2. behind the eight ball.

1805 Words
Sekali lagi Janya menyapukan pandangan semi masam. Golden barrel yang tumbuh dalam mug bergambar sablonan wajah Chris Hemsworth—yang begitu shining, shimmering, splendid dan bikin weekdays-nya terasa barokah—sekarang udah nggak lagi mengisi tempat di sudut desk-nya, di samping tumbler berisi teh oolong. Sebagai gantinya, bukan sisi jendela atau tempat di mana matahari tumpah ruah berjatuhan, sehingga bisa memaparinya selama 4-6 jaman sehari—menurut anjuran dari artikel Klorofil yang pernah Janya baca sih, biar Si kaktus tumbuh sehat. Melainkan, di suatu sudut terdalam dari sebuah cardboard box. Namun, untunglah Chris—Janya memberinya nama demikian, sesuai nama Selebritis favoritnya, pada Si golden barrel yang kata Bu Noza, ganteng banget!—nggak terasingkan dalam box sendirian. Karena setali tiga uang, itu terjadi juga pada pajangan yang memuat nasihat Nolan Bushnell. 'The ultimate inspiration is the deadline', yang normalnya tergantung secara artsy di belakang layar komputer miliknya. Bahkan, satu potret yang di satu tahun lebih dua bulanan ini selalu setia berdiam dalam ruang sumpek lacinya pun harus ikut berpindah. Praktis meja sudut berbentuk L tersebut, cuma menyisakan seperangkat komputer yang layarnya kini ter-shutdown. Tanpa sadar Janya membunyikan napasnya yang mendadak terasa berat. Sebelum, ekor matanya yang memanjang tiba-tiba menangkap pemandangan Nuna yang sedang tampak asyik mengobrol sambil tertawa-tawa bersama Altaris tepat di muka pintu departmen operasional. Menyaksikannya, Janya kontan tersenyum sumir. Senyum yang seolah mencibiri nasibnya sendiri. Nasib yang kenapa begitu kontradiksi dengan apa yang kerap ia angan-angankan? Oh, please! Apa kemarin gosip yang sempat ramai beredar di Feliang? Akan ada Asisten Manajer yang bakal dipromosikan? Terus, akan ada perombakan di divisi operasional? Oke. Lalu, karena Janya lumayan dekat dengan Bu Noza—Manajer Operasional yang baru saja kena mutasi ke cabang—dia pikir, kalaupun bukan sebagai Manajer baru, seengaknya dia cukup berpotensilah untuk menggantikan tempat Altaris—yang kemungkinan besar bakal nanjak satu tingkat buat mengisi posisi kosong yang ditinggalkan Bu Noza, dan nyatanya pria itu emang sukses duduk di sana anyway—sayangnya, bagi Feliang pengabdian Janya selama satu tahun lebih itu mungkin masih belum cukup guna menyalip Nuna, yang biarpun baru gabung tiga bulan, tapi dia punya samar-samar bau Projobumi. Ah! Seriously? Lagi? Udah berapa kali coba semenjak dia masuk Feliang serta melihat jabatan-jabatan krusial di kantor menjadi semacam ajang trial bagi orang-orang yang memiliki cipratan darah Projobumi? Oke. Feliang Cosmetics boleh jadi merupakan salah satu perusahaan bonafit di negeri ini, tapi sifat 'kekeluargaannya' benar-benar kental. Saking kentalnya—khususnya belakangan ini—mereka bahkan nggak satu kali-dua kali maksain untuk menempatkan orang yang 'salah'. Janya ingat betul bagaimana gemparnya divisi penjualan gara-gara disisipi oleh entah anak dari keponakan adik sepupu kakaknya Projobumi atau siapalah—pokoknya masih ada di himpunan pohon keluarga deh—yang ujug-ujug dilibatkan dalam project penting dan berakhir dengan bikin Feliang bergesekan hebat dengan klien kakap. Seolah itu masih belum cukup bikin ribet, Feliang juga memutuskan nganyepin loyalitas pun ketrengginasan Selova di divisi sales and marketing—yang telah teruji lebih dari tiga tahun—hanya demi meloloskan seorang fresh graduate kampus luar negeri, yang simpang-siurnya sih ada hubungan juga sama Projobumi walau belum kebukti, sebagai Manajer. Terus, sehabis mengantongi segala rupa fakta-fakta tersebut, Janya masih percaya gitu kalau Feliang tuh 'nggak ada bangke-bangkenya', seperti yang ajeg diyakini oleh rekan-rekannya? Oh! Andai dia kemarin tak membaca surat edaran ini: Surat Promosi Jabatan No. 025/HRD/0720 Manajemen Feliang Group Yang beberapa kalimat pembukaanya nggak bisa fokus Janya baca karena, terlalu tegang. Menunjuk dan menetapkan karyawan yang berada di bawah ini: Nama: Altaris Walabi Haliman Jabatan lama: Asisten Manajer Operasional Departemen: Operasional Menjadi Jabatan baru: Manajer Operasional Serius deh. Apabila harapan Janya diibaratkan balon udara maka, detik itu juga gelembungnya meletus. Serta, makin mengempis saja saat berikutnya dia mendapati datangnya surat lainnya yang kurang-lebih berbunyi: Surat Keputusan No. 027/HRD/0720 Manajemen Feliang Group Tentang: Pengalihan Tugas ( Rotasi/Mutasi ) Lagi-lagi, Janya kesulitan mengatur fokusnya yang berlarian, tapi begitu netranya menyipit, ia lantas berhasil memindai: Nama: Janyashree Adipati Departemen Asal: Operasional Gusti! Ada berapa coba nama Janyashree di Feliang yang kebetulan menempati kursi pada divisi yang berkantor di lantai tiga? Dia. Ya! Cuma Janya orangnya. Janya yang akhirnya kembali tersingkir. Janya yang seumpama tak ingat soal apa yang sedang mati-matian dia coba buktikan, tentu lebih baik jika dia memilih hengkang daripada menerima segala ketidakadilan yang tiada henti bergaung di Feliang. Satu buah stainless tumbler—yang juga bergambar Chris Hemsworth versi berewokan—Janya raih dari atas meja serta ia lemparkan begitu saja ke dalam kotak, berkumpul bersama seluruh barang-barangnya yang udah kehilangan 'rumah'. Menghela napasnya panjang, Janya kemudian melirik untuk yang terakhir kali ke arah meja kerjanya atau, haruskah dia sebut pakai kata 'mantan' biar lebih berasa ngenes? Oh! Jalan bergelombang memang berat untuk disusuri, tapi bukannya jarak tempuhnya bakal jauh lebih pendek dibanding jalan yang lurus saja? Yeah! Janya boleh jadi tertikung dengan tajamnya oleh Nuna, yang baru saja sukses dia lewati sambil mengangkut box di depan d**a tanpa repot-repot melirik. Namun, titik finish-nya masih ada nun di depan sana. Janyashree Adipati masih belum kalah. Dia tak akan resign! *** Atau ... memang seharusnya Janya resign saja? Mestikah dia mulai menulis surat pengunduran diri dan browsing-browsing job vacancies? Oh! Come on! Seolah masalah perihal karirnya yang anjlok masih kurang bikin pusing. Sekarang, di sela situasi batin Janya yang sungguh terasa butek, siapa sangka justru singgah lagi masalah lain yang nggak kalah mengganggu—utamanya di beberapa waktu ini sih. Oh! Please deh, lagian bukan berarti karena Janya sudah dua puluh delapan tahun—yang kata mulut-mulut bawel keluarga besar Nitomo, berada di ujung usia produktif menikah—Janya lantas mau-mau saja dong buat menerima siapa pun menjadi tambatan hatinya. Oh. No. No. No! Selektif adalah nama belakangnya dan merespon Juankenas Pranaja juga jelas bukan sebuah solusi! Ayolah! Sejauh ini memang cuma cowok itu sih yang semangat empat lima menguber-nguber Janya bak anjing rottweiler lihat daging. Tapi, otak Janya belum bermigrasi ke dengkul. Sudah begitu, terakhir dia lihat saat Juan dadah-dadah di depan pintu kaca Feliang Cosmetics, seragam andalan putih-abunya pun masih mentereng membungkus badan bongsornya. Oh, Tuhan! Seorang Janyashree Adipati nggak mungkin doyan berondong jaggung manis-pahit macam itu! Iya, seharusnya sih memang seperti itu kan? Namun .... "Nyaaak! Ini loh, Si Ayang nitip lumpia isi telor. Duh! Kok, ya selain unyu pacarmu perhatiannya super-bingit sih? Bikin iri aja!" Oke, here we go again. Sebuah problem yang njelimetin, yang kali ini dibawa melalui mulut lemes Ninda. Cewek yang hari ini tampil mencolok bersama MAC semerah darahnya, benar-benar terkesan bagai Rosalie Cullen sih yang baru beres berburu—tepatnya mungkin berburu isu. Tsk! Wanita awal tiga puluhan itu memang nggak pernah kekurangan akal kalau menyoal pulas-memulas bibir. Dasar maniak, sih! Eh, tapi bentar deh! Barusan dia laporan tentang apa? Lumpia? Pacar? Si—? "Dedek Juan baru saja mampir di bawah. Katanya, hari ini belajarnya cuma setengah hari. Ada rapat internal di sekolahnya. Makanya, dia buru-buru kemari buat nganterin makan siang buat Ayang Anyak. Uwuwuwuwu so co cweeet!" sambung Ninda yang sekarang justru lebih mirip Edward yang bisa baca pikiran di mata Janya. Edward yang andai saja Janya adalah Jacob Black, cakarnya pasti udah mencabik-cabik mulut besar Ninda. Dan, apa barusan bualnya? Pacar? Ewh! "Bocah itu kemari lagi? Dia tuh—" "Halah, sok-sok marah segala. Make nyebut begitu pula! Biar bocah juga tetep lo cinta kan?" serobot Ninda membuat Janya otomatis membuang napasnya jengah. Ini si Ninda kumat deh sifat sok tahunya. Belum menangkap duduk perkaranya asal mangap saja! "Udah ah, pokoknya tadi Dedek Juan nitip pesan, kalau Ayang Anyak nggak boleh jajan sembarangan dan mesti on time makannya biar nggak sakit. Oke?" Ninda mengedip genit. "Eh, betewe, semoga betah loh di tempat barunya nanti. Keep strong, yak seruangan sama Mak Lampir! Gue balik dulu ke bawah!" tutup Ninda sambil menaruh kantong plastik putih di atas meja pantry, beriringan bersama box Janya yang belum kunjung dia boyong ke lantai dasar—tempat di mana ruangan barunya melantai. Mengurut pangkal hidungnya, Janya lantas membiarkan Resepsionis paling kekinian milik Feliang itu berlalu begitu saja. Sebelum menjatuhkan perhatiannya kepada bungkusan yang lagi-lagi datang tanpa diundang kayak jelangkung. Entah makanan ini, entah bungkusan hari-hari lalu, entah si pengirimnya, semuanya jelangkung maksimal! "Jajanan sehat? Lah, yang dia kirim aja minyaknya meleber-leber gini kok," gerutunya kemudian sembari membuka wadah kertas berisi lumpia, telur, sambal cabe segambreng, dan ketulusan. Eh? Mana tahu lah! Intinya, Janya lantas dengan ogah-ogahan menyumpit camilan atau makanan—entah apa persisnya—tersebut, seraya sesekali mendumel terhadap rasanya yang pedas luar biasa! Si Juan itu, mungkin agak-agak kurang niat waktu mewanti-wanti supaya Janya selalu sehat. Karena, diam-diam Janya berdoa saat tengah menghabiskan lumpia pedas berganda itu agar perutnya bisa bebas dari ancaman diare, please! Atau, biar saja lah dia diare. Malah bagus supaya besok dia ada alasan nggak masuk kantor! Ah, atau ... entahlah! *** Ngomong-ngomong, jangan tanya bagaimana kronologisnya awal mula perkenalan Janya dengan bocah SMA Prasraya yang menurut pengakuannya sih, dia baru berusia tujuh belas tahun dan sedang berada di bangku kelas tiga. Oh, Janya pun bingung kenapa harus mengingat informasi nggak penting kayak gitu? Tapi, ya, dia Pranaja. Siapa sih karyawan Feliang yang kudet nan kuper sampai-sampai nggak tahu nama keluarga yang satu itu? Oh, ayolah! Projobumi Pranaja adalah sesepuh. Empu dari semua partikel-partikel di Feliang—bahkan sampai debu-debu yang nempel pada glass cladding-nya. Manusia paling dijunjung martabatnya oleh ratusan pegawai di Projobumi Tower. Entahlah. Intinya pria tujuh puluh enam tahun, berambut putih, berkulit kuning bersih yang teramat bugar itu merupakan pemilik dari perusahaan yang memberi Janya gaji selama satu tahun dua bulanan ini. Another fact-nya, beliau juga ialah orang yang kerap dipanggil 'Papa Besar' sama si bocah sok gede itu. Mereka keluarga, konglomerat pula. Lantas, perlukah Janya merasa bahagia dalam situasinya yang seolah tengah dihantui oleh seorang cucu Sang Maha Bos? "Aku lebih suka orang nggak tahu namaku. Tapi, karena itu Janya, akan selalu ada pengecualian." Suara Juan yang berat, tapi lembut khas vokalis band, sore itu terdengar terlampau jelas di antara deru mesin kendaraan kejebak macet di Ibukota. Berusaha nggak acuh akan kehadirannya, mata hitam Janya terus berlarian menangkap barisan mengular motor-mobil pribadi. Meyakinkan diri bahwa duduk sepuluh menit lagi di halte nggak akan mengubahnya menjadi butiran debu polusi. "Jan—" "Saya nggak mau tahu siapa kamu dan nggak butuh juga. Bocah SMA mending pergi bimbel sana! Ngapain sih ngerecokin mulu?" Di kantor, lidah Janya telah dinobatkan sebagai salah satu lidah neraka. Beberapa berpendapat kalau diamnya justru berkah juga anugerah. Siapa pun yang ngasih predikat tersebut sungguh sama jahanamnya memang! "Dan, memanggil orang yang lebih dewasa pakai nama saja tuh nggak sopan. Orang tuamu nggak pernah ngajarin, yah?!" "Aku ... Juankenas Pranaja. Tujuh belas tahun, kelas tiga SMA, dan nggak punya orang tua," jawabnya lantang yang kontan membuat Janya terbeliak. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD