Network Love - 1

1209 Words
Aji “Makasih banyak, mbak,” Aku tersenyum ke arah pegawai kasir begitu menerima uang kembalian. Setelah keluar dari minimarket, aku segera bergegas menuju mobil. Ponselku berdering lagi, ada panggilan masuk dari Dek Una. “Iya, udah aku beliin semua, Dek,” ucapku bahkan sebelum Dek Una sempat mengatakan hallo. “Hehe, iya, makasih. Sama itu mas,” Dek Una menjeda kalimatnya agak lama. “ Apalagi?” “Cemilan di kulkas dihabisin Mas Danu semua. Aku kelaparan-” “ Bohongggg! Gue ambil dikit aja ya! Lo yang dari tadi banyak makan!” itu suara Danu. “Enggak ya, gue cuma makan dikit aja, tadi!” Aku langsung memijit pangkal hidungku begitu mendengar Una dan Danu mulai berdebat. “ Udaaah! Iya, ntar aku beliin jajan sebelum pulang. Mau apa?” tanyaku akhirnya. Kalau aku tidak melerai, mereka pasti akan terus berdebat. “ Apa aja, yang penting kalau bisa yang bikin kenyang.” “Hmmm, oke.” “Sayang Mas Aji banyak-banyak.” “Sayang Mas Aji banyak-banyak, preeeet!” Aku langsung tertawa begitu mendengar Danu mulai meniru suara Una yang barusan memang sengaja dibuat-buat seperti anak kecil. “Udah ya, aku tutup.” “Iya, hati hati mas.” Begitu panggilan terputus, aku membuka pintu mobil bagian belakang lalu meletakkan barang belanjaanku di sana. “Ajiii!” Tiba-tiba saja, seseorang memanggilku. Aku menoleh dan langung tersenyum begitu melihat Eza melambaikan tangan ke arahku. Ngomong-ngomong Eza ini teman dekatku sejak kami kuliah dulu. “Kok sampai sini, Za? Rumahmu kan jauh dari sini.” “Tadi habis dari kampus aku nganterin ibu ke rumah saudara di deket sini. Beliau mau nginep, jadi aku pulang sendiri. Terus barusan mampir beli minum.” “Oh gitu.” “Mau langsung pulang, Ji?” “Iya, ini aku ditunggu adik-adikku di rumah.” “Memangnya mau ada acara apa sampai ditungguin segala?” “Enggak. Biasa lah, mereka pada kelaparan di rumah. Ibu lagi di luar kota nganterin bapak, jadi ya gitu. Berasa aku ini kaya orang tua buat mereka.” Aku terkekeh, dan Eza pun ikut tertawa. “Masih suka berantem mereka, Ji?” “Yaelah Za, masih nanya. Mereka kapan akur?” Eza tertawa lagi. “Ya udah, salam aja buat Danu.” “Buat adekku yang cewek enggak, Za?” tanyaku setengah meledek. Bukannya apa-apa, meski punya wajah yang jauh di atas rata-rata, aku tahu betul sahabatku ini masih ‘anti’ dengan perempuan. Dia memiliki sedikit trauma dengan perempuan di masa lalunya. Dia bukannya tidak normal, hanya saja dia berubah menjadi orang yang sangat pendiam dan tertutup semenjak insiden yang menimpanya beberapa tahun lalu. Eza yang tadinya selalu terseyum dan ramah dengan semua orang, mendadak menjadi Eza yang kaku dan minim ekpresi. Dia hanya tampak baik-baik saja jika sedang bersama orang-orang terdekat, selebihnya, dia seperti orang yang tak kukenal sebelumnya. Apalagi jika itu di kampus, tempat yang justru paling sering dia kunjungi karena profesinya saat ini adalah dosen. “Jangan, lagian aku nggak kenal. Buat Danu aja.” “Masih belum move on, ya?” tanyaku yang langsung membuat Eza menatapku malas. “Bye, Ji,” ucapnya santai, lalu pergi begitu saja. Mau tak mau aku tertawa. Aku ikut melambaikan tangan ketika Eza melambaikan tangan tepat sebelum mobilnya pergi menjauh. *** Aku mengetuk kemudi beberapa kali sambil menunggu lampu berwarna hijau. Aku menghembuskan napas panjang melihat langit semakin gelap. Rasanya hari ini terasa begitu panjang. Mungkin salah satu alasannya karena hari ini sedikit lebih berat dari biasanya. Akhirnya, aku memutuskan resign dari kerjaanku yang dulu. Sebenarnya sangat berat meninggalkan para rekan kerjaku yang sudah seperti keluarga sendiri, tapi jika aku tak segera mengambil keputusan, aku takut semangatku membangun usaha sendiri akan luntur begitu saja. Tin tin! Bunyi klakson mulai bersahutan, begitu lampu berwarna hijau. Aku segera menjalankan mobilku kembali. Tidak berselang lama kemudian, aku sudah sampai di pertigaan kedua sebelum masuk gang komplek rumahku. Namun ketika aku baru saja belok di pertigaan, tiba-tiba aku melihat seorang perempuan melambaikan tangannya seperti mengisyaratkan sesuatu padaku. “Mas, berhenti! Mas, awas!” “Hah?” “Mas!!!” CIIIT, DUG! Aku reflek menginjak rem begitu perempuan itu menabrak mobilku dengan motornya scupynya. “Mbak, apa-apaan ini?!” Perempuan itu menatapku dengan mulut melongo dan ekpresi yang sulit diartikan. “Ah, selamat. Aku selamat.” Keningku mengernyit bingung ketika perempuan itu justru mengelus dadanya, tampak lega. “Mbak? Hallo?” “Eh, iya?” Aku turun dari mobil lalu kuhampiri perempuan itu. “Maksudnya apa ini?” tanyaku sambil melirik bagian depan mobilku yang bertabrakan dengan motornya. Aku melihat ada sedikit goresan di sana. “Kan tadi saya sudah teriak suruh masnya berhenti, malah jalan terus.” “Kenapa saya harus berhenti? Lagipula jalur saya benar. Mbaknya yang salah, bisa-bisanya di jalur kanan?” “Iya tahu, saya salah, tapi tadi saya sudah teriak suruh masnya berhenti. Ban motor saya tiba-tiba bocor, terus—“ belum sempat perempuan itu menyelesaikan kalimatnya, aku menoleh ke arah motornya. Dan benar saja, ban motor bagian belakang kempes. “Terus mbaknya nabrak mobil saya?” Perempuan itu meringis. “Bukan gitu,” “Kalau bukan?” “Aduh, gimana ya? Oke, saya minta maaf, tapi setidaknya saya sudah ngasih tau masnya buat berhenti. Tadi saya habis dari rumah itu, saya buru-buru. Pas mau turun, tau-tau ban saya sudah bocor, motor saya susah digerakin. Mau langsung ambil jalur kiri tadi ada truk pasir lewat, jadi saya terpaksa ambil jalur kanan yang sepi, eh masnya keburu datang dari belokan. Jadi ya gitu.” Aku mengamati perempuan itu dari atas sampai bawah. “Masnya liat apa?!” serunya dengan tatapan risih karena aku mengamatinya. Padahal aku hanya sedang menebak kira-kira berapa umur perempuan ini. “Ada tanda pengenal?” “Buat apa?” “Mbaknya nggak mau tanggung jawab? Itu depan mobil saya—“ “Ya ampun, cuma lecet sedikit,” selanya sambil melirik bagian depan mobilku yang tadi tertabrak motornya. “Sedikit atau banyak, mbaknya tetap harus tanggung jawab,” tukasku yang membuat perempuan itu tampak memijit pelipisnya. Sebentar, di sini aku bukanya orang pendendam yang suka mempersulit orang lain. Aku hanya tidak suka cara perempuan ini minta maaf karena dia masih cari pembenaran padahal jelas dia yang salah. Meski sebenarnya aku tidak akan memperpanjang masalah ini, tapi aku hanya ingin melihat sampai mana i’tikad baik perempuan ini untuk mengakui kesalahannya. Itu saja, tidak lebih. “Aduh, mana saya nggak punya banyak waktu lagi.” “ Maksudnya?” Perempuan itu tiba-tiba membuka tasnya lalu memberiku kartu nama. “Itu kartu nama saya. Saya bukannya nggak mau tanggung jawab, tapi saya mohon jangan suruh saya tanggung jawab sekarang. Saya masih ada keperluan mendesak. Besok masnya bisa hubungin saya, di situ ada nomor saya. Sekali lagi saya minta maaf. Saya permisi.” Perempuan itu menepikan motornya lalu mengunci stang. Setelah itu, dia menelfon seseorang sebelum akhirnya menyetop taksi dan pergi begitu saja tanpa menoleh ke arahku lagi. Sepertinya perempuan itu memang sedang terburu-buru. Kalau buru-burunya hanya untuk alasan, dia tidak mungkin asal meninggalkan motornya begitu saja di pinggir jalan. Akhirnya, aku bergegas kembali masuk mobil. Namun, belum sempat aku membuka pintu, mataku seketika fokus pada kartu nama yang ada di tangan kananku. “Dwilia Almira Kevlar, S. Pd.. SMA Bakti Persada.” SMA Bakti Persada? Dia seorang guru? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD