Bab 2

1135 Words
Suasana kelas yang bising sudah biasa bagi pemuda tujuh belas tahun itu. Begitu juga dengan keributan yang sering ditimbulkan oleh teriakan Airi. Yang tak biasa adalah kebisuan gadis bertubuh mungil itu. Sejak bel masuk berbunyi tadi, tak terdengar sepatah kata pun yang keluar dari mulut gadis itu. Penasaran, Aiden melirik Airi dengan ekor matanya. Gadis itu terlihat menyembunyikan kepala di antara lipatan kedua tangannya. Ada apa dengan Airi? Apa dia sakit? "Aiden!" Bella menghampiri meja Aiden. Pemuda itu mendengus kesal. Baru saja dia ingin menikmati keadaan kelas yang sepi, nenek lampir sudah mengganggunya saja. "Nanti pulang sekolah ada waktu nggak?" Aiden diam seperti biasa. Tak tertarik menanggapi Bella atau siapapun makhluk yang menyandang nama perempuan. "Kita nonton ya nanti?" Aiden tetap diam. Dalam hati pemuda itu berharap agar pak Rustam, guru matematika mereka yang mengajar di jam pelajaran pertama segera masuk. "Mau ya, Aiden. Please!" Kata terakhir diucapkan Bella dengan berbisik. Dia tak ingin ada yang tahu kalau dia memohon pada pangeran sekolah mereka. Predikatnya sebagai ratu di sekolah ini membuat gengsinya sangat tinggi. Laras, gadis berparas manis yang duduk di belakang Aiden, akhirnya merasa terganggu juga dengan kehadiran Bella di dekat mejanya. Bella memang berdiri tepat di depan meja Aiden yang duduk paling depan. Dan itu sangat mengganggu karena tubuh Bella menutupi pandangannya ke papan tulis. "Bisa minggir nggak sih lu, Bel?" Gerutu Laras. "Ngalangin pandangan banget!" "Orang sirik sih bisa apa?" Balas Bella cuek. "Lo walopun dandan abis nggak mungkin bisa nyaingin gue!" Laras mengerjap. Setelahnya gadis itu berdecak. "Nggak nyambung, dodol!" Makinya kesal. "Gue minta lo minggir, bukan sirik sama dandanan lo!" Bella menghentakkan kaki kesal, pipinya memerah. Malu dan kesal karena sekarang hampir semua teman-teman sekelas menyorakinya. "Lagian, biar lo cantik kek bidadari juga Aiden nggak bakalan ngelirik lo. Ya nggak, Ai?" Laras menoel bahu Aiden. "Hah apa?" Bukan Aiden yang menyahut, melainkan Airi. Gadis mungil itu berdiri dengan tangan yang mengucek mata. Dari raut wajahnya yang tampak mengantuk ketahuan kalau Airi baru bangun tidur. "Iler lu, Ai..." Tawa menyambut perkataan Bima." Meluber ke mana-mana." Bukannya marah atau apa atas perkataan Bima, Airi justru kembali menelungkup setelah menguap. Aiden tersenyum dalam hati melihatnya. Airi tampak menggemaskan dengan wajah bangun tidurnya. "Dih dasar tukang caper!" Aiden melirik Bella sekilas mendengar ucapan gadis itu yang Aiden yakin pasti ditujukan pada Airi. Pemuda itu menggeleng samar, bagaimana mungkin Bella menyimpulkan Airi hanya mencari perhatian. Sementara Airi terlihat tidak memperdulikan keadaan sekitarnya. Gadis itu sepertinya kembali terlelap. Aiden menghela napas lega, ternyata Airi tidak kenapa-kenapa. Gadis itu hanya tertidur saja. Eh? Lega? Aiden menggeleng pelan, mengusir pikirannya. Bertepatan dengan itu pak Rustam memasuki kelas. Semua murid kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Begitu juga dengan Airi. Gadis itu langsung bangun begitu bahunya disenggol teman yang duduk di depannya. *** "Lo kenapa dah, Ai, pagi-pagi tidur di kelas." "Ngantuk, Sis..." "Ya tau lah gue lo ngantuk!" Potong Siska cepat. "Yang gue tanyain kenapa lo tidur di kelas. Kan nggak biasanya tuh." Airi tak menjawab. Mulutnya sibuk mengunyah nasi goreng buatan Bu Imas, ibu kantin di sekolah mereka. "Ai!" Sentak Siska kesal. Sudah tiga suapan bakso masuk ke mulutnya tapi Airi belum juga menjawab. "Jawab napa!" Airi menggeleng. Gadis itu menunjuk piringnya yang masih terisi separuh bagian. Siska berdecak. "Lama lah kalo nunggu lo makan." Airi lagi-lagi tak bersuara. Gadis itu hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Perutnya terlalu lapar hanya untuk sekedar bercengkerama. Tadi pagi dia tidak sempat sarapan karena bangun kesiangan. Gara-gara anak-anak komplek sialan yang dengan tidak tahu malunya mengajaknya bermain kartu tadi malam. Akibatnya tidurnya terlambat, bangun pun kesiangan. Untung dia tidak telat. Kalau tadi telat, habislah semuanya. Mamanya yang super cerewet pasti akan memotong uang jajannya. "Udah selesai?" Airi mengangguk. Gadis itu mengelap mulut cepat. Setelah menyeruput es jeruknya sampai setengah gelas barulah Airi bersuara. "Kan tadi malem aku maen sama anak-anak..." Siska mengangguk. Dia sudah tahu siapa anak-anak yang dimaksud Airi. Pastilah teman-teman di komplek tempat tinggal gadis itu. "Tidurnya jadinya kemaleman." "Telat bangun dan lo masih ngantuk tapi tetap harus sekolah kalo nggak nyokap lo bakalan marah." Sambung Siska. Airi hanya cengengesan. "Kok tau?" Tanyanya dengan mata membulat lucu. Siska menghela napas. "Tau lah gue. Kebiasaan lo mah itu." Airi terkekeh. Gadis mungil itu kembali menyeruput es jeruknya, kali ini sampai tandas. Setelahnya Airi berdiri, bersiap meninggalkan kantin. Diikuti oleh Siska tentu saja. "Ke kelas atau ke mana nih?" Tanya Siska. Mereka tengah berjalan menuju kelas mereka di lantai dua. Airi tiba-tiba berhenti. Sepasang alisnya tampak berkerut berpikir. Kalau dia kembali ke kelas sekarang, pastilah kelasnya masih penuh dengan gadis-gadis fans Aiden. Dan sungguh, Airi tidak menyukai pemandangan itu. Melihat pemuda yang disukai dikerubuti puluhan gadis cantik bukanlah sesuatu yang sedap dipandang. Lebih baik dia ke lapangan melihat anak-anak basket bertanding antar sesama mereka atau ke perpustakaan. Airi mengetuk-ngetuk pelipis. "Ke mana ya?" Siska berdecak. Gadis itu memutar mata kesal. Bukannya menjawab Aira malah balik bertanya. "Terserah lo. Gue cuma ngekor lo doang." Airi menatap Siska bingung. "Aku nggak punya ekor tuh." Bibir mungil Airi meruncing. "Astaga!" Siska menepuk dahi. Airi memang kadang mengesalkan, buktinya sekarang. Entah sahabatnya ini hanya berpura-pura atau memang sifat polos Airi sedang kumat. Yang pasti Siska kesal dibuatnya. "Lo emang nggak punya ekor. Yang lo punya tuh paruh, Ai!" "Iya kali." Airi mengangkat bahu cuek. Memutar tubuh menuruni tangga. Dia akan ke lapangan saja. Dia perlu mencuci matanya yang sudah terkontaminasi pemandangan 'gadis-gadis' Aiden. *** Suara teriakan para gadis dari pinggir lapangan tak membuat konsentrasi Aiden buyar. Pemuda itu tetap fokus untuk merebut bola orange dari tangan lawannya. Meskipun perbedaan skor dengan tim lawan lumayan jauh, Aiden tetap berusaha menjaga jarak itu. Sampai matanya menangkap sosok itu. Sosok mungil yang berjalan beriringan dengan gadis yang selalu bersamanya. Konsentrasi Aiden pecah antara si gadis musim semi dan pertandingan. Sementara Airi, gadis itu terus mengoceh sambil meminta jalan pada setiap siswa yang menghalanginya untuk maju ke barisan depan. Siska tetap setia di sisinya. Airi memekik saat sudah di depan. Mata coklatnya liar menatap para pemain basket yang mempunyai tampang di atas rata-rata. "Aiden! Aiden!" Teriakan-teriakan itu membuat Airi berjengit. Wajahnya menekuk jengkel melihat banyaknya fans Aiden di sini. Kenapa gadis-gadis itu tidak di kelasnya? Jangan-jangan... Airi kembali mengedarkan pandangan ke lapangan. Dan tatapannya berhenti pada satu titik. Pemuda yang dielu-elukan itu berdiri di tengah lapangan, memegang bola basket. Dengan tatapan mengarah padanya. Airi tercekat. Benarkah Aiden sedang menatapnya? Beberapa detik mata mereka bertemu. Setelahnya pemuda itu membuang muka. Kembali berlari dan mencetak skor untuk tim-nya. Seluruh penonton bersorak, tak ketinggalan Siska yang juga mengidolakan Aiden. Siska tampak semangat meneriakkan nama pemuda yang disukainya itu. Sementara Airi tertunduk. Gadis berwajah baby face itu menggigit bibir. Ternyata Aiden tak menganggap pertemuan mereka di perpus waktu itu. Dia salah kalau mengartikan dirinya spesial, hanya karena Aiden mau berbicara padanya. Stop ngebucin, Airi. Kamu harus tahu diri, kamu nggak sepadan sama Aiden.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD