Chapter 2 - First Crush

2256 Words
Galang Wirayudha. Seorang anak laki – laki berusia 17 tahun. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama, ia terpaksa pindah sekolah ke Bandung karena ibunya divonis menderita kanker p******a sehingga harus menghentikan kegiatannya sebagai seorang arsitek. Keluarganya memutuskan untuk pindah ke Bandung agar Azalea, ibunda Galang, dapat menjalani kehidupan dengan lebih tenang. Selain itu, Galih, ayahanda Galang, juga memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang arsitek untuk mengurus bisnis perkebunan teh milik keluarganya. Pagi hari itu, seperti biasa, Azalea membuatkan sarapan untuk suami dan anaknya. Ia menyediakan dua piring nasi goreng untuknya dan suaminya dan semangkuk sereal untuk anak satu – satunya yang ia miliki. “Pagi, Ma.”, sapa Galang ketika ia hadir di ruang makan rumahnya. “Pagi, Sayang.”, balas Azalea seraya tersenyum. “Papa mana?” “Masih di kamar.” “Ma, nanti Galang pulangnya agak sore, ya. Mau latihan basket di sekolah.” “Hmm.. Kamu mau latihan basket?”, tanya Azalea dengan wajah kecewa yang berusaha ditutupinya. “Iya, Ma. Boleh kan?”, tanya Galang yang dapat membaca keterkejutan di wajah ibunya. “Ya.. boleh kok.”, balas Azalea seraya tersenyum agar tidak mengecewakan putranya. Mereka pun mulai menyantap sarapannya dalam hening. Tak berapa lama kemudian, Galih muncul di ruang makan dan ikut bergabung bersama mereka. “Nanti Papa pulang agak malam, ya.”, ujar Galih memecah kesunyian. “Lho, kenapa?”, tanya Azalea yang sedikit terkejut hingga suami dan anaknya menatapnya dengan tatapan heran. “Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kenapa kamu kaget banget?”, ujar Galih. “Gapapa. Aku.. hmm.. aku hari ini mau check up ke dokter.” “Galang, kamu temani mama kamu, ya.”, ujar Galih. “Galang ada latihan basket.”, balas Galang dengan nada suara yang terdengar sekali bahwa remaja laki – laki itu kecewa. “Ya udah, gapapa. Mama pergi ke dokternya sendiri aja. Nanti Mama ajak bi Surti deh.”, ujar Azalea yang tidak mau anaknya bersedih karena dirinya. “Ya, ajak Surti saja.”, ujar Galih menimpali ucapan istrinya. Galang menghela nafasnya. Sejak pindah ke Bandung, ayahnya seperti menjauh dari keluarga mereka. Entah hanya perasaan Galang saja atau bukan. Tetapi, sejak pindah rumah, ayahnya menjadi lebih pemurung. Bahkan, enggan bermain basket bersamanya lagi. “Galang berangkat dulu.”, ujar Galang seraya bangkit dari kursinya. “Lho, sarapannya gak dihabiskan?”, tanya Azalea. “Udah kenyang.” Galang menyampirkan tas ransel berwarna hitam di pundak kanannya, lalu bergegas menuju halaman rumahnya. Ia kesal pada sikap ayahnya. Bagaimana pria itu bisa membiarkan istrinya memeriksakan kondisi kesehatannya ke dokter seorang diri padahal ia tahu dengan benar istrinya menderita penyakit mematikan. Istrinya sedang menderita kanker, bukan sedang menderita pilek. Apa yang terjadi pada ayahnya? Apakah kini ayahnya menunjukkan sifat aslinya? Galang mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi menuju sekolahnya yang hanya berjarak dua kilo meter saja dari rumahnya. Udara di Bandung sedikit berbeda dengan udara di Jakarta, tetapi ia menyukai tempat ini. Udaranya sejuk. Apalagi ada gadis cantik itu di sekolahnya. Setibanya di sekolah, ia menemukan gadis itu baru saja turun dari sepeda motor bebek yang dikendarai oleh ayahnya. Ia tersenyum di balik kaca helm yang dipakainya. Melihat gadis itu tersenyum pada ayahnya yang memberikan uang jajan yang tidak seberapa banyak itu berhasil membuat perasaannya menghangat. Ia memarkirkan sepeda motornya di area parkir khusus bagi para murid yang bersekolah di sekolah itu. Kemudian, ia melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya di lantai tiga. Diam – diam, ia memandangi seorang gadis sederhana yang berjalan tepat di hadapannya. Seperti biasanya, remaja laki – laki berusia 17 tahun itu selalu memasang wajah datarnya. Ia tak banyak bicara dan tak suka berbicara. Ia tidak seperti teman – temannya yang selalu banyak tingkah dan mencari perhatian. Ia lebih suka diam dan memandangi gadis itu dari kejauhan seperti ini. Gadis itu merupakan siswi yang berada di satu kelas dengannya. Kelas XI IPA 3. Tetapi, tak pernah ia berbicara pada gadis itu. Menyapanya pun tidak pernah. Ia selalu mengutuki dirinya yang terlalu pengecut, yang tidak berani untuk menyatakan perasaan cintanya pada gadis itu. Mereka memasuki ruang kelas mereka dan berpisah untuk duduk di kursi masing – masing. Namun, dari kejauhan, Galang masih saja memperhatikan gadis itu secara diam – diam.   ***   Kirana menyisir rambut panjangnya yang tergerai. Hari ini, ia akan memakai bandana berwarna merah muda yang baru saja dibelikan oleh ayahnya di pasar malam akhir pekan lalu. Ia pun tersenyum memandangi pantulan dirinya di cermin. Bandana merah muda itu sangat cocok menghiasi rambut hitamnya. Kemudian, ia mengambil tas sekolahnya yang juga berwarna merah muda. Sebenarnya, warna tas ransel itu sudah memudar. Kini, tas itu terlihat sedikit buluk. Tetapi, ayahnya berjanji akan segera membelikannya tas baru setelah tabungannya hasil menyisihkan uang gaji yang diterimanya sebagai kurir di perusahaan perkebunan teh terkumpul untuk membelikan Kirana sebuah tas sekolah yang baru. Dan Kirana yakin ayahnya akan menepati janjinya karena tidak pernah sekali pun ayahnya ingkar janji. “Bunda, Kirana pergi sekolah dulu, ya.”, ucap Kirana yang menghampiri Kinanti, ibunya, yang sedang menonton acara berita pagi di televisi. “Ya.”, balas Kinanti singkat. “Eyang, Kirana pergi sekolah dulu, ya.” “Iya, hati – hati ya, Nak.”, balas Danti, nenek Kirana, ibu Kinanti, yang sedang sibuk di dapur untuk mempersiapkan dagangannya hari itu. Kirana pun menghampiri ayahnya yang sudah menunggu di atas sepeda motornya di halaman rumah. Ia memakai helm yang diberikan oleh ayahnya, lalu Rido, ayah Kirana, melajukan sepeda motornya menuju sekolah Kirana. Kirana adalah anak seorang kurir yang bekerja di perkebunan teh yang dimiliki oleh keluarga Wirayudha. Keluarga Kirana bukanlah keluarga yang berkecukupan. Keluarga mereka hidup serba pas – pasan. Neneknya membantu perekonomian keluarga mereka dengan berjualan nasi uduk di halaman rumah yang mereka sewa dari bapak ketua Rukun Tetangga. Sedangkan, ibunya hanya ibu rumah tangga. Bahkan, sebenarnya bukan ibunya yang mengurus rumah tangga, tetapi neneknya. Sejak Kirana masih kecil, ia merasa ibunya tidak menyayanginya seperti ayah dan neneknya. Ibunya terkesan sangatlah tidak memperhatikannya. Kirana pernah berpikir bahwa mungkin ibunya tidak menginginkannya. Mungkin saja dahulu ibu dan ayahnya menikah karena kecelakaan. Tetapi, itu semua disanggah oleh neneknya. Neneknya selalu berkata padanya bahwa ayah dan ibunya saling mencintai. Neneknya mengatakan bahwa sang ibu sangat menyayangi Kirana hanya saja ibunya itu adalah seseorang yang sangat pendiam. “Ayah, Kirana sekolah dulu, ya.”, ujar Kirana pada ayahnya, lalu ia salim tangan pada ayanya, saat ia turun dari sepeda motor ayahnya setelah tiba di depan pintu gerbang sekolahnya. “Kirana.” “Ya?” Pria berusia 45 tahun itu mengeluarkan uang dari saku kemejanya dan memberikannya pada anak gadisnya itu. Kirana tersenyum dan menerima uang saku pemberian ayahnya itu. “Belajar yang rajin ya.” “Iya, Ayah.” Kirana pun bergegas memasuki area sekolahnya dan ayahnya melanjutkan perjalanan menuju tempat kerjanya. Sebuah perkebunan teh milik Wirayudha Corporation. Saat memasuki gedung sekolahnya, Kirana berpapasan dengan seorang murid laki – laki yang menjadi teman satu kelasnya. Pandangan mereka bertemu beberapa detik sebelum akhirnya mereka saling mengalihkan pandangannya. Kirana merasakan ada hal yang aneh terjadi padanya. Setiap pandangan mereka bertemu, ia selalu merasakan jantungnya berdebar dengan lebih kencang. Ada apa dengannya? Padahal anak laki – laki itu tidak tersenyum padanya. Wajahnya datar. Jarang sekali ia melihat anak laki – laki tersebut tersenyum. Anak laki – laki itu selalu bersikap dingin padanya walau sebenarnya Kirana ingin mengobrol banyak dengan anak laki – laki itu sebab ia tahu anak laki – laki itu juga baru pindah dari kota tempat tinggalnya dulu. Ya, Kirana memang berasal dari Jakarta sebelum orang tuanya terpaksa pindah ke Bandung karena ayahnya berhenti bekerja dari sebuah perusahaan tekstil yang mengalami kebangkrutan. Salah seorang teman ibunya menawarkan ayahnya untuk bekerja di perusahaannya di Bandung, maka pindahlah mereka ke kota kembang itu. Kirana dapat bernafas lega setelah ia tiba di ruang kelasnya sebab anak laki – laki yang mengikuti langkahnya di belakang dirinya kini sudah berada di kursinya yang berjarak cukup jauh dari kursinya. “Pagi, Kirana.”, sapa Aldo ketika Kirana, teman satu mejanya di kelas, tiba dan duduk di sampingnya. “Pagi.”, balas Kirana seraya tersenyum pada sahabat satu – satunya yang ia miliki. “Udah sarapan?” “Udah.” “Oh.” “Kenapa?” “Aku bawa roti. Siapa tau kamu mau.” Kirana kembali tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia tidak tega menolak tawaran Aldo sebab sahabatnya itu sudah bersusah payah membawakannya roti isi selai nanas kesukaannya. Mereka pun menyantap roti itu seraya bersenda gurau. Sementara itu, di sisi lain, Galang hanya duduk diam di kursinya seraya memandangi mereka dengan tatapan datarnya dan earphone terpasang di kedua telinganya. Entah lagu apa yang sedang ia dengarkan. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin memperhatikan gadis dengan dandanan cupu itu dengan senyum manis yang terukir di wajah polosnya. “Ciyeee... mesra banget sih makan roti barengan.”, celetuk Lena, salah satu siswi yang populer di sekolah mereka. “Pantesan dari tadi Aldo gak makan sarapannya. Ternyata mau dibagi ke Kirana. Cieilah Do, setia banget lo!”, sambung Ricky. Semua murid di kelas itu pun menertawakan Kirana dan Aldo yang terkenal sebagai murid teraniaya di sekolah mereka. “Udah, biarin aja Do.”, bisik Kirana tanpa mau mempedulikan orang – orang yang menjahatinya dan Aldo. Aldo pun menganggukkan kepalanya.   ***   Galang meminta maaf pada teman – temannya karena ia tidak bisa mengikuti latihan basket sore hari itu karena harus menemani ibunya melakukan pemeriksaan rutin ke dokter. Walau pun kecewa, teman – temannya dapat mengerti posisi Galang saat ini. Mereka pun mempersilahkan Galang untuk tidak mengikuti latihan basket pada sore hari itu. Di tengah jalan, Galang melihat Aldo sedang mendorong sepeda motornya dan Kirana setia berjalan di belakang pria cupu itu seraya membantu Aldo mendorong sepeda motor itu. Walau pun Aldo sering mendapatkan perundungan dari teman – teman satu angkatannya, tetapi Galang merasa iri hati padanya. Lihatlah gadis yang setia menemaninya itu. Gadis jelek itulah yang membuat Galang membenci Aldo. ‘Dasar bodoh! Mau – mauan berduaan sama cowok cupu yang dekilnya sama kayak motor bututnya!’, ujar Galang membatin seraya tetap fokus mengendarai sepeda motornya tanpa menyapa kedua orang yang sepertinya membutuhkan bantuannya. “Ih! Itu orang songong banget sih!”, ujar Kirana saat melihat Galang dengan santainya berjalan melalui mereka. Sontak Aldo menoleh ke belakangnya setelah mendengar ucapan Kirana. “Kenapa Kir?” “Itu Galang main lewat aja. Udah tau kita lagi kesusahan. Tolongin kek.”, jawab Kirana dengan wajah cemberutnya yang murka pada sikap Galang yang baginya remaja laki – laki itu amatlah sombong. Aldo terkekeh melihat wajah murka Kirana. “Sejak kapan orang kayak Galang peduli sama murid cupu kayak kita gini? Dia gak ikutan ngejekin kita aja udah syukur.” Kirana menghentakkan kakinya dengan jengkel setelah mendengar ucapan Aldo. “Kamu pulang naik angkutan aja, Kir. Bengkelnya masih jauh.”, ujar Aldo lagi yang merasa tidak enak hati pada Kirana yang menemaninya mendorong sepeda motor bututnya yang mogok di siang hari ketika matahari bersinar dengan sangat terik. “Gak usah. Deket lagi kok bengkelnya. Ayo, jalan.”, balas Kirana seraya tersenyum dengan sangat manis dengan maksud tersirat agar Aldo yakin bahwa dirinya baik – baik saja. “Tapi sekarang kan lagi panas.” “Gapapa Aldo. Aku malah jadi merasa bersalah kalau ninggalin kamu gitu aja.” “Maaf ya Kir. Motor aku malah bikin kamu susah.” “Gak susah kok, Al. Malah seru. Buat pengalaman. Nanti kalau kita udah tua, kita bisa cerita ke anak – anak kita, dulu ya mama pernah dorong motor dari sekolah ke bengkel.” “Panas – panasan pula.”, sambung Aldo. “Setelah itu, mama beli es kelapa di seberang bengkel.”, lanjut Kirana. “Eh, uangnya udah habis untuk benerin motor.” “Terpaksa deh Mama utang sama yang punya warung.” Mereka pun tertawa bersama sepanjang perjalanan. Tak disangka, setelah beberapa meter berjalan, mereka bertemu Galang yang sedang menepikan motornya di pinggir jalan. “Lho? Galang?”, tanya Aldo. “Ayo, naik motor gue.”, ujar Galang pada Kirana. Kirana mengerutkan dahinya menatap Galang yang menatapnya dengan tatapan datar khas pria dingin itu. “Iya, Kir, kamu pulang bareng Galang aja, ya. Aku harus ke bengkel dulu.”, ujar Aldo walau sebenarnya ia tidak rela Kirana meninggalkannya, tetapi ia tahu akan lebih baik jika Kirana pulang ke rumahnya dengan diantarkan oleh Galang. “Gak mau. Ayo, ke bengkel sekarang. Panas nih.”, balas Kirana. “Gue anter lo pulang biar gak kepanasan.”, ujar Galang. Kirana melirik pada Aldo dan Aldo pun tersenyum padanya, serta menganggukkan kepalanya. “Kamu pulang bareng Galang aja.”, ujar Aldo untuk meyakinkan Kirana. “Gak usah, Lang. Aku mau bareng Aldo aja.”, ujar Kirana pada Galang. Galang segera menaiki sepeda motornya dan melajukannya meninggalkan Kirana dan Aldo. Ia mengutuki gadis yang sudah jelek, bodoh pula itu. Dari segi ketampanan dan kemapanan, tentu saja ia jauh lebih unggul daripada Aldo si manusia cupu dari planet antah berantah. “Kenapa gak mau?”, tanya Aldo setelah Galang pergi meninggalkan mereka. “Takut diculik.”, jawab Kirana asal. Aldo terkekeh mendengar jawaban Kirana, kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju bengkel. Setibanya di sana, mereka kembali bertemu dengan Galang. “Galang?!”, pekik Aldo saat melihat Galang sedang duduk di kursi yang berada di depan bengkel tersebut. Kirana pun ternganga mendapati Galang yang lagi – lagi muncul di hadapan mereka. Galang memberikan mereka dua bungkus minuman es kelapa pada Kirana dan Aldo. Kirana dan Aldo pun saling berpandangan. Mereka tidak mengerti mengapa Galang memberikan minuman itu pada mereka. Reputasi Galang di mata mereka berdua memang kurang baik. Galang termasuk dalam anggota geng yang suka menghina para siswa dan siswi cupu dan miskin di sekolahnya. Walau pun Galang tidak pernah menghina mereka, tetapi karena ia adalah salah satu anggota dari murid – murid jahat itu, maka ia pun terkena imbas dicap sebagai salah satu orang yang jahat. “Gak ada racunnya. Gue cuma takut kalian mati kehausan.”, ujar Galang. Kedua mata Aldo terbelalak setelah mendengar ucapan Galang, sedangkan Kirana hanya mendengus kesal. Mereka menerima kedua bungkus es kelapa itu, lalu Galang pergi meninggalkan mereka. Diam – diam, Kirana memperhatikan Galang yang semakin menjauh meninggalkan mereka di bengkel tersebut.   ***   Azalea tersenyum saat dokter mengatakan bahwa ia harus segera melakukan operasi konservasi p******a agar sel kanker yang ada pada bagian payudaranya yang terkena kanker tidak menyebar luas. Sebagai seorang perempuan pasti sangat berat untuk melakukan hal itu. Tetapi, demi kebaikannya, ia segera menyetujuinya. Azalea keluar dari dalam ruang praktek dokter dan menghampiri Galang yang menunggunya di ruang tunggu. Ia tersenyum melihat Galang. Anak satu – satunya yang ia miliki itu sudah menjelma menjadi remaja yang cukup tampan. Ia yakin pasti banyak siswi di sekolah yang menyukai anaknya itu. “Mama, gimana?”, tanya Galang. “Mama baik – baik aja kok. Ayo, kita pulang. Sebentar lagi papa pulang.” Melihat senyum di wajah ibunya, Galang tahu, pasti ada sesuatu yang buruk terjadi. Namun, ia tidak mau bertanya jika ibunya tidak mau menceritakannya. “Oh ya, Galang mau makan apa malam ini?”, tanya Azalea. “Pizza.” “Oke. Kita beli pizza.”   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD