terlalu permisif melihat kedekatan anak dan suamiku. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Aku pikir karena rasa sayang suamiku yang terlalu dalam padanya, seperti halnya aku yang juga teramat mencintai Raya sehingga membuatku tak menaruh rasa curiga pada apa yang terjadi di antara mereka. Sampai di suatu malam, pukul dua dini hari, aku terbangun dari tidur, hendak ke toilet. Kusisir pandangan ke arah remang ruang keluarga, dimana mereka biasa gunakan untuk menonton film box office berdua hingga larut. Sayangnya malam itu, aku menyaksikan pemandangan yang sangat sulit kuterima sebagai sebuah kenyataan. Mereka berpagut penuh gelora, b******u penuh nafsu, layaknya sepasang suami istri mencurahkan cinta dan gairah. Pemandangan itu seperti sebuah belati yang tiba-tiba dilempar dan menancap tepat di dadaku. Aku sakit, namun juga mendidih. Segera kutunjuk-tunjuk wajah mereka berdua penuh murka. Mereka terkejut bukan kepalang, melepaskan pelukan dan saling berdiri di hadapanku dengan salah tingkah. Satu minggu, dua minggu, satu bulan. Mereka masih berada di dalam rumah ini. Mengharap ada penyesalan, lalu salah satunya pergi meninggalkan tempat ini. Sayangnya aku terlalu naif. Yang ada malah permintaan tak masuk akal dari wanita kecil yang aku besarkan dengan gelimang cinta dan materi ini. “Please, Bun. Aku tahu menurut Bunda ini salah. Tapi tolong Bunda ngertiin Ayah dan aku. Aku capek kalau harus kucing-kucingan dari Bunda. Aku sudah nggak bisa menutupi hubunganku dengan Ayah. Daripada aku terus berzina dengan Ayah. Lebih baik aku jujur sama Bunda lalu menikah dengan Ayah. Agar tak semakin larut, Toh Agama juga tak melarang." ucap Raya penuh keyakinan. " Aku bukan darah daging Ayah, aku cuma anak angkat di rumah ini. Dan kami sudah saling mencintai. Bunda juga ingin punya anak dari darah daging Ayah kan? Tapi kenyataannya Bunda mandul. Jadi apa salahnya jika Aku menikah dengan Ayah. Jika kami punya anak bukankah juga akan memberi kebahagiaan untuk Bunda?” lanjutnya panjang tanpa perduli bagaimana hancurnya perasaanku saat itu. Aku tak pernah mengajarinya berkata kasar, tapi bahkan aku orang pertama yang merasakan betapa menyakitkan perkataan itu keluar dari mulutnya. Setiap kata laksana peluru yang terus menghujani jantungku. Sementara laki-laki itu, laki-laki yang kukira setia dan mencintaiku seutuhnya itu, dia hanya diam seribu bahasa menatap perdebatan ini dari sudut ruang. Pengecut tak punya nyali tapi beraninya bermain api! Aku bungkam, tak menjawab permintaan gadis delapan belas tahun ini. Kata-katanya hebat, seperti sebuah kebenaran yang mengunci logika dan nalar agar aku tak bisa menjawab apa-apa lagi selain menyetujuinya. Sangat pantas dia aku masukkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas terkemuka di negeri ini. Baru satu tahun kuliah, kata-katanya sudah mampu meruntuhkan dinding-dinding hatiku. Bahkan suatu kebusukan bisa dia bungkus dan kemas menjadi sebuah kata-kata manis di dengar, seperti sebuah kado da n harapan baru untukku. Akan bisa memberi anak dari darah daging suamiku, katanya? Hebat iming-imingnya. Pegkhianatan tidak hanya dari satu orang, tapi bahkan oleh dua orang yang kehidupannya paling aku jamin dan paling dekat di hatiku. Apa lagi yang lebih perih dan berdarah-darah dari ini? “Kamu bisa-bisanya mengajukan permintaan kepada orang yang bahkan paling tersakiti melihat pengkhiantan kalian! Aku diam sejauh ini, bukan untuk mendengarkan apa yang kamu katakan sekarang. Aku bungkam untuk melihat sejauh apa penyesalan kalian. Kalian asusila di rumah ini. Kalian berselingkuh dari orang yang memberi hidup enak untuk kalian. Aku pikir setelah kalian terpergok, akan merasa bersalah, meminta maaf, lalu tobat, tapi malah semakin menjadi, meminta restu hubungan gelap kalian kepada orang yang paling benci ini terjadi.” Mataku menatap bergantian kepada dua orang itu. “Bukan begitu Bun. Aku hanya mencoba membuka sudut pandang Bunda lebih jauh lagi. Bunda semakin tua, Ayah semakin tua. Aku hanya ingin menyelamatkan semuanya. Agar kita bisa tetap satu atap dan berbahagia tanpa perlu saling menyalahkan. Yang terjadi ya sudah biarlah terjadi. Mungkin ini memang rencana Allah. Akupun sakit karena tak pernah mengharapkan ini akan terjadi. Semua terjadi begitu saja. Akupun sakit karena harus meninggalkan kekasihku di sana, demi Ayah. Ayah sendiri yang menginginkan punya anak dariku. Yang perlu Bunda pahami, Semua ini juga bukankah karena ada andil Bunda, Bunda yang membiarkan aku terlalu dekat dengan Ayah. Sehingga muncul cinta di antara kita. Bunda yang terlalu sibuk dengna urusan bisnis sehingga melupakan di rumah ini ada dua orang bukan mahrom yang bisa saja terjebak cinta. Dan ini suah terjadi. Pelase mengertilah Bund. Ijinkan kami menikah.” Wow, panjang. Luar biasa kata-kata gadis cantik ini. Membalik semuanya seolah aku yang salah, aku yang harus menanggung dan harus mempertanggungjawabkan apa yang terjadi sehingga harus menerima permintaan mereka. “Kamu sudah cukup dewasa Raya, kamu tahu mana yang benar, mana yang salah. Kamu tahu harus bagaimana menjaga sikap di depan kami. Kamu sudah bisa meletakkan batasan apa yang boleh dan tidak boleh. Bunda membiarkan kedekatan kalian karena Bunda percaya kalian. Alangkah kotornya hati Bunda kalau suudzon kepada kalian." Kutunjukkan jari kepada mereka. "Bunda hanya melihat dekatnya kamu dengan Ayah sama halnya seperti dekatnya kamu dengan Bunda. Bunda tidak curiga apa-apa dengan Ayah karena Bunda pikir dekatnya Ayah adalah sebagai bentuk perhatian kepadamu, yang sudah dibesarkan kami dari sejak usiamu empat tahun. Rupanya kalian pandai menyimpan rapat kebusukan. Sayangnya malam itu Allah tunjukkan. Sudah berapa lama kalian, hah? Jawab sudah berapa lama?” Raya dan Mas Reo diam. Sekarang bahkan menyebut nama mereka dalam hatikupun aku sakit. “Kenapa diam?” “Aku tak mau dihakimi, Bun. Cukup restui kami, jika tidak ....” Gadis yang sebenarnya teramat aku sayangi ini tak melanjutkan perkataannya. “Jika tidak apa? Jika tidak, kalian akan tetap menikah? Kalian mengancamku? Aku selama ini terlalu baik sama kamu rupanya Raya. Karena nafsu, kamu lupa apa arti kasih sayangku selama ini. Jadi begini membalas orang yang sudah membesarkanmu dengan tulus. Jadi begini balasan seorang suami kepada wanita yang sangat menjaga hatinya. Reo, tolong jawab, kamu jangan diam saja!?” teriakku. Aku tak perlu lagi memanggil Reo dengan sebutan Mas seperti biasa, untuk apa lagi menghargai seorang pengkhianat. Wajah Raya sudah sangat merah. Luar biasa anak angkatku satu ini, kupikir dia selama ini hanya mampu merengek minta dibelikan baju-baju mewah, mobil, tiket perjalanan ke luar negeri. Ternyata juga ia berani merengek meminta suamiku untuk dijadikan suaminya. Hebat! Tak mau dihakimi katanya? Dia meminta aku menerima saja keputusan mereka berdua. Luar biasa .... Kulihat beberapa asisten rumah tangga kami, juga supir mengintip dari balik pintu. Biarlah semua tahu, atau mungkin mereka juga bahkan sudah tahu lebih dulu. Hanya saja tak berani cerita kepadaku. Reo berjalan maju ke arahku. “Maafkan Ayah, Bun. Ayah memang bersalah. Ayah tak pernah menginginkan ini terjadi. Ayah khilaf, Bun. Ayah sudah meminta Raya untuk mengakhiri ini semua. Tapi Ayah larang malah dia semakin menjadi. Ayah nggak bisa mengendalikan dia. Ini ide nekat dia untuk mencoba jujur padamu,” ucapnya penuh getar seolah menyesal. “Tapi dalam hati kamu mengamini permintaan Raya, ‘kan? Kamu pun menginginkan ini terestui, ‘kan? Aku rasa hubungan kalian sudah terlalu jauh. Artinya ikatan kalian juga sudah sedemikian dalamnya. Ternyata kamu sereceh itu, Reo. Dimana imanmu? Anak kamu sendiri kamu makan. Apa karena kamu sadar dia bukan darah dagingmu sehingga halal kamu nodai. Aku seperti tak megnenalmu sejak malam itu. Aku salah menilai kamu. Ternyata aku hanya mempercayai keyakinanku sendiri. Faktanya kamu gila. perselingkuhan ini sudah cukup buat aku sadar kamu nggak layak dipertahankan. aku sudah memutuskan cerai denganmu. Akan aku urus secepatnya.” “Bun, Tolong jangan Bun. Sudah dari sejak Bunda mengetahui ini Ayah ingin meminta maaf. Hanya Ayah khawatir Bunda masih emosi. Jadi Ayah tahan-tahan. Ayah pikir ini nggak akan sampai sejauh ini. Ayah hanya tergoda nafsu sesaat, maafkan Ayah.” Lelaki tampan yang kukira mencintaiku itu mulai memegangi kedua tanganku, memohon. Segera kutepis bersama air mataku yang berlompatan keluar. Ah, Aku benci menangis di hadapannya, meski ini memang sangat sakit. Segera kususut dan menarik napas dalam. Tak boleh menangis untuk seorang j*****m seperti dia. “Kamu dengar tadi apa kata dia, Reo? Kalian saling cinta dan ingin punya anak, ingin membahagiakan aku dengan kehadiran anak kalian nantinya. Sebuah rencana yang indah. Jadi nanti ada anak kecil yang lucu dan cantik, hadir di rumah ini. Anak dari darah daging suamiku. Wow hebat.” Lanjutku tegar. Tapi sebelum semuanya menjadi kenyataan, aku akan memastikan mengurus perpisahan ini dengan baik. Agar tak ada penyesalan setelahnya. Aku segera menelepon pengacara terbaik di kota ini. Akan kutunjukkan kepada kalian berdua, darimana kalian berasal. Aku pikir orang yang lahir dari kesusahan, adalah orang-rang yang tulus. Orang-orang yang bersih hatinya dan tak akan bisa setega itu berlaku jahat. Ternyata aku salah. Aku memperjuangkan orang-orang yang salah. Reo, sebelum menikah denganku adalah seorang pemuda yang santun dari keluarga sederhana. Dia mantan seorang sales produk rumah tangga keliling. Kelembutan hatinya, dan sikap pemalunya, ketampanannya membuatku jatuh hati. Berbekal pengalamannya sebagai seorang sales, sebenarnya aku sudah cukup bangga padanya karena kini memegang jabatan Sales Director pada perusahaan obat milik Papa. Ternyata waktu membuktikannya lebih dulu. Aku pikir aku sudah tepat memilih suami, ganteng, soleh, baik dan calon orang sukses seperti Papa. Ternyata aku salah. Raya, gadis dari kampung yang kuangkat anak setelah dititipkan ibunya begitu saja kepadaku. Kasih sayang dan cinta yang kuberi luar biasa karena hanya dia anakku satu-satunya. Seseorang yang bisa menjadi harapanku di hari tua, nanti. Sayang didikanku tak ia pahami seutuhnya. Ia hanya paham bahwa aku wanita yang selalu memanjakannya dan tak pernah menolak setiap keinginannya. Mungkin karena ini ia seenaknya juga meminta Reo untuk jadi miliknya. Aku tak tahu siapa yang memulai asmara itu, mungkin karena kedua-duanya sama-sama tak berhati dan berotak. Orang-orang seperti mereka, layak aku kembalikan ke tempat sampah. *** “Bunda, aku mau dibawa kemana oleh polisi-polisi ini,” tanya Reo dengan wajah memelas. “Tenang, Reo, kamu nggak akan dipenjarakan hanya karena berselingkuh dengan anak angkat kita. Tapi mungkin kamu akan dipenjarakan karena menggelapkan uang sejumlah ratusan juta ke rekening anonim milikmu. Untuk apa? Untuk bersiap-siap kabur dan menikah dengan istri baru? Jangan bohongi aku, kemarin-kemarin aku masih terus melindungimu dari Papa. Tapi saat ini, nggak ada ampun lagi Reo. Sekarang kamu hanya perlu tanda tangani surat cerai itu dan sekaligus tanda tangan untuk melepas jabatan kamu pada PT. Naira Mediatama.” Reo tampak shock. Tpi tak mampu lagi menjawab kata-kataku. “Si-siapa dua orang tua ini, Bun?” Raya menunjuk dua orang bertubuh kurus dan renta itu. “Kamu nggak mengenalnya, Raya? Beneran nggak kenal? Saking terlalu sayangnya aku sama kamu kemarin-kemarin sampai kamu nggak tahu dari mana kamu berasal. Mereka Ayah Ibu kamu. Pulang saja dengan mereka, nanti kubekali uang secukupnya. Tapi sayangnya kamu harus berhenti kuliah, mobil dan fasilitas lainnya aku cabut. Silahkan kembali ke asalmu,” ucapku sambil melempar tas-tas pakaian di hadapannya. “Rany, tolong selesaikan semuanya.” Biarlah selanjutnya diurus Rany, sekertarisku. Mungkin Reo dan Raya terkejut melihat sikapku diluar dugaan mereka. Mereka sudah terlalu yakin aku akan ketakutan kehilangan mereka, sehingga bisa seenaknya mengatur-atur aku agar mau menuruti mereka. Mengancamku segala rupa agar aku takut kehilangan mereka. Maaf, selama ini mungkin aku terlalu lembut dan mengiyakan semua kemauan mereka. Tapi perselingkuhan itu sudah tak bisa aku tolelir dengan cara apapun. Ada saatnya aku lembut, tapi aku juga punya harga diri yang tak bisa ditukar dan dipermainkan. Mungkin aku tak punya anak, mungkin aku mandul, tapi aku tetap berhak bahagia. Aku berlalu dengan anggun meninggalkan mereka. Mengubur secepatnya rasa sakit yang kemarin singgah di hati. Biar kunikmati bahagiaku sendiri tanpa harus memperjuangkan orang-orang yang tak tahu terima kasih. ---- Terima kasih sudah menyimak, semoga ada hikmah/ibroh dari cerita ini nantinya. Bantu klik love-nya and komen, dan masukkan ke dlm daftar bacaan, yah. Makasih udah bantu akun ini bertumbuh. Kalau mau lihat versi videonya, ada di YouTube ya tmn2. Nama Channel Asa Jannati. Itu suara saya sendiri.?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD