Reo Jatuh Sakit (3)

1829 Words
~Reo Jatuh Sakit~ Biarlah yang kurawat dengan kasih sayang itu pada akhirnya harus kembali ke tempat asalnya. Tuntas sudah tugasku membesarkannya dan membersamainya selama ini. Mungkin memang sudah waktunya dia kembali ke asalnya. Security rumah ini sudah menarik paksa gadis itu masuk ke dalam mobil. Raya berontak, melolong menangis, menjerit tapi tak bisa menolak. Karena memang tak ada tempat lagi di sini untuknya. Mobil itu melaju dengan cepat. Aku menarik napas lega. Satu masalah selesai. Sekarang membereskan satu lagi yang masih bersimpuh di kakiku menangis sejak tadi. Ini yang akan berat, Aku harus tegar ... “Raya sudah pergi Reo, kenapa kamu tidak ikut serta pergi juga meninggalkan rumah ini?” ucapku dingin tanpa menatapnya. “Aku sudah bilang Bun, tidak akan pernah melepasmu. Ingat empat belas tahun kita Bunda. Apakah akhirnya akan berakhir sia-sia seperti ini? Apakah aku tidak ada artinya sedikitpun untukmu sehingga ada kesempatan sekali lagi untuk aku memperbaiki semuanya?” “Basi kamu Reo! Kamu ketahuan saja bilang gini, gimana kalau aku nggak pernah memergoki kamu? Hah? Seberapa banyak kamu memohon sebanyak itu pula aku menolak!” balasku sembari keluar jendela, dingin. Sayangnya tak lama mataku tertuju pada dinding-dinding rumah ini, dimana setiap sisinya ada pigura besar yang memajangpotret kemesraan aku dan Reo. Ah, ini memang yang tersulit, karena pada dasarnya aku memang mencintai Reo sepenuh hati. Apalagi yang kupertahankan darinya selama ini selain karena cintaku yang berlebih. Dulu, cukup menatap matanya saja sudah mampu meruntuhkan dinding-dinding hatiku yang beku. Melihat tubuhnya dari kejauhan saja sudah mampu membuat seluruh tubuhku bergetar. Ia pemuda santun, penuh kelembutan, dari keluarga sederhana yang membuatku dulu begitu tergila-gila dan menyukainya. Mata elang, hidung mancung dan rambut hitam legam itu, telah belasan tahun membuatku hidup bahagia penuh cinta dan tenang. Itulah yang membuatku tak terima melihat kenyataan ini. Sakit melihatnya selingkuh, sakit pula melihat orang yang kucintai ini harus mendapat ganjarannya. Melepas jabatan, harga diri juga sudah tak ada artinya lagi di mata Papa dan Mama. Hatiku sakit seolah separuh dari jiwaku hilang. Aku kosong. Tapi aku juga merasa terinjak-injak harga diriku oleh perselingkuhannya. Benarkah yang menggoda adalah Raya? Tapi ia Ayahnya, bukan? Kenapa ia tak bisa mengendalikan perasaan dan hatinya. Seburuk apa aku hingga ia bisa goyah oleh hal lain? Karena hanya ingin main-main dan berpikir tak akan pernah ketahuan? Dia sudah menghancurkan dua hal sebetulnya, istrinya dan anaknya. Ini yang membuatku tak bisa terima dan nyaris gila dua minggu ini. Hanya saja aku tak mau terlihat lemah di mata semuanya. Tapi seandainya ada yang bisa melihat bagaimana hatiku. Mungkin sudah seperti kaca pecah yang serpihannya terlontar jauh kemana-mana. Aku bergegas meninggalkan tempat ini, menuju kamar, aku ingin menyendiri. “Rany, sekali lagi, selesaikan semuanya. Kabari saya via w******p saja jika penting,” ucapku pada sekretarisku, seraya pergi meninggalkan kerumunan ini. Aku pergi menuju ruang kerja. Berwudhu, lalu shalat mencari ketenangan. Tak lama aku berdizkir sembari duduk di meja kerja berusaha meredakan debar emosi yang masih terus mendera. Tak lama Papa dan Mama datang menghampiri. “Papa tahu ini berat, Nak. Tapi kamu harus bisa melewatinya. Kamu sudah cukup banyak ditempa pengalaman, Papa sama Mama yakin kamu bisa menyelesaikan ini dengan baik,” ujar Papa sembari menepuk-nepuk bahuku. Ya, Pa, Ma, usiaku tak lagi muda, aku bisa hadapi ini semua. “Ya, Mama akan selalu dukung Kamu. Mama akan di sini beberapa hari menemani Amel, Pa,” ucap Mama sembari mengusapkan kayu putih ke leherku. Mama, aku sudah setua inipun Mama masih begitu penuh perhatian. Dan Mama tetep energik di usianya yang sudah lanjut. “Ya, terima kasih, Ma.” “Oke, Papa mau pulang dulu, Mel. Kabari Papa ya bila ada apa-apa.” Papa mencium keningku dan Mama lalu pergi meninggalkan kami. “Ma, setelah ini, Amel mau ke London dan Paris. Agar Amel tidak terlalu larut dalam sedih. Setelah itu baru Amel akan umroh. Apakah Mama mau ikut?” Aku segera mengutarakan hal ini ke Mama sekaligus sebagai penguatan rencana agar aku mewujudkannya. Aku harus pergi menghibur diri, melihat hal indah dan baru agar cepat mengubur rasa sakit yang pasti akan lama bersemayam dalam hati. “Bagus, Nak. Pergi saja, jalan-jalan, wisata hati, itu akan bagus untuk rohanimu. Mama tidak ikut tidak apa, ya. Belakangan ini Mama disibukkan lagi jadi pemateri seminar-seminar mahasiswa. Inipun sudah jalan-jalan bagi Mama, ‘kan?” Mama tersenyum mengatakannya. Aku senang kelihatannya Mama tetap stabil jiwanya, tidak terpukul atau emosi dengan keadaanku. Good, Ma. Itu lebih bagus untuk kesheatan Mama juga. Mama memang harus pintar mengontrol emosi dan menjaga kesehatan jiwa agar tetap sehat hidupnya, dan aku tahu Mama sudah lakukan itu. “Bu, kata Pak Reo, beliau akan pulang ke rumah Bogor untuk sementara.” Rany sudah ada di depan pintu. “Bagus, Rany. Suruh dia pergi dari rumah ini dulu, entah kemana. Kalau mau ke rumah Bogor, antarkan saja oleh Darno, jangan lupa Darno lekas balik kemari lagi,” pintaku. “Siap, Bu.” Rany segera berbalik meninggalkanku. Ya, sebaiknya Reo sementara memang tinggal di rumah Bogor. Rumah itu rumah lama kami yang sudah tidak kami tempati setelah kami pindah ke rumah yang lebih besar ini. Disana hanya ada penjaga rumah, Pak Diwan. Jika Reo ingin menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal atau ia ingin memilikinya, ya silahkan saja. Mungkin rumah itu satu-satunya yang akan kubagi untuknya. Selebihnya tidak. *** Hari ini aku sudah menatap menara Eifel dengan manisnya. Aku datang di saat yang tepat. Bulan dimana memasuki musim salju, sehingga sepanjang jalan aku bisa melihat hujan salju yang sedang turun, sementara bumi belum terlalu penuh oleh salju yang bertumpuk. Sempurna. Indah. Pemandangan ini cukup membuat mood dan emsoiku baik. Ini memang yang aku cari. Di sini aku ditemani beberapa teman yang menetap di Prancis. Mereka teman-teman masa lalu dari jaman SMA dan kuliah. Beruntung mereka memang sudah sering nongkrong bersama dan saling kenal sehingga kehadiranku di tengah-tengah mereka membuatku sangat terhibur. Candaan-candaan khas Indonesia tak mereka lupakan dan itu terkesan lucu di telingaku karena aksen mereka yang sudah mulai berubah kebule-bulean tidak lagi seperti dulu yang masih medok betawi atau jawa. Aku menyeruput capucciono sore hari sembari memandangi angsa-angsa di kolam kecil itu. Menatap julangan menara Eiffel yang begitu romantis di mataku. Banyak pasangan muda-mudi yang sedang berlibur kemari. Aku dan Reo tentu saja sering kemari. Ah, seandainya saja Reo ... Ah, sudahlah kenapa aku menyebut namanya. Bukankah aku kemari untuk melupakan dia. Aku kembali bergabung ke meja teman-temanku, lebih baik aku ngobrol dan bercanda bersama mereka. Lusa aku harus pergi ke London, manfaatkan saja waktuku dengan mencari topik pembicaraan yang sedang hit bersama mereka. “Apa kabar Reo dan Raya, Mel?” tanya Meta sahabat sebangkuku ketika SMA. Dia banyak tau hal tentangku, sayangnya ia belum tahu soal pernikahanku yang di ujung tanduk. Aku tergagap, saat matanya menanti jawabanku. “Mereka ... mereka seperti biasanya, sibuk dengan hobi dan aktivitasnya saat ini, waktunya belum pas untuk aku ajak berlibur seperti saat ini,” jawabku mencoba menjawab secara umum. “Raya sudah kuliah ya? Aku lihat foto kalian ketika merayakan keberhasilan Raya diterima di Universitas Indonesia,” lanjut Meta. Aku segera meminum cokelat capuccinoku. Menenangkan diri berharap tak ada pertanyaan lebih jauh lagi. “Oh, iya, Ta. Kamu melihatnya, ya. Raya sudah semester dua,” jawabku mencoba biasa. “Oiya kamu sudah tahu belum, Mel. Brian mengalami kecelakaan bersama keluarganya tiga bulan lalu, anak dan istrinya tidak bisa terselamatkan.” Tiba-tiba Farah memberitahukan hal yang membuatku kaget. “Oh,ya?” Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Brian, orang dari masa laluku. Dia orang baik yang selalu aku kagumi. Kakak tingkat yang rumahnya sempat tak jauh dari rumah masa kecilku. Setelah itu kami pindah tak pernah bertemu lagi, sampai akhirnya di masa kuliah kami bisa bertemu lagi. Dia ambil Arsitek, semetnara aku Bisnis. “Iya, Brian cowok yang selalu kamu kagumi di jaman kuliah itu, Mel.” Farah si cewek Medan ini menggodaku. “ Tak beruntung sekali nasibnya, harus kehilangan anak dan istrinya sekaligus. Aku datang saat pemakamannya. Gimana kalau besok kita agendakan kita main ke rumahnya? Setuju?” “Eh, jangan dia nanti terganggu, dia sedang berkabung.” Aku tak enak hati juga sebenarnya. Sungkan karena pernah ada cinta di antara kami. Sayangnya tak semua teman-temanku tahu bahwa waktu itu aku pernah menjalin hubungan beberapa bulan dengannya. Selama dengan Reo, aku pernah berjanji untuk selalu menjaga hati. Menjaga pikiran dari apapun yang bernama laki-laki. Ini menjadikan aku serba terbiasa menghindari laki-laki. Aku mau dekat dengan teman-teman di sini karena mereka sudah seperti saudara sejak lama. “Nah, baru saja diomongin, Brian nongol juga, tu.” Teddy menunjuk seseorang yang sedang berjalan ke arah kami. “Tau aja, Lu, Bri lagi di omongin udah nongol,” lanjut Teddy sambil menyalaminya. Brian menatapku. “Amel, wahh, kangen sekali udah lama nggak ketemu, apa kabar kamu?” Brian langsung menyapaku ramah. Ya Allah, ia masih seramah dan semanis dulu. Gingsul dan lesung pipinya tak berubah. “Baik, Bri. Apa kabarmu? Gimana sehat?” jawabku. “Alhamdulillah. Aku dapat kabar dari Erica, katanya kamu datang dan kalian nongkrong di sini, kebetulan sekali, kantorku tak jauh dari sini.” Ia tersenyum, lagi-lagi lesung pipi itu. “Anak ama suami nggak dibawa?” tanyanya. “Oh, enggak Bri, mereka lagi sibuk-sibuknya. Aku kebetulan lagi ada urusan di London. Tapi aku mampir sini dululah, ya. Nemuin kalian,” jawabku mencoba secair mungkin. “Iyalah, kalo orang sudah sepuh itu sebaiknya sering reuni, sebab kalau neggak nanti lupa siapa nama teman-temannya pas papasan di jalan,” canda Brian dibarengi gelak tawa yang lain. Brian yang pandai menempatkan diri itu memulai candaannya. Lumayan akan sangat menghibur suasana hatiku di sini jika ada dia sebenarnya. “Ngomong-ngomong kapan mau ke Londonnya? Kebetulan aku juga ada urusan di sana lusa,” ucapnya santai. Lusa, pas sekali. “Ya, lusa juga,” jawabku. “Nah, pas banget tuh, Mel, bareng Brian.” Meta mengedipkan sisi kiri matanya. Aku tertawa, ini emak-emak uzur satu ini nggak hilang-hilang genitnya. “Kalau begitu, kamu pergi saja denganku, biar Aman Mel. Saat ini perjalanan ke sana sedang tidak aman, cuaca dan penjahat sedang merajalela,” ujar Brian. Brian, kamu masih sebaik itu. “Mel, bener kata Brian. Jarang-jarang ituh Brian mau nemenin perempuan. Kalau bukan spesial,” lanjut Erica. Aduh, kenapa hatiku sekarang yang jadi kebat kebit. Tring! Tiba-tiba ada pesan masuk dari Rany. [Bu, Pak Reo masuk UGD satu jam lalu, kondisinya memperihatinkan,] bunyi pesan Rany. Deg! Mendengar namanya, rasa nyeri masih tersemayam. Sakit apa Reo? Mag akutnya kambuhkah? Atau darah tingginya? Ya, Allah, baru beberapa hari aku mencoba melupakan Reo. Bukankah kita akan segera bercerai. Sebaiknya aku harus membiasakan diri tak perduli pada keadaannya. Rany, kenapa dia harus mengabariku. [Sudah biarkan saja, Rany. Sekarang sudah bukan urusanku. Sudah ada keluarganya yang akan mengurusnya,] jawabku. [Tapi keadaannya sangat parah, Bu. KRITIS,] jawa Rany. Reo Kritis? TO BE CONTINUED Tetap semangat. Follow IG : Asa Jannati Terima kasih sudah menyimak, semoga ada hikmah/ibroh dari cerita ini nantinya. Bantu klik love-nya and komen, dan masukkan ke dlm daftar bacaan tmn2, yah. Makasih udah bantu akun ini bertumbuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD