4. just still in it.

1672 Words
Everybody hurts sometimes Everybody hurts someday, aye aye But everything gon' be alright Sayup-sayup beberapa penggal pre-chorus dari lagu memories-nya Maroon 5 masih sempat Janya dengar merembes melalui speaker sebelum dengan satu kali saja tekan semua bunyi, termasuk mesinnya yang menderu, seketika lenyap dari pendengaran. Menyisakannya, yang lantas dengan tergesa melepas seatbelt dan menjeblakkan kasar pintu sisi kemudi. Romy 100 by Jimmy Choo miliknya—sumbangan dari Makia—yang nyaris menyentuh tinggi sepuluh senti telah menjejak aspal jalanan secara tangkas. Tanpa sedikit pun peduli terhadap kepala-kepala yang sengaja kepo menoleh ke arahnya, Janya lengkap bersama sepasang netranya yang seolah berkobar tetap melangkah lebar-lebar menuju area belakang mobilnya. Dan, oh! Apa tadi kata Adam Levine? 'Everything gon' be alright?' Janya mendesis persis ular lapar. Iya, untuk orang yang seharian nggak harus berlarian ke sana-kemari menggunakan heels super-duper runcing, yang andai satu kali saja dia salah memjiak maka bakalan 'kres' langsung patah, di mana bukan hanya duit sepuluh juta yang nantinya bakal sia-sia melayang, tapi juga tulang-belulangnya yang dijamin akan retak-retak gara-gara terperosok dari undakan-undakan tangga di Feliang. Iya, untuk mereka yang nggak harus lembur bagai kuda cuma demi memindah tangankan sekliping berkas. Iya, untuk mereka yang nggak mesti melihat jika mobil kesayangannya yang baru beres dicicil kurang dari sebulan lalu, bempernya, yang sebelumnya mulus, begitu saja baret pun penyok—meski ringan. Namun, ya, mau kerusakannya cuma segede upil kek, apa yang barusan Janya alami, toh judulnya tetap kecelakaan—yang apabila tadi kondisinya jauh dari sepi, banyak mobil-mobil yang mengantre di depannya, siapa yang bisa jamin kalau itu nggak bakalan jadi sebuah tabrakan beruntun?—dan Janya merasa undoubtedly, not alright! Terlebih ketika dia mengangkat pandangan serta menemukan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan tiba-tiba terulur ke hadapan wajahnya. Bola matanya praktis tak bisa dicegah untuk nggak kontan berotasi dengan jengah. Oke. Money can buy anything. But, not everyting! Gimana jika dalam kecelakaannya malam ini, bukan sekadar mobilnya yang lecet? Gimana kalau tadi justru Janya lah yang lecet?! Terus, dengan begitu entengnya tersangkanya mau menyelesaikannya pake uang? Bahkan, parahnya tanpa didahului oleh 'maaf'? Yang benar saja! Duit nggak mampu ngeganti moralitas! Khususnya di depan Janya, yang walau isi saldo tabungannya nggak gendut-gendut amat, tapi dia dibesarkan buat nggak pernah coba-coba lari dari tanggung jawab. Oleh karena itu, tanpa repot-repot mikir panjang, Janya abaikan lah tangan milik seorang pria berkemeja hitam yang sejak beberapa saat lalu menjulur guna kemudian, dia ulurkanlah tangannya sendiri ke arah pria tersebut. "KTP!" pinta Janya pendek. Sesuai dugaan, pria bercelana bahan yang kedua kakinya malah terbungkus sneakers ketimbang pantofel itu, tampak refleks menyipitkan pandangan. Mungkin bingung sebab, bukannya menyambut uangnya, Janya justru mencari-cari hal lain. Hal yang dia rasa tak ada alasan untuk dia turuti dan berikan. "Nggak mau kasih KTP Anda?" tebak Janya ketika dia tunggu-tunggu, tapi orang itu ajeg bergeming. Pria itu kontan menggeleng. "Kenapa harus?" "Oke." Bahu Janya terkedik ringan. "Kalau Anda nggak mau berikan KTP, SIM atau kartu identitas lain Anda, fine lah." Kali ini kepalanya terangguk-angguk sebelum menyambung, "Kebetulan, Om saya Polisi. Perlu saya hubungi beliau sekarang? "Em, pasal berapa yah itu yang gini deh kayaknya bunyinya, 'Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan atau barang ... ancaman hukumannya tuh, maksimal 6 bulan kurangan nggak sih? Itu pun kalau nggak sengaja loh, kalau yang disengaja ...?" Oh! Terima kasih pada Makia—sepupunya yang kerap mengajaknya nontonin gebetannya dulu, Si Mas Agtra Sinaga belajar hukum—dan, anyway, dia bohong soal Om-nya yang Polisi sebab, jelas-jelas ayahnya Makia itu Pilot. Namun, ya buat orang yang bersalah serta kekeuh nggak mau bilang maaf. Agaknya, ancamannya nggak haram-haram banget lah, walau dibumbui tipu-tipu. Seengaknya, dia harus bikin sedikit pelajaran untuk pria di hadapannya ini. "Apa efeknya parah?" Pria itu menukas dibarengi dengan matanya yang melirik ke arah sisi penyok di mobil Janya yang mungkin bakal hilang via ketok magic seharga 400 ribuan. "Apa saya lari? Apa saya nggak ada niat ganti rugi?" lanjutnya memberondong sambil mengibas ringan sekumpulan uang dalam genggamannya. Tetapi, jangan panggil dia Janyashree kalau dia gampang menyerah—bolak-balik jadi tukang telepon jasa servis AC di Feliang saja dia tahan apalagi cuma menghadapi seonggok manusia akhlakless—dia bahkan masih cukup yakin kok bila di akhirnya nanti tetap dialah yang akan memenangi pertarungan tersebut sehingga dia mantap berujar, "Baik. Silakan tanggung jawab! Anda udah bersalah, silakan minta maaf dan saya akan anggap semua ini beres. Tanpa perlu Anda pake ganti rugi segala. Tapi, kalau Anda keberatan untuk ngomong 'maaf', ya udah sini kartu identitas Anda!" "Anda pikir saya doang yang salah?" balas pria itu nggak kalah sengit. "Anda bawa mobil udah kayak keong bawa cangkang! Mana Anda belok kayak orang baru belajar nyetir pula, atau ... emang newcorner, yah?!" Di tempatnya, Janya konstan terbengong macem ikan koi seraya diam-diam sibuk mengulang-ngulang dalam hati. Newcorner? Newcorner? Newcorner itu ... maksudnya apaan coba?! Saking larutnya menebak-nebak dia bahkan sampai nggak menyadari kalau telapak tangannya yang menengadah telah terisi oleh selembar kartu. Janya baru sanggup mengerjap-ngerjap pelan sewaktu sekelumit kesimpulan mulai berkelebat dalam benaknya. Newcorner, ya? Mungkin nggak sih itu maksudnya newcomer? Iya kan? Kayaknya iya. Tapi, kok bisa? Kesadaran Janya yang awalnya berlarian liar bak anakan lebah yang kehilangan sarang pun pangkalnya berhasil menetap sepenuhnya pasca-mengantongi konklusi tersebut, sayangnya Land Cruiser yang tadi mengekori Si Mejiku—nama mobilnya—baru saja melintas, menyalipnya. Dan, hei, jadi yang nabrak mobilnya tuh Land Cruiser? Oh, My! Mobil Sultan! Janya sontak membekap mulutnya seraya lamat-lamat mengeja barisan kata dalam kartu yang bersarang di genggamannya. SRIVARANI WANG, Co. Kamgamatra Jagawarna Chief Executive Officer *** Janya mendesah panjang begitu perburuannya di sepanjang 56 lantai resmi tuntas, ketika dia sukses menangkap wujud seorang cewek berambut blunt bob dengan belahan pas di tengah, berwarna keemasan cerah—yang dari jauh sih lumayan bikin keingat lah sama hairstyle-nya Bella Hadid waktu runway bareng Burberry pada pagelaran London fashion week di awal minggu ini, dan karena orang itu adalah Makia maka, cukup satu hari saja berselang dia udah langsung tanggap dong buat mengadopsi gaya tersebut sebagai manifestasi Bellunatics sejati—sedang menggenggam satu gelas collins. Dari warnanya yang bening juga keberadaan irisan lemon di tepian gelasnya sih, Janya duga sepertinya itu mojito. Padahal cuman campuran dari gula, jus jeruk nipis, mint, soda dan sedikit rum putih. Untuk ukuran Makia yang sejak kelas satu SMA udah terlatih buat mencuri-curi kesempatan ikut night out-an melulu demi menjelajah dari satu club ke club lainnya, semestinya sih dia bisa tahan tetap waras kalau cuma nenggak mojito. Namun, nyatanya .... Janya berhenti selepas melewati barisan sofa serta kursi-kursi yang belum terlalu penuh. "Teler dia?" tanyanya kemudian, sembari mengedik ringan ke arah Makia yang duduknya miring-miring nggak jelas macem cacing kepanasan. Oh, bakan ini masih terlalu sore—lagi-lagi untuk ukuran Makia, yang terbiasa nelen alkohol dari belia—tapi dia udah tumbang. Bukannya Kairo—laki-laki pemilik tato bergambar bulan sabit di punggung tangan, dekat dengan lajur urat-uratnya yang kontras menonjol—jawaban atas pertanyaan Janya justru datang dari Makia, "Haish! Enak aja! Masih fifty percent sober taukkk!" Tapi, dia tertawa-tawa setelahnya bagai orang pekok. "Mojito doang nih? Yakin?" selidik Janya, melemparkan pandangannya sangsi pada laki-laki dalam seragam bartender suit di balik meja saji, yang lantas disambut oleh cengiran lebar Kairo. "Tadi sempat ada nge-wiski beberapa gelas," bebernya sesuai prediksi. Ya, actually, Makia dan wiski emang nggak pernah bersahabat. Sehingga Janya sontak berdecak kasar. "Mocktail dulu, Nyak?" tawar Kairo saat dilihatnya Janya hanya berdiri, berlama-lama menyoroti raut flying Makia. "Gue nyetir," jawab Janya cepat. "Padahal cosmo to go nggak bikin keleyangan loh, cuma menyegarkan. Apalagi pakenya buavita favorit lo." Janya kontan mendengkus. "Nikmatnya palingan di awal doang." Netranya lalu menggincir ke sisi Makia. "Apalagi, gue bawa pemabuk yang kalau lagi flying bisa bikin Jakarta berguncang!" Sambil menuang martini hampir-hampir tawa Kairo meledak. Namun, urung sebab, Makia lagi-lagi berulah seraya menyela, "Eh, eh, eh tau nggak sih gue tuh bawain lo formulir tauuuk, Nyak!" Dia menarik-narik ujung kemeja Janya yang konstan berhasil mendapat seluruh perhatian dari perempuan itu. Dan, formulir, ya? Kenapa sih Makia harus membahas soal kertas-kertas saat ini? Nggak bisakah mulutnya itu nunda sampai besok, atau seenggaknya sampai Janya lupa apa yang barusan dia alami gara-gara kertas-kertas sialan? Oh! Memangnya salah Janya, ya saat dia datang ngebawa berkas dari Feliang untuk Medina, tapi yang mau perempuan tersebut ajakin meeting udah keburu bete nunggu dan pergi? Yang lupa bawa berkasnya dari awal siapa? Yang bisa terbebas dengan mudah dari peak hour traffic di Jakarta emang ada? Terus, mentang-mentang karena jabatannya lebih mentereng dari Janya—Medina yang bahkan satu tahun lebih muda dari dia—perlu ya pake menyumpah-serapahi serta melempar-lemparkan semua berkas itu ke wajah Janya? Wajah yang bahkan belum pernah sekali pun dia sapu menggunakan usapan kasar? Oke. Katakan lah itu salah Janya, tapi tetap aja dia bukan sampah—sehingga bebas diperlakukan dengan nggak berharga. Oh! Sumpah! Janya juga nggak ingin berada di situasi ini. Hanya saja .... "Nih, Nyak formulirnya!" Selembar kertas lain tiba-tiba hadir melayang ke arah wajahnya yang mungkin karena refleks langsung saja Janya tepis jauh hingga terbanglah kertas itu dari genggaman renggang Makia, untuk kemudian jatuh menimpa genangan martini yang kebetulan baru saja ditumpahkan oleh pelanggan di sisi stool Makia. "Yaaaaah, formulir kontak jodohnyaaaaa!" ratap Makia, memandangi nanar kertasnya yang basah, yang mana sontak dideliki dengan tajam oleh Janya. Oh! God! Yang bener aja! Apa kata Makia tadi? Kontak jodoh? Sungguh? Setelah semua perjalannya sejauh ini .... Menyambar beringas tas Chanel merah milik Makia dari atas meja bar, Janya lekas berbalik meninggalkan satu-satunya sepupu yang masih mau bertahan saling kenal bersamanya, setelah terlebih dahulu menitah pada Kairo, "Suruh orang tolong anterin Makia ke parkiran, Ro!" Lalu, dalam langkahnya yang sarat akan hentakkan tanpa sengaja mata awas Janya jatuh tepat pada pemandangan berisi beberapa orang yang duduk secara berpasang-pasangan. Jodoh, ya? Bahkan, Makia—orang terdekatnya—pun nggak bisa mengerti keengganan Janya untuk berpasangan sampai detik ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD