Adella Rahma, itulah nama lengkapku.
Banyak yang bilang wajahku mirip artis kondang dari ibu kota Nikita Willi, yah lumayan cantiklah untuk ukuran gadis desa seperti aku.
Aku si kembang desa tanjungsari malam ini telah menerima
pinangan dari seorang pemuda dari desa sebelah, putra pertama dari bapak lurah Pandan asri, sungguh suatu kehormatan yang begitu besar bagi kami yang berasal dari keluarga sederhana bisa mendapat lamaran dari keluarga terhormat nan kaya raya seperti mereka.
"Apalagi yang kamu cari cah ayu, kamu harus senang dan bahagia nerima lamaran mereka, kita ini keluarga nggak punya, almarhum Bapakmu nggak ninggalin apa-apa selain nama baik keluarga." itu lah kata-kata Ibuku saat meyakinkan aku untuk menerima lamaran itu, dan kata-kata Ibu memang benar adanya ibuku yang seorang janda membesarkan aku dan adikku seorang diri sepeninggalan Bapak dulu.
Aku memang menerima lamaran itu, tapi rasanya aku tidak bahagia, aku kecewa karena Pak lurah Raharjo melamarku untuk Mas Ridho, putra pertamanya bukan untuk Arman putra keduanya pria yang kucintai, Arman dan aku satu sekolah saat SMP dan SMA dia satu tahun di atasku, kami tidak pernah berpacaran tapi aku tidak bisa memungkiri aku mencintainya.
Aku dan Mas Ridho dijodohkan karena hingga saat ini Mas Ridho belum juga memiliki pasangan, yah bisa kumaklumi Mas Ridho memang berbeda dengan Arman, dia cenderung pendiam tidak seperti Arman yang supel dan periang walau pun keduanya sama-sama tampan dan baik hati tentunya.
Sebenarnya saat lamaran aku ingin menolaknya, menolak Mas Ridho dan menawar Arman sebagai penggantinya, tapi itu adalah tindakan konyol yang akan berpengaruh besar pada masa depanku.
Sementara biarlah seperti ini, paling tidak kalau aku jadi kakak iparnya aku bisa deket-deket terus sama Armanku, tinggal satu atap dan bertemu setiap hari dengannya, aahhh membayangkannya saja sudah membuat aku bahagia ...
* Dita Andriyani *
Hari ini acara pernikahanku dan Mas Ridho dilangsungkan.
Aku bahagia, tapi bukan karena aku akan menjadi istrinya melainkan karena aku akan menjadi kakak ipar Arman, cintaku. Biarlah orang berkata aku durhaka tetapi beginilah adanya hatiku.
Kupatut diri di depan cermin, berputar kanan kiri, berulang ulang senyum termanisku kembangkan sambil membayangkan bahagianya aku yang akan tinggal di rumah mewah mertuaku bersama adik iparku.
Kuingat kemarin saat rombongan lamaran datang membawa banyak seserahan ada Arman diantara mereka, dia tersenyum melihatku di sebalik tirai yang menghiasi ruang tamu rumahku, entah kenapa ada satu keyakinan dalam hatiku bahwa sesungguhnya Arman memiliki perasaan yang sama denganku.
"Wwaaauuu.. Mbak Adella jan ayu tenan, kalah Nikita willi mah," celetuk Irma adik perempuanku satu-satunya
"iya dong, mbaknya siapa dulu." sombongku.
"Wes-wes, jangan ngobrol terus, tuh ijab qobul udah mau di mulai. Ayo, Nak, kita ke pelaminan," titah ibu, yang lalu kusambut dengan senyuman dan menerima uluran tangannya yang akan menggandeng langkahku menuju pelaminan yang indah berhiaskan bunga-bunga berwarna putih dan merah muda.
Dengan hati berdebar-debar aku menyaksikan dengan khidmat saat Mas Ridho menjawab kata-kata Pak penghulu, aku takut kalau-kalau ijab qabul ini tidak berjalan lancar, bukan aku takut tidak jadi istri mas Ridho, tapi aku takut tidak jadi kakak iparnya Arman.
"Saya terima nikah dan kawinnya Adella rahma binti almarhum Rohadi untuk diri saya sendiri dengan mas kawin tersebut di bayar tunai." Dengan sekali tarikan nafas Mas Ridho sudah berhasil menghalalkan diriku.
Serempak para saksi mengucap, "Sah, sah, dan sah."
Lega dan sedih yang kurasakan tak terasa bulir-bulir bening menetes dari sudut mataku saat pertama kali kucium punggung tangan suamiku.
'maafkan aku mas bukan maksudku mempermainkan pernikahan ataupun menipumu tapi rasa dalam hatiku tak bisa kupungkiri aku mencintai adikmu, adik iparku'
Saat di pelaminan menyalami para tamu dan rombongan besan, ekor mataku menangkap kehadirannya duduk di sisi panggung pelaminan sambil menikmati hidangan, aahh dia Arman cintaku, seandainya dia yang ada di sampingku saat ini, pasti sempurna kebahagiaanku.
Tak terasa siang menjelma senja, saat semua rombongan besan dan para tamu sudah meninggalkan tempat pesta, rombongan organ tunggal pun sudah bersiap-siap pulang, lelah sangat kurasakan setelah menjadi ratu sehari.
.
Segar terasa setelah membasuh tubuh yang seharian ini terasa sangat lelah, lamunanku buyar saat mendengar langkah kaki memasuki kamar. Pria itu, yang sekarang sudah resmi menjadi suamiku, langkahnya pasti sambil mengulum senyum malu menghampiriku yang tengah duduk di tepi ranjang.
"Dek, walaupun kita nggak pernah berpacaran, tapi perlu kamu tau, Mas sudah menaruh hati padamu sejak pertama kali melihatmu, Mas mencari tau tentang kamu, ternyata kamu adik kelasnya Arman." Mas Ridho membuka pembicaraan setelah duduk di sampingku, lekat tak berjarak, entah kenapa hatiku malah tak karuan saat Mas Ridho menyebut nama Arman.
"Lalu, Mas bilang ke Bapak untuk melamar kamu, Bapak langsung setuju begitu tau kamu anak Pak Rohadi, temen baik Bapak sejak kecil," Mas Ridho melanjutkan ceritanya, aku hanya diam menjadi pendengar yang baik.
"Dek, Mas tau kamu belum mencintai Mas, tapi Mas janji, setelah malam ini Mas akan membuat kamu jatuh cinta," ucapnya seraya mengerlingkan mata.
Degghh... Ini malam pertamaku dan mas Ridho, apakah aku mampu, sementara yang ada dalam benakku hanya bayangan Arman??
Namun tidak ada yang bisa kulakukan selain menuruti semua yang Mas Ridho lakukan padaku, bukankah sudah kewajibanku untuk menuruti keinginannya. Aku hanya bisa pasrah walau hati sedikit berontak saat ia mulai menyentuhku, menciumi pipi hingga ia mulai mencium bibirku, awalnya hanya mengecup ringan tapi lama kelamaan lidahnya mulai bermain di bibirku, secara naluriah bibirku sedikit terbuka membuatnya dengan leluasa menyelusupkan lidahnya ke mulutku hingga lidah kami saling berbelit kemudian saling menyesap, sepertinya walaupun terlihat kalem dan pendiam Mas Ridho begitu mahir berciuman.
Jantungku terasa semakin cepat berdetak saat tangannya mulai merayap di dadaku, sementara tangan yang lainnya memeluk tubuhku agar lebih dekat padanya, aliran darahku terasa lebih memanas saat tangannya menyelusup kedalam pakaianku melepas pengait bra yang kukenakan. Lalu dengan lahap mengulum ujungnya, aku tidak bisa menyangkal jika tubuhku mulai menikmati setiap sentuhannya walaupun hatiku berusaha mengelak tapi nyatanya setiap sentuhan Mas Ridho di tubuhku seakan membuatku melayang. Hingga mengalirlah darah keperawanan yang selama ini mati-matian aku jaga walau harus bertaruh nyawa.
* Dita Andriyani *
Dddrrrttt... Ddrrttt... Terpaksa kubuka mata saat mendengar gawai bergetar di atas nakas, dengan malas k****a pesan w******p dari nomor yang belum tersimpan.
(selamat pagi kakak iparku yang cantik, bagaimana malam pertamamu dengan kakakku? Simpen nomerku ya )
Demi tuhan, membaca pesan ini lebih mendebarkan di bandingkan malam pertama dengan Mas Ridho
(Arman?) balasku cepat meyakinkan bahwa ini memang pesan darinya.
(iya, siapa lagi? 'Kan cuma aku adik iparmu yang ganteng.) balasnya tengil, dari dulu dia memang tidak pernah berubah, sikap manis dan menggemaskannya itu yang selalu membuat aku jatuh cinta.
Belum sempat kubalas sudah masuk satu pesan lagi
(semalaman aku enggak bisa tidur membayangkan kamu dalam pelukan kakakku, aku enggak rela.)
(besok acara ngunduh mantu, kita akan bertemu. Sudah dulu aku takut Masmu bangun.)
Secepat kilas kuketik dan mengirim balasan saat kurasakan pria yang tengah tertidur pulas menggeliat mengeratkan pelukannya di pinggangku, namun hampa yang terasa.
********
Hari menjelang sore saat pertunjukan campur sari yang di gelar di kediaman mertuaku untuk memeriahkan acara ngunduh mantu selesai.
Mas Ridho dan kedua orang tuanya tengah berada di ruang tamu menemani para kerabat jauh yang belum beranjak pulang.
"Mas, aku permisi mau ke kamar mandi dulu."
pamitku Mas Ridho dengan perasaan gugup sesaat setelah membaca chat dari Arman yang memintaku menemuinya di lantai atas, kamarku dan Mas Ridho berada di lantai dua rumah ini tepat bersebelahan dengan kamar Arman.
"Iya dek, kalau kamu lelah kamu bisa istirahat dulu di kamar nanti Mas nyusul." bisik suamiku bernada mesra Tapi aku tidak merasakan getaran apa-apa di dalam d**a.
Satu persatu kutiti anak tangga dengan hati berdebar, langkahku ragu saat pargelangan tanganku di tarik memasuki kamar Arman.
Pria itu kini berdiri tegap di hadapanku nyaris tak berjarak sesaat setelah menutup pintu rapat.
Begitu dekat kutatap lekat matanya, kurasakan hembus nafasnya harum hingga merasuk memasuki sukma menembus relung jiwa.
Kami hanya terdiam hingga beberapa saat. Namun, itu sudah lebih dari cukup menjelaskan tentang sebuah rasa, rasa yang bernama cinta.
"Kenapa kamu nggak minta ayahmu untuk melamarku kalau kamu benar-benar mencintaiku?"
Ujarku meluapkan kekecewaan.
"Aku nggak bisa melamarmu atau wanita manapun sebelum Mas Ridho menikah, duniaku hancur saat tau Mas Ridho mengingin kamu jadi istrinya, tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa." jelas Arman dengan suara tertahan.
"Kenapa kau tidak memperjuangkanku?"
Aku sudah tidak bisa menahan air mataku yang perlahan mulai terjatuh.
"Banyak hal yang belum bisa aku jelaskan, tapi pasti akan kamu pahami setelah kamu jadi bagian keluarga ini, tapi satu hal yang harus kamu ingat selalu, pernikahanmu dengan Mas Ridho nggak akan pernah bisa menghapuskan cintaku padamu," ucapnya penuh keyakinan sebelum mengecup bibirku dengan hangat.
Aku refleks membuka bibir saat merasakan lidahnya mulai menelusup kedalam rongga mulutku, kami berpagutan cukup lama, rasa ciumannya berbeda dengan suamiku, mungkin kerena di hatiku ada cinta untuknya. Pelukannya terasa hangat, saat ia menarikku lebih erat hingga sekujur tubuh kami saling menempel, hangat pula kurasakan menjalar di sekujur tubuh, terutama di dalam hatiku.
Jiwaku yang sesaat melayang kembali merasuki raganya saat terdengar suara Risti, adik bungsu Mas Ridho memanggilku.
"Mbak.. Mbak Della.." panggilnya sambil keluar dari kamarku.
"Lho Mbak Della kok dari kamar Mas Arman?" tanya Risti bingung.
Dan bagaimana perasaanku? Tak perlu di tanya lagi, seperti pedagang kaki lima ketemu satpol pp.
"Ii.. iya, Mbak salah masuk kamar." semoga Risti percaya dan memaklumi karena aku memang belum genap sehari disini.
"Oohh.. Mas Arman nya mana? "
"Nngg.. nggak tau, di kamar nggak ada orang,"
"oh ya udah, ayo turun mbak di panggil ibu, di ajak makan."
"Iya," jawabku singkat.
Kulihat Arman berada di balkon, tersenyum sambil merentangkan tangan seolah ingin menarikku dalam pelukannya.
Aku hanya melempar senyum malu walau sesungguhnya aku ingin berlari menyambut pelukannya, pelukan hangat cintaku, hal yang tidak mungkin kulakukan karena suamiku menunggu di bawah.