Sang Ajudan | Bab 2

1639 Words
Terbang menggunakan pesawat Hercules selama kurang lebih satu jam dan dilanjutkan dengan melakukan perjalanan darat selama kurang lebih empat jam, akhirnya disinilah mereka, Camp Markas Tentara Indonesia diperbatasan Pulau We. “Selamat petang dan selamat datang di Camp Markas Tentara Indonesia di perbatasan Pulau We. Perkenalkan nama saya Mayor Ringga selalu Komandan Batalyon di Camp Markas Tentara Indonesia ini. Saya mengucapkan selamat datang pada para relawan dan juga prajurit yang tergabung dalam Satuan Tugas Pulau We. Seperti yang bisa kalian lihat dan saksikan bersama, lokasi disini jauh berbeda dengan lokasi kita di perkotaan ya. Disini kalian bisa menikmati indahnya pemandangan hutan dan juga alam pegunungan yang masih asri dan sejuk. Di tempat ini, kami mengawasi sekitar kurang lebih enam puluh KK dengan jumlah penduduk kurang lebih sekitar 300 jiwa. Rumah-rumah mereka terbagi dalam tiga distrik. Distrik Hilir, Distrik Hulu, dan Distrik Muara. Hal ini diseusaikan dengan topografi wilayah yang dekat dengan sungai We yang mengalir langsung dari pegunungan. Untuk mengakomodasi kepentingan dibidang kesehatan dan juga pendidikan, kami mengadakan pemeriksaan dan sekolag gratis yang buka setiap hari dan akan libur pada hari Minggu. Untuk para relawan kami sudah menyediakan barak khusus relawan putra dan relawan putri yang terpisah. Untuk orientasi lingkungan sekitar, mungkin dapat kalian lakukan secara berkelompok nanti, sekarang, saya persilahkan untuk makan bersama dengan hidangan yang sudah disediakan oleh petugas dapur umum dibantu oleh masyarakat sekitar. Dan akhir kata, selamat datang dan selamat melaksanakan tugas pengabdian rekan rekan semua,” ucap Mayor Ringga saat mengakhiri pidatonya. Acara makan bersama dengan menu sederhana pun terlaksana dengan baik dan juga dalam suasana penuh kekeluargaan. Satria dan Adit tak hentinya mendongak untuk menatap sekitar. Jiwa pertempuran dan waspada mereka memang tidak menurun sama sekali walaupun saat ini mereka berstatus sebagai warga sipil biasa. “Satu lagi, saya ingatkan kalian terutama para relawan untuk tidak melintas pagar pembatas yang melingkar di sekitar Markas ini. Jujur saja, seperti yang sudah banyakekan-rekan dengar di Pulau We terdapat kelompok separatis bersenjata yang bisa saja menyerang kita dan melukai kita kapan saja. Dengan tetap berada di dalam pagar pembatas, diharapkan memperkecil kemungkinan berhadapan dengan kelompok separatis tersebut. Paham?” tanya Mayor Ringga yang secara serempak dijawan oleh para relawan dan juga anggota satuan tugas yang baru saja datang. Sesampainya di barak relawan, Satria segera meletakkan barang bawaannya dan merebahkan diri diatas tempat tidur khas militer. “Perkenalkan Saya Dokter Aryo,” ucap salah seorang relawan yang kini sudah bersalaman dengan Adit dan juga Satria. Aryo juga memperkenalkan beberapa rekan relawannya. “Saya terpilih sebagai coordinator relawan medis di sini.” Lanjutnya lagi. Adit nampak menggangguk. “Saya coordinator relawan non medis, Bang,” ucap Adit. Aryo nampak menganggukkan kepalanya sebelum kembali ke baraknya. Satria membuka jendela barak dari tempatnya dan mulai memindai lokasi sekitar barak tersebut. Adit yang sejak tadi menatap Satria pun berdehem. Satria mendongak lalu menggedikkan dagunya, bertanya saat menyadari jika Adit telah memandangnya begitu tajam. Satria yang paham segera bangkit dari tempatnya dan memilih keluar barak sekaligus memindai lokasi dari luar barak dengan dalih mencari angin. Satria berjalan menyusuri barak relawan dan barak prajurit yang jaraknya tidak terlampau jauh, ia menyusuri pagar pembatas yang terbuat dari kawat berduri yang memang dibuat tinggi dan melingkar di batas terluar Markas. Merasa barak bagian belakang nampak kotor, Satria berinisiatif mengambil sapu lidinya untuk membersihkan daun-daun besar yang bersebaran di sekitaran barak. Satria menyapu dengan perlahan, sebelum sebuah besi kecil serupa gotri sepeda nampak seperti terlontar di dekat kaki kanannya. Satria menghentikan kegiatannya sejenak, ia membungkuk melihat kea rah kakainya dan mengeryitkan dahi saat menggenggam gotri sepeda tersebut. Satria lalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, sebelum akhirnya kembali menyapu halaman lagi. Pletak! Suara lontaran besi kembali terdengar, kali ini besi tersebut mengenai tempat sampah yang terbuat dari besi pula, sehingga suara yang dihasilkannya sedikit keras. Satria kemudian kembali menoleh ke belakang, menatap dan memindai lokasi di sekitaran luar, tidak ada orang. Jiwa penasarannya kembali meronta, Satria kembali berjalan mendekat dengan sapu lidinya, kali ini Satria sengaja menyapu lebih dekat lagi dengan pagar pembatas, dan benar saja sebuah tembakan melesat mengenai daun telinga satria yang membuatnya sedikit membungkuk dan memegangi telinganya yang mulai memerah dan sedikit mengeluarkan darah segar. Satria kembali berlari dan memanjat pagar berduri tersebut lalu menatap ke dalam hutan. Satria memicingkan manik matanya tepat kearah hutan dan mendapati beberapa tanaman dan ilalang disana bergerak tak tentu arah bukan karena terkena terpaan angin. Satria yakin jika mungkin barusaja dirinya menjadi sasaran tembak dari penembak misterius yang sedang belajar menembak atau memang sengaja menganggu dan hanya menakuti saja. “Ini dari senjata rakitan. Memang kamu melihat pelakunya?” tanya Adit saat menatap tiga buah gotri kecil di telapak tangannya. Satria menggelengkan kepalanya. “Saya berusaha menatap ke arah hutan tapi tidak nampak siapa yang melakukannya. Perlu kita laporkan pada Danyon, Bang?” tanya Satria setengah berbisik. Adit menoleh dan menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu. Untuk sementara kita simpan saja dulu,” ucap Adt yang segera diangguki oleh Satria. *** “Bagaimana pengamatanmu dilapangan?” tanya seorang lelaki baya yang masih nampak berdiri dengan gagah di tempatnya. Dia adalah Kolonel Guntur, pemimpin kelompok bersenjata Mawar Hitam yang kini sedang duduk bersantai di kursi malasnya. Ia menghembuskan asap rokoknya seraya menatap gadis berpawakan tidak terlalu tinggi yang berdiri tegap dihadapannya. “Sepertinya mereka kedatangan relawan dan juga prajurit satuan tugas baru, karena wajah mereka sangat asing.” Jawab gadis itu. Kolonel Guntur menatap anak buahnya itu dengan seksama. “Lalu, tugasmu untuk menebarkan terror bagaimana? Saya tidak mendengar adanya jeritan atau serentetan bunyi senjata untuk membalas tembakan yang kamu lesatkan,” ujar Kolonel Guntur. Gadis itu diam sejenak, menatap manik mata Kolonel Guntur yang tidak lain adalah ayah angkatnya. “Saya bertanya padamu, Renjana,” ucap Kolonel Guntur tegas. Gadis bernama Renjana itu membulatkan manik matanya. Ia tidak tahu apa yang akan disampaikan pada ayah angkatnya itu jika dia tidak melakukan tugasnya dengan baik. “Masalah itu—“ “Kamu gagal memberikan terror pada mereka?” Renjana diam. Gadis itu segera menundukkan kepalanya, tidak berani lagi menatap wajah Kolonel Guntur yang menatap tajam kearahnya. Kolonek Guntur yang mengerti dengan keadaan dan situasi yang ada pun segera menghembuskan nafas kasar. “Berapa kali ayah harus mengajarimu menembak dengan baik dan benar?! Rekan-rekanmu yang sama sama belajar menembak saja kini sudah siap berperang dan mengangkat senjata!” kesal Kolonel Guntur. Sudah barang tentu, Renjana semakin menundukkan kepalanya, ia tahu betul apa yang akan ia terima setelah ini. “Belajarlah menembak sekarang! Jangan berhenti kalau Paman belum memintamu berhenti!” ucap Kolonel Guntur. Renjana berdiri tegap sembari berucap siap dan menenteng senjata rakitan miliknya hingga ke tepi sungai. Ia memasang sebuah papan kayu dengan jarak kurang lebih lima puluh meter dan mulai menembaki papan kayu itu. Renjana memposisikan senjatanya tepat didepan dan menembakkan senjata itu beberapa kali. Hingga kemudian gadis manis itu beringsut duduk sembari menangkup wajah dengan kedua tangannya. Dia menangis. “Seorang prajurit itu tidak akan tega membunuh musuh jika dia masih menangis,” Suara baritone itu kembali terdengar dan membuat Renjana mendongak dan menatap sosok laki-laki dengan ikat kepala merah dikepalanya berjalan dengan menenteng senjata di bahunya. Cepat-cepat Renjana menghapus air mata yang mengalir di pipinya dengan kasar lalu kembali bangkit berdiri. “Kenapa menangis?” tanya laki-laki yang bernama Lindan itu. Renjana menggelengkan kepalanya, ia tidak ingin dianggap lemah oleh laki-laki yang kata ayah angkatnya akan menjadi suaminya itu. “Saya tahu kamu tidak terlalu pandai menembak. Saya juga tidak keberatan jika istri saya tidak pandai berperang, karena perang adalah tugas dan kewajiban kaum laki-laki. Saya masih tidak habis pikir, kenapa Kolonel terus memintamu berlatih menembak dan memegang senjata?” ucap Lindan seraya mengusap lembut wajah Renjana. “Entahlah. Sepertinya semua orang di sekitar Mawar Hitam harus wajib bisa mengangkat senjata,” ucap Renjana sedikit kesal. “Saya bisa saja mengajarimu.” “Tapi saya tidak mau jadi pembunuh.” Lindan terbahak ditempatnya seraya mengacak puncak kepala Renjana. “Satu prinsip yang harus kamu pahami adalah, orang yang mengangkat senjata, mengunakan senjata untuk mempertahankan diri pastilah dia akan melumpuhkan lawannya. Begitulah fungsi senjata dan cara kerja perang. Jika dalam perang kamu tidak menembak, resikonya kamu yang akan mati tertembak. Jika tidak mau mati tertembak, maka menembaklah.” Ucap Lindan seraya memposisikan tangannya pada tangan Renjana dan memberikan kembali senjata rakitan milik gadis itu. “Khusus bagi kamu, tidak ada salahnya belajar mempertahankan diri. Urusan membunuh, serahkan saja pada saya,” ucap Lindan seraya tersenyum tipis menatap Renjana. Renjana mengangguk dan kembali memposisikan senjatanya didepan dan bersiap melesatkan tembakan. Ada tembakan yang mengenai papan kayu tersebut tapi lebih banyak dari tembakannya yang meleset jauh. “Sebenarnya kenapa Paman Guntur meminta kita berperang melawan pemerintah dan aparatnya? Sudah tahu kemampuan dan jumlah kita tidak sebanyak mereka,” ucap Renjana. Lindan terkekeh ditempatnya. “Urusan itu saya tidak tahu. Yang saya pahami disini hanyalah, saya ingin menuntut balas atas kematian ayah dan kakak laki-laki saya karena mereka ditembak mati oleh aparat. Seharusnya itu juga yang harus ada di dalam hati dan pikiranmu. Karena para aparat itu telah menembak mati ayah dan ibumu,” ucap Lindan. Renjana terdiam. Kejadian kelam lima belas tahun yang lalu itu samar-samar masih terlihat dalam ingatan Renjana, namun ia tidak dapat mengingat dengan jelas karena saat kejadian memilukan itu Renjana masih berusia lima tahun. “Itu sebabnya Kolonel Guntur membawamu dan aku juga anak anak yatim piatu lainnya untuk membalas dendam. Kami bertahan untuk memperjuangkan tanah nenek moyang kami agar tidak di eksploitasi oleh perusahaan perusahaan besar yang tidak bertanggung jawab itu. Kami menolak mereka untuk masuk ke kawasan ini, karena daerah ini satu-satunya tempat yang asli dan belum banyak terjamah oleh tangan manusia. Mereka itu pencuri, Jana. Mereka menjanjikan kesejahteraan tapi apa, kekayaan alam kita dimanfaatkan dan dihabiskan untuk membesarkan isi perut mereka. Dan Presiden yang berkuasa sekarang, adalah orang yang paling bertanggungjawab kenapa kita dan kehidupan masyarakat sekitar Muara Pulau We sengsara seperti sekarang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD