3. toast to the ones here today.

1315 Words
"APAAA?!" Kamga refleks menggigit lidahnya yang baru saja berteriak heboh seperti Artis kagetan dalam sinetron. Tapi, serius pria itu terkejut. Sangat. Sedang lawan bicaranya yang sesaat tadi menyampaikan info menggemparkan malah terlihat santai saja. Gerhana justru menyesap kopinya dengan teramat tenang. "Pelan-pelan saja suaranya, Mas, kan bisa. Tuh, dilirik sama Cabe-Cabean di pojok sana! Niat banget tebar pesona, yah?" ujar Gerhana sambil menaruh cangkirnya kembali ke atas meja. "Persetan sama Cabe-Cabean kek, Cabe kiloan! Barusan lo bilang apa? Basi apa?" Kamga masih saja ngegas. "Nasi basi." "Hana!" Tersenyum miring, Gerhana lantas berkata, "Sejak kapan memang Mas Gaga budek gini? Keseringan dianui, yah?" "Ha-ha-ha. Lucu. Buruan, Hana!" "Easy-Peasy." Kamga melipat lengan di depan d**a, alisnya bahkan telah nyaris menyatu ketika dia menyeletuk, "So, apa itu?" "Jadi, gosip kalau Mas Gaga nggak bisa bahasa Inggris tuh bener, yah? Masa mesti saya terjemahin sih?" "Panggilin Pak Zio aja lah, males gue ngobrol sama lo!" "Woles kali, Mas. Pak Zio lagi sibuk, jadi Mas sama saya aja. Oke?" "Nah! Lo pikir gue bukan orang sibuk?" sergah Kamga makin sensi. "Lima menit. Jelasin ke gue apa itu Basa-Basi yang lo maksud?" putusnya. "Easy-Peasy!" Gerhana tanggap mengoreksi. "Ya lah itu." "Oke, oke! Jadi begini, Mas. Saya mewakili Tim dari ME. Jadi ini tuh semacam acara perjodohan kayak kotak jodoh gitu. Pernah nonton The Bachelor?" "Enggak." Kamga menggeleng. Oh, Tulung Gusti Nu Agung, Gerhana cuma bertanya retoris. Nggak ada harapan setitik pun dalam dirinya untuk mendapat jawaban Kamga. Lagian, dia sadar betul kok bahwa lawannya bicara kini adalah salah satu makhluk goa yang kebetulan masih nyisa. Kamga yang walau punya duit segepok, tapi internetan mah tetep cuma modal tebengan wifi tetangga, yang mungkin juga nggak gablek televisi di rumah megahnya. Kok? Dia dompet aja kota, gaya mah masih mending Mimi Peri ke mana-mana! "Ya, pokoknya The Bachelor deh, ntar kalo ada senggang saya ajakin Mas Gaga buat nonton satu-dua episode lah. Dan, balik lagi, konsepnya agak mirip kayak gitu, Mas hanya di EP ini kita rencananya bakal bikin—" "Bentar." Kamga menyela cepat. "Lo, mau lobi gue buat nge-sponsorship-in?" lanjutnya menebak. Oh, ayolah! Banyak orang boleh menganggap gaya Kamga old-school abis, ndeso, gaptek atau apalah bodo amat, tapi otaknya tentu nggak se-pentium itu. Iyalah, tiga puluh tahun, mengenakan setelan kemeja klimis, sepatu yang disemir sampai hitam mengkilap, dia mustahil berada di titik ini kalau nggak punya kelebihan kan? "Hah?" Gerhana membeo. "Apalagi emang? Lo mau perusahaan emas gue ngiklan di acara lo kan? Tapi, untuk informasi aja, toko emas gue jarang ngiklan di tivi." "Mas Gaga?" tegur Gerhana. "Ya, bukannya kami nggak mampu. Lo tau sendiri reputasinya kan? Dan ya, okelah sesekali ngiklan di tivi. Toh, nggak ada ruginya juga kayaknya, kalo emang lo butuh banget, tapi tetep gue mesti bicarain dulu sama yang lain sih." "Mas Gaga bukan suruh ngiklan," Gerhana coba mengurai kesalahpahaman. "Yakin? Gue dari Srivarani Wang lho." "Iya tau. Makanya itu, karena Mas Gaga dari Srivarani Wang yang produk-produk emasnya booming sekali khususnya di kalangan milenial. Kami mau Mas Gaga jadi salah satu anggotanya." "Iya, anggota sponsor kan?" "Bukanlah. Yang cari jodoh di Easy-Peasy lah!" "Hah? Gimana-gimana?" Kini, giliran Kamga yang melongo. "Kami mau rekrut Mas Gaga buat syuting di Easy-Peasy. Buat dapet istri." Bagai baru saja kesambar petir, Kamga refleks berseru, "What the—gemblung?!" *** Balik tenggo? Apaan tuh? Sejak masuk Feliang rasa-rasanya Janya udah nggak saling kenal lagi sama yang namanya pulang on time tanpa overtime. Terlebih belakangan, di mana banyak 'penyusup' yang tiba-tiba menerebos ke tiap-tiap divisi di Feliang. Oh! Bahkan sampai hari kemarin saja, dia masih dibikin ribet buat menindak-lanjuti aduan dari divisi sales and marketing tentang distribusi yang ngawur. Banyak banget produk di pasaran yang tersedia secara nggak merata—itu terjadi malahan di sekitaran Jakarta yang notabennya, segala macem aksesnya gampang—tetapi, yah, siapa coba waktu itu yang ngotot untuk memutus kerja sama bareng distributor besar serta berjaringan luas, cuma demi perusahaan yang namanya saja baru kedengaran satu kali pas ngadain taken MoU? Ewh! Kalau butuh kambing hitam jelas yang cocok untuk menanggung segala bentuk tanggung jawab—korban buat dinyinyirin khususnya—hanya satu orangnya yaitu Bu Keysi, adik sepupu anaknya kakak ah, what ever lah Projobumi! Serta, yah, itu udah masa lalu, anyway. Sekarang urusan yang belum beres itu telah berpindah-tangan ke orang yang entah siapa sebab, divisi yang bersangkutan nggak lagi membutuhkan jasa Janya. Namun, meski demikian nggak berarti Janya lantas merasa seperti sedang ketiban durian runtuh sih gara-gara kepindahannya. No! Not at all! Karena, nggak ubahnya keluar dari kandang macan lalu kejeblos masuk ke kandang singa. Janya tahu—sedari pertama ia membaca surat keputusan—bahwa, hijrahnya ke departemen HR & GA sama saja kayak disaster! Oh, iyalah. Bukan cuma faktor adanya Mak Lampir di sana seperti yang sempat Ninda singgung, tapi juga sebagai seorang General Affair di perusahaan segede Feliang, Janya paham bakal semenyengsarakan apa hari-harinya ke depan. Oh, jangan muluk-muluk pakai ke depan segala deh! Hari pertamanya saja, hari ini, atau haruskah dia sebut sebagai malam ini? Mengingat jam delapan bahkan udah lewat nyaris tiga puluh menit dan Janya masih—dipaksa—untuk berkeliaran, mengendarai New Yaris hijaunya guna ikut menjebakan diri, membuat barisan mengular di sekitaran jalan Terusan H.R. Rasuna Said, pas banget sehabis ngelewatin resto Kapau Garuda, demi menjadi seorang kurir pengantar dokumen. Oh, yeah! Tahu gitu, mending Janya beneran resign saja, terus jadi pengemudi Grab deh. Toh, kan nggak ada bedanya juga sama fungsinya saat ini? Lagian, udah jelas-jelas punya niat meeting, kok ya bisa-bisanya Direktur Sales and Marketing-nya Feliang—yang katanya, kebetulan PA-nya lagi ambil cuti—nggak bawa 'senjata'? Bikin pusing saja, macem mobil di belakang Janya tuh yang udah tahu lagi macet, tapi klaksonnya merepet mulu! Dasar! Menggeram sambil melirik spion tengah, Janya kemudian memilih untuk menyetel radionya keras-keras. Sial. Benar-benar malam yang suram! *** "Bang, ntar turunin gue di Skye deh!" "Ngapain lo ke Skye? Nggak usahlah besok pagi kan lo ada janji buat ketemu orang dari Feliang. Kapan-kapan aja kalo mau teler. Lagian, lo juga belom siapin bahan buat pertemuan besok lho." "Gue mau jemput Annelise, Bang." Aswa kontan mengerem mendakak. Membuat Kamga yang duduk di kursi belakang sontak terbawa gravitasi dan sukses menubruk bangku kemudi dengan cukup keras. "BANG! GUE BELOM MAU MODAR!" "Nah itu! Lo masih kepengen hidup kan? Kenapa masih aja lo ngeyel nemuin Annelise melulu sih? Heran gue! Ga, sadar nggak semakin lo deket sama dia maka, secara nggak langsung lo lagi iket leher lo sendiri pake tali." Aswa memprotes keras sambil melajukan mobilnya kembali—setelah terlebih dahulu memastikan kondisi Kamga, yang tampaknya oke-oke saja kok, nggak lecet atau cedera, menurutnya. "Apa pula? Lebay lo." "Lebay kata lo? Annelise yang lo puja setengah mampus itu ... tahu nggak hari ini dia bikin masalah apa lagi?" Aswa mengawasi setiap gerak-gerik Kamga dari spion tengah. "Doi ... kegep ngerantang, Bro. NGERANTANG. Foto dan berita gosipnya udah tayang noh di lamis-lamisan!" "Bang, akun gosip lo percaya? Emang begitu kali cara kerja mereka. Pasarnya mereka begitu. Udahlah. Gue kenal Annelise dan dia nggak mungkin kayak gitu." "Nggak gitu kepala lo jungkir! Buka noh hape lo! Ada kuota internetnya apa kagak, hah? Perlu gue tetheringin?" Aswa masih mencoba untuk membuka lebar-lebar mata Kamga yang selalu saja rabun jika menyangkut soal Annelise Ueda. Perempuan sok ngartis yang dengan sialnya Bosnya itu kenal entah dari mana. Oh, bukan. Sebagai Asisten Pribadi seorang Kamgamatra Jagawarna mustahillah Aswa nggak tahu. Dia jelas tahu secara pasti dari mana Kamga dapatkan perempuan berdarah campuran Jepang tersebut dalam circle-nya, hanya saja dia malas mengingatnya. Karena kalau dikenang sekarang, nggak sehari pun rasanya Aswa nggak menyesal sebab harus menjadi saksi perkenalan keduanya. "Bang, serius Annelise itu—" Kamga belum sempat menyelesaikan kalimat pembelaannya saat mendadak harus berteriak kencang, "DEPAN LO MOBIL ITU, BANG ASWAA!" Dan, decitan bunyi rem pun menggema sebagai buntut dari langkah terburu-buru Aswa. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD