TAO – 3

1472 Words
Herman pergi tanpa menunggu dan menyapa Sandi. Ia begitu murka melihat ketika melihat Sandi datang dan menyentuh lembut tangan Cici. Hatinya memanas tatkala melihat Sandi membelai puncak kepala Cici dan mencium kening adik iparnya itu dengan kasih sayang. Sial! Benar-benar sial! Seharusnya saya yang ada di sana, bukan dia. Bukan Sandi yang tega meninggalkan istrinya dengan alasan bekerja. Herman menyugar kasar rambutnya dan menendang apa saja yang bisa ia tendang seraya merutuk di dalam hati. Ia segera naik ke atas motor dan mulai meninggalkan rumah bida May menuju rumah Indra. Ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Sementara di tempat berbeda, Sandi berkaca-kaca melihat perjuangan sang istri yang semakin kepayahan. “Sandi, bisa kita bicara di luar sebentar?” Bidan May tampak sedikit cemas. Sandi mengangguk, lalu kembali menatap wajah cantik istrinya yang sudah berkeringat, “Sayang, abang mau keluar sebentar. Sepertinya ibu itu ingin membicarakan hal yang sangat penting.” Cici mengangguk, “Iya, Bang.” Sandi pun kembali memberikan kecupan lembut di kening istrinya sebelum pergi meninggalkan Cici untuk menemui bidan May. “Silahkan duduk, Sandi.” Sandi duduk di bangku yang sudah tersedia, “Ada apa, Bu? Apa ada masalah dengan kehamilan Cici?” “Tidak, kehamilan Cici tidak bermasalah. Akan tetapi yang bermasalah adalah proses melahirkannya. Tulang pínggul Cici terlalu sempit dan posisi bayi kalian sungsang dan besar. Jadi kemungkinan tidak akan bisa melahirkan normal.” “Jadi?” “Ibu akan merujuknya ke rumah sakit agar dilakukan operasi saecar.” “Apa tidak bisa diupayakan normal, Bu?” Wajah Sandi tampak lemah. “Maaf, Sandi. Ibu tidak berani memaksakan normal. Kondisi Cici tidak memungkinkan untuk melahirkan normal sebab bayi kalian juga lumayan besar. Ibu takut, jika tetap dipaksakan normal maka akan beresiko untuk keselamatan ibu dan bayi.” Sandi terdiam. Ia tampak berpikir keras. “Ibu punya pengalaman buruk beberapa bulan yang lalu. Sandi kenal dengan Yunia? Rumahnya tidak jauh dari rumah kalian.” Sandi menggeleng. Pria itu memang belum banyak mengenal warga di tempat ia tinggal sebab Sandi tingal di rumah ibu mertuanya. “Ibu sudah menyarankan agar dilakukan operasi saja, akan tetapi suaminya dan Yunia memaksa tetap normal. Ibu tidak berani mengambil resiko, akhirnya mereka mencari bidan alternatif dan dilakukan tindakan vakum di sana. Namun takdir Allah berkata lain, anaknya sulit untuk keluar dan sang bidan pun menyerah. Tapi Yunia dan suaminya tetap memaksa hingga akhirnya bayi mereka meningga dunia dan Yunia mengalami pendarahan hebat.” Sandi bergidik mendengar penjelasan Bidan May. “Maaf, Sandi. Ibu tidak bermaksud menakut-nakuti. Akan tetapi, ibu hanya memberikan sebuah contoh kecil. Bagi ibu, keselamatan ibu dan anak adalah yang paling utama.” Sandi mengangguk, “Iya, Bu, Sandi mengerti. Maaf, berapa biaya operasinya, Bu?” “Empat juta lima ratus ribu.” Sandi tiba-tiba tertunduk sesaat, berpikir sejenak lalu mengangkat kepalanya lagi, “Apakah Cici sudah mengetahuinya, Bu?” “Belum, ibu belum memberi tahu.” “Sandi akan memberi tahu Cici terlebih dahulu.” “Iya, silahkan.” Sandi bangkit dan berjalan dengan gontai menuju ruangan tempat Cici tengah berjuang. “Bang, apa yang dikatakan bu May?” Sandi memegang tangan Cici dengan lembut, “Sayang ... kamu harus di operasi, sebab tidak memungkinkan untuk melahirkan normal.” “Ya Allah, kenapa?” “Bayi kita besar, kondisinya sungsang sementara tulang pínggul kamu sempit.” “Apa tidak bisa diusahakan normal saja?” Sandi menggeleng lemah, “Terlalu beresiko, Sayang.” “Biayanya?” Cici semakin dilema. Ia tidak mampu lagi menahan lahar dingin yang sedari tadi sudah ditahannya. “Empat juta lima ratus ribu.” Tiba-tiba Cici terisak mendengar nominal angka yang disebutkan Sandi. Ia tidak memiliki uang sebanyak itu. “Bang, Cici hanya punya uang dua juta. Bukankah Cici baru saja beli mesin cuci dan beberapa kebutuhan lainnya? Cici pikir, tidak akan ada masalah sebab selama hamil Cici tidak pernah punya masalah. Bukankah biaya segitu sudah cukup banyak untuk persiapan lahiran normal, makanya Cici santai saja.” Sandi hanya bisa tersenyum menatap wajah sedih istrinya, “Kita operasi saja ya ...,” ucap Sandi, lemah. “Kita mau bayar biaya operasi pakai apa?” Cici semakin sesak. Tiba-tiba bidan May datang, “Cici, Cici tidak usah pikirkan masalah biaya. Bukankah selama ini ibu sudah menganggap Cici adalah putri ibu sendiri? Yang penting bagi ibu, Cici dan bayinya selamat.” “Tapi bagaimana dengan biayanya?” “Cici bisa bayar berapa dulu?” “Cici hanya punya uang dua juta, Bu. Tidak mungkin semua akan Cici berikan, sebab pasti akan banyak kebutuhan selama di rumah sakit. Jadi kemungkinan hanya satu juta lima ratus ribu saja. Sisanya Insyaa Allah satu bulan paling lama. Nunggu Cici dan bang Sandi gajian.” “Tidak apa-apa, ibu akan tanggulangi dulu biayanya. Yang penting Cici dan Sandi sudah setuju untuk dilakukan tindakan operasi. Ibu ingin Cici dan cucu ibu selamat.” “Masyaa Allah ... Benarkah? Alhamdulillah, terima kasih, Bu.” Cici terharu, ia terisak. Tidak menyangka bidan itu akan berbaik hati kepadanya. “Bu, tolong segera bantu Cici.” “Iya, ibu akan segera hubungi ambulan rumah sakit.” Bidan May keluar dari ruangan itu. Yeni dan Santi berusaha menguatkan Cici. Sementara Sandi mulai sibuk menghubungi seseorang. Tidak lama, ambulan datang. Cici dimasukkan ke dalam ambulan dan dibawa ke sebuah rumah sakit swasta terdekat. Di sepanjang perjalanan, Cici dan yang lainnya tak putus-putus berdoa untuk keselamatan dirinya dan bayinya. - - - - - “Ada apa?” Indra melihat tampang sahabatnya tampak kusam dan penuh amarah. “Gagal!” “Aku sudah katakan kalau Cici itu punya ilmu. Ya, mungkin ia tidak pernah menuntut ilmu, aka tetapi ada yang mengikuti dan menjaganya. Mungkin ayah atau ibu mertuamu yang sudah menyisipkan ilmu itu padanya.” “Entah mengapa, saya sulit untuk memercayainya. Saya tidak pernah melihat almarhum ayah mertua saya menuntut ilmu apa-apa. Apalagi ibu mertua. Ayah dan ibu mertua saya termasuk pribadi yang taat.” “Justru itu, zikir-zikir yang mereka lafazkan jika mengikuti sebuah pola atau jumlah tertentu dan hari tertentu, itu adalah ilmu. Bisa jadi tanpa kamu sadari ayah atau ibu mertua atau mungkin Cici sendiri sudah pernah mengamalkannya.” “Kalau Cici, saya rasa tidak mungkin. Ia begitu intelek dan tidak pernah percaya dengan hal seperti itu.” “Hhmm ... terus sekarang bagaimana?” “Kita lihat saja dulu.” “Bagimana persalinannya?” “Entahlah ... Tadi yang saya dengar, bidan May mengatakan jika Cici tidak mungkin bisa melahirkan normal. Setelah itu Sandi datang dan saya pun pergi. Saya tidak suka melihat kebersamaan mereka.” “Istrimu sendiri, bagaimana?” “Menyebalkan!” Indra terkekeh ringan, “Lagi?” “Setiap hari.” “Kenapa tidak kamu ceraikan saja?” “Tidak mungkin itu akan terjadi.” “Mengapa tidak mungkin?” “Jika kami bercerai, itu artinya aku akan berpisah dari keluarga itu dan itu artinya aku akan jauh dari Cici. Aku tidak bisa jauh dari wanita itu.” “Obsesimu terlalu tinggi, Herman!” “Suatu saat nanti aku pasti akan mendapatkannya.” “Mengapa kamu begitu terobsesi?” “Cantik, pintar, lembut dan penyayang. Aku sudah menyayanginya semenjak ia masih kecil. Kala itu ia masih kelas dua SD dan terlihat sangat menggemaskan. Aku sudah menjaganya semenjak ia kecil dan kenapa setelah ia dewasa malah menikah dengan Sandy?” “Kamu terlalu gilɑ, Herman!” “Ya, aku memang sudah gilɑ. Aku begitu tergila-gilɑ.” Indra bangkit dari duduknya dan masuk kembali ke dalam rumahnya. Sementara Herman masih duduk merenung di teras rumah Indra. Tidak lama, Hendra kembali, “Ngopi dulu. Tenangkan pikiranmu.” “Terima kasih, Indra.” Setelah menyeruput kopi panas buatannya, Indra kembali menatap sahabatnya itu, “Tidak coba melupakannya saja?” “Sudah saya coba, tapi tidak bisa.” “Penjaganya begitu kuat, Herman. Aku tidak yakin kau akan sanggup mengalahkannya.” “Aku tidak peduli. Suatu saat nanti, aku pasti bisa mendapatkannya.” Indra kembali terkekeh, “Terserah kamu saja, Herman.” Indra dan Herman pun kembali menikmati kopi panas mereka. - - - - - “Maaf, Pak. Kami akan membawa ibu Cici ke ruang operasi. Bapak bisa menunggunya di luar ruang operasi.” Seorang suster berkata ramah kepada Sandi. Sandi mengangguk seraya melabuhkan pandang ke arah Cici. “Bang ...,” lirih Cici dengan tatapan sayu.” “Tidak apa-apa, Sayang ... semua akan baik-baik saja.” Sandi mengecup lembut punggung tangan istrinya. ia berusaha menguatkan. “Mohon maafkan Cici kalau selama ini Cici ada salah. Tolong sampaikan juga pada mama dan kak Santi.” “Iya, Sayang ... kamu banyak beristighfar. Percayalah, Allah pasti akan melindungi.” Cici mengangguk, ia tersenyum. Tidak lama, branker itu pun didorong menuju ruang operasi. Yeni, Santi dan Sandi hanya bisa menatap Branker itu tanpa dapat ikut masuk ke dalam ruang operasi. Sicilia berjuang mempertaruhkan nyawa demi janin dalam rahimnya, sementara sandi yang lainnya terus berdoa untuk keselamatan Cici dan bayinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD