Garis terdepan

1786 Words
"Bintang, lo udah tidur?" Suara gumaman dari seberang terdengar lirih menjawab telponnya. Bintang masih merem, telponnya ia tempel di telinga kanan. Sambil memeluk guling dan membenarkan posisi miringnya, cowok itu langsung tersadar saat suara yang tak asing menyapa. "Eh? Starla. Kenapa lo telfon malem-malem? Lo belum tidur?" Bintang sudah duduk mengucek sebelah matanya. "Gue—" Tut. Tut. Sambungan terputus sepihak. Bintang mematikan ponselnya. Kemudian cowok itu beranjak dari kasur dengan sempoyongan karena kesadaran yang masih setengah. Cowok itu berhenti sebentar guna mengumpulkan kesadarannya. Kemudian lanjut berjalan hati-hati. Sampai di kamar mandi, cowok itu mencuci mukanya di depan wastafel, menggosok gigi lalu membasahi sedikit rambutnya. Selesai. Ia kembali melek sempurna. Kakinya melangkah keluar kamar mandi, melirik jam dinding custom besar yang ada di atas kepala ranjang. Pukul 11 malam. Masih cukup sore. Bintang segera mengambil jaket lalu memakainya, tak lupa menarik kunci motor yang menggantung di pintu. Bergegas ia turun ke bawah. Saat sampai di tangga terakhir, remang-remang lampu dimatikan seseorang duduk di ruang tamu. Melihat Bintang tumben keluar malam, ia membeo kepo. "Mau ke mana lo?" "Bukan urusan lo." "Ck, udah mulai nakal lo wkwk." "Bacot." Bintang menatap datar sang lawan bicara, kemudian setelah sendal swallow ia kenakan, pintu terbuka. Menuju bagasi, mengambil motor kesayangannya. Lalu, dengan kecepatan sedang ia melajukannya ke tujuan. Sampai beberapa menit, di halte ketika tadi sepulang sekolah mereka berpisah, Bintang berhenti. Ada gerobak mendoan di sana, ia berniat membeli karena lapar. "Bang, 2 porsi ya." Cowok itu duduk di halte untuk menunggu pesanannya sambil maen ponsel mengecek sesuatu. Akhirnya 10 menit pesanannya sudah jadi. Menaiki motor kembali dan melajukannya. Tiba-tiba Bintang lupa, ia tidak tahu rumah Starla. Bintang berhenti, mengambil ponselnya lalu mendial nama Starla di sana. "Rumah lo di mananya halte?" Bintang bertanya. "Hah?" Sedangkan si lawan bicaranya kebingungan. Agak lemot dikit. "Cepet. Gue kirim delivery nih." Bintang berbohong. Starla yang tidak mau menolak, karena dia juga lapar belum makan dari sepulang sekolah ia masih di kamar saja merenungi nasibnya. Bundanya yang manggil saja ia tak mau keluar, takut jika bertemu Ayah mereka akan bertengkar lagi. Setelah menyebutkan alamat lengkap Starla, Bintang kembali melaju. Sekitar 7 menit dari tempat tadi, Bintang berhenti di depan gerbang rumah yang lumayan besar. Bintang mendial nomor Starla kembali. "Deliverynya udah di depan tuh. Sono bukain, jangan ditutup telponnya kalau lo takut." Bintang hampir terkekeh geli lantaran mengerjai Starla pura-pura menjadi abang kurir. Dari balik gerbang Bintang bisa melihat Starla keluar dengan piyama kucing berwarna biru muda. Lucu banget. Sampai Bintang tersenyum gemes. Starla membuka gerbang, masih memegang telpon yang tertera nama Bintang di sana. "Bintang." Ia terkejut, ternyata yang disebut delivery itu cowok itu sendiri. "Misi, makanan datang." Starla terkekeh begitu juga dengan Bintang. Keduanya larut beberapa detik, hingga akhirnya Starla menyuruh Bintang untuk masuk. Diam-diam Starla berbisik-bisik. "Jangan berulah ya lo." Bintang mengangguk sedikit nyengir, ia tidak janji juga tapi demi menjaga attitude maka sebisa mungkin ia akan menutup semua kejahilan yang senantiasa ingin dilampiasin pada gadis itu. Starla menyuruh Bintang duduk di bangku ayunan dekat rumah, persis di depan tanaman atau taman kecil-kecilan. Kemudian gadis itu izin mengambil piring serta minuman. Sepeninggal Starla, Bintang berdiri mendekati taman kecil yang dihiasi lampu tamaram. Ia memegang penasaran sebuah tanaman yang tidak asing. Bunga Lavender. "Dia suka buka Lavender?" "Kenapa harus Lavender?" "Ungu janda wkwk. Dia mau jadi janda, bagus deh kalau gue nikah sama dia. Gue bisa beristri 5 haha." Bintang ketawa sendiri membayangkan kekonyolannya. "Kenapa lo?" Starla datang mengagetkan Bintang yang masih sedikit membungkuk. Hampir saja cowok itu terjungkal. "Ish, ngagetin aja lo." Bintang mengambil alih piring di tangan Starla kemudian menghampiri mendoan di atas kursi ayunan diikuti Starla. Sedikit senyum terbit saat melihat punggung Bintang. Hati Starla sedikit membaik. "Nih makan yang banyak. Lo laper, kan?" "Banget." Starla langsung menyantap mendoan yang dibeli Bintang, duduk menghadap ke depan sambil mengayun-ayunkan tubuhnya. Bintang yang mengunyah makanannya sambil melirik Starla tersenyum hangat. Melihat Starla tampak baik-baik saja sudah lega. Bodo amat dengan malam dan tidurnya yang terganggu. Hatinya mengatakan jika ia harus menemani gadis itu untuk saat ini. "Besok kelas lo olahraga?" Starla mengangguk, sibuk mengunyah mendoan suapan terakhir. "Kok lo tau?" "Liat di jadwal kelas 12 sih." Starla beroh ria saja mengangguk-angguk. "Btw, makasih banget mendoannya. Lo nemu di mana mendoan seenak ini?" "Di halte." "Oh itu sih langganan gue." "Bagus kan gue bisa baca pikiran lo. Datang saat yang tepat. Gue gitu lho " Bintang mulai deh membanggakan dirinya. Starla mencebik, mengabaikan cowok itu yang hanya bercanda. Sibuk saling mengunyah, Bintang akhirnya nyeletuk, "Lo suka Lavender?" Starla mengangguk. Menghentikan kunyahan. "Iya, dulu gue nggak tau bunga Lavender. Gue tau aja dari—" "Starla!" "Uhuk! Uhuk!" Bintang langsung mengambil minum untuk Starla yang langsung tandas dalam hitungan detik. Keduanya menoleh ke sumber suara. Terlebih Bintang yang dari tadi sudah memperhatikan seseorang itu. "Bunda." "Bunda kok bangun?" Bunda tersenyum, mendekati dua remaja itu lalu mengelus lembut puncak kepala putrinya. "Halo Tante, saya Bintang temennya Starla." Bintang berdiri menyalimi Bunda dan memperkenalkan dirinya dengan sopan. Bunda tersenyum hangat. Mengelus rambut Bintang sekilas. Lalu, ia tersenyum penuh arti kepada Starla. "Baik banget kamu Bintang bawain Starla mendoan malam-malam begini. Makasih ya repot-repot. Starla belum makan dari pulang sekolah." Bunda membeberkan. Starla menunduk berupaya menyeka luka yang kembali terbuka saat mengingat kejadian tadi. Tanpa diminta, tanpa malu Bintang menggenggam tangan kiri Starla. Merasakan sentuhan, Starla mendongak menatap Bintang bergantian melirik tangannya yang sudah digenggam. "Yasudah besok kalian sekolah, Bintang sudah mau pukul 12 kamu mau nginep di sini aja ya," tawar Bunda. Bintang menggeleng sopan. "Maaf, Tante. Saya datang malam-malam mengganggu. Saya pulang aja setelah ini." Masih menggenggam tangan Starla diam-diam. Karena agak terang jadi nggak ketahuan Bunda. "Yasudah, misal kamu mau nginap besok pagi bisa pulang. Kalau emang nggak mau, pulangnya hati-hati ya. Bunda masuk dulu." Bunda kemudian pamit, diangguki Bintang dengan sopan. Tangan mereka masih menggenggam. Hati Starla kembali menghangat, ia bersyukur bisa mengenal Bintang. Bisa menjadi teman yang menyukainya diam-diam. Starla berharap meski nanti perasaannya tidak dibalas sekali pun, ia bisa selalu menjadi teman Bintang. Setelah Bunda masuk ke rumah. Bintang menatap Starla, menelisik jauh sorot mata gadis itu. Starla hanya terdiam. Perlahan tangan kanan Bintang yang bebas terulur membenahi rambut gadis itu. Starla memandang wajah Bintang, terhipnotis pada bulu mata lentik serta rahang kokoh cowok itu. Wajah teduh milik Bintang mampu membuat hatinya bergetar. Lamat-lamat ia menatap. Sampai tak sadar jika gerimis turun. "Aduh!" Starla mengaduh saat bunyi pletak di kepalanya. Kelakuan Bintang memang gampang berubah banget. Sedikit romantis, sedikit jail. Cowok itu malah cengengesan, melepas genggamannya. Beralih menatap langit yang mendung, tidak ada bintang di sana. Gerimis pun perlahan turun. "Ayo masuk!" Starla sudah berdiri. Membawa nampan yang berisi piring bekas mendoan tadi dan sisa air mineral kemasan. Gadis itu melangkah, disusul Bintang. Karena rintik hujan semakin membesar. Hujan. "Yah, hujan." Bintang berdiri di depan pintu, berhenti ketika Starla masuk, ia langsung menghadap ke teras menatapi hujan. Hawa dingin tiba-tiba menyelusup begitu saja. Starla datang kembali setelah meletakan barang-barang tadi ke dalam, menarik tangan cowok itu yang mematung mengusap-usap lengannya, sesekali menggosokkan telapak tangan. "Udah tau dingin malah bengong di luar." Starla heran, Bintang ini super random banget kelakuannya. "Pakai jaket aku nih. Kamu tidur di kamar tamu, ya." Starla menyodorkan hoodie pink ke hadapan Bintang, cowok itu nggak langsung menerima. Ia terus menatap hoodie berwarna pink itu dengan gusar. "Pink?" tanyanya. Kemudian sedetik berikutnya menyambar hoodie itu dan langsung memakainya. Wangi banget super lembut dan hangat, berasa dipeluk Starla. Bintang senyum-senyum sendiri dengan suara hatinya. Kalau beneran dipeluk sih dobel hangat ya. Starla mengernyit bingung pas liat Bintang kaya orang gila yang senyum sendiri padahal nggak ada yang lucu. "Lo demam?" Starla dengan polosnya menempelkan telapak tangan ke jidat Bintang, si empu terkaget sadar dari haluannya. Menyingkirkan tangan Starla, membawanya ke dalam saku hoodie terus merapatkan jaketnya. Starla terkejut dengan perlakuan Bintang, tapi yang menjadi pelaku pembuat berdebar hatinya itu malah tampak biasa saja. Mereka berdiri di ruang tamu. Kemudian, Starla menarik tangannya cepat. Berjalan ke sofa ruang tamu, membiarkan Bintang berdiri memperhatikannya. Bintang merapatkan jaketnya. Bibirnya bergetar, terkena air hujan dikit aja dia langsung masuk angin begini. Starla menyuruh Bintang duduk, ia pamit masuk ke dalam. Menaiki tangga ke kamarnya, lalu kembali setelah 6 menit mencari selimut yang baru dicuci. "Nih, pakai." Gadis itu menyodorkan selimut tebal bermotif doraemon. Bintang yang masih menahan dingin, memeluk dirinya sendiri, kepalanya semakin pening. Starla melangkah ke arah Bintang, memberikan cowok itu selimut tadi dan memakaikannya. Merapatkannya hingga menutupi seluruh tubuh Bintang. Saat Starla ingin kembali duduk di seberang Bintang, cowok itu mencekal tangan Starla, menarik tubuh gadis itu dalam pelukannya. Starla mematung. Tubuhnya terasa lemas dan jantungnya berdetak begitu cepat. "Biarin kaya gini dulu." Bintang meminta, masih dengan memeluk Starla yang tidak memeluknya balik. Cowok itu menempelkan dagunya di bahu kiri Starla, memejamkan matanya. Dingin yang tadi begitu menghujam seluruh tubuhnya kini berangsur membaik. Starla tersenyum. Perlahan kedua tangannya yang hanya diam saja dari tadi ia lingkarkan untuk memeluk Bintang balik. Mengelus pelan rambut cowok itu. "Dasar manja!" Starla tersenyum geli. Bintang yang samar-samar mendengar tersenyum singkat dengan mata yang masih terpejam. Semakin mengeratkan pelukannya, mengusel pada bahu Starla. Seakan ia tidak ingin berpisah dengan gadis itu. Bintang ingin menjadi bagian kisah Starla sampai akhir hayat, ingin sekali. *** Bunda mengintip kedua remaja yang tengah saling bersendau gurau di ruang tamu sampai dini hari. Bunda tersenyum hangat, merasakan senyum Starla kembali. Senyum yang telah lama bersembunyi di balik mata penuh kebingungan serta kesedihan itu. Bunda harap, Bintang hadir mampu mengobati luka Starla. Mampu menumbuhkan gersang yang selalu diguyur hujan tanpa pelukan. "Bunda harap kalian baik-baik aja." Kemudian Bunda masuk ke dapur, membuatkan sesuatu yang hangat untuk mereka berdua selama 20 menit. Wanita itu kembali membawa nampan serta makanan. "Duh asyik banget ya sampai jam segini belum pada tidur, nanti besok ngantuk lho." Bunda menaruh nampan beserta isinya di atas meja. Starla berdiri, memeluk bundanya erat. Berbisik pelan melirik Bintang yang memperhatikan mereka, "Bun, Ayah nggak tahu, kan kalau ada Bintang di sini?" Starla bertanya, Bintang kepo. Bunda menjawab dengan menggeleng, menangkup pipi putrinya penuh sayang. Kemudian memeluk buah hatinya penuh cinta. "Wah, pamer ke-uwuan di depan gue nih haha." Bintang pura-pura iri. Bunda dan Starla tertawa melihat raut wajah Bintang yang sangat konyol. "Bun–eh, Tante. Bintang pamit ya." Bintang menggaruk lehernya karena salah manggil. "Panggil Bunda aja nggak apa-apa kok." "Maaf Bu–nda hehe. Ngerepotin banget ya Bintang di sini." "Bangetttt!" Starla menyambar, nyengir guna menggoda Bintang. Cowok itu justru mengacak gemas puncak kepala Starla di depan Bunda. Membuat Ibu anak satu itu tersenyum gemas. Persis seperti dia dulu dengan suaminya, bedanya dulu mereka berpacaran sedangkan Starla dan Bintang hanya teman. Bintang mendekat ke Bunda, menyalami wanita itu dan pamit dengan sopan. Keduanya mengantar Bintang sampai ke depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD