Faris diam sebentar, menunggu reaksi dari Anin, yang malah terlihat bingung.
“Aku tau, ini pertama kalinya kamu deket dan menjalin hubungan sama cowok, tapi aku enggak Nin. Dulu, aku beberapa kali berhubungan sama cewek.”
“Ooh, jadi ceritanya mau pamer jumlah mantan ini mas? Hehe. Ya bagus dong kalau gitu.”
“Loh, bukan. Bukannya mau pamer. Lagian dimana bagusnya?”
“Ya baguslah, artinya kan kamu masih normal mas, pacaran sama cewek. Kalau dulunya kamu pacaran sama cowok, ya aku malah nggak bakal mau sama kamu, haha.”
“Haha, sialan. Ya enggaklah, jelas aku ini masih normal.”
“Haha, bercanda mas. Terus, kalau bukan mau pamer mantan, apa dong yang mau dibahas?”
“Hmm, jadi gini. Aku dulu, bukan orang yang baik Nin. Ya sekarang belum bisa dibilang baik juga sih, tapi aku yang dulu lebih parah lagi. Selama aku pacaran dulu, aku dan mantan-mantanku, hmm, udah ngelakuin hal-hal yang udah kelewat batas.”
Kembali Faris terdiam untuk melihat reaksi Anin, yang kali ini terlihat kaget dengan kata-katanya. Tapi Anin masih diam saja, dia ingin Faris melanjutkan ceritanya.
“Kamu udah dewasa, jadi aku yakin kamu ngerti pembicaraanku arahnya kemana.”
“Maksud kamu, kamu udah pernah ngelakuin hal-hal yang belum seharusnya kamu lakuin sama mantan-mantanmu itu?”
“Iya Nin.”
“Semua mantanmu?”
“Iya.”
“Seberapa sering?”
“Hmm, cukup sering.”
“Ooh..”
Anin kembali terdiam, dan kali ini membuang pandangannya ke arah lain. Faris bingung, apa yang harus dia lakukan. Dari reaksi Anin, dia tahu kalau gadis itu kaget dan kecewa dengan pengakuannya. Dan mungkin juga, tidak bisa menerimanya.
“Mungkin kamu kecewa sama pengakuanku ini Nin, dan mungkin juga nggak terima. Aku ngasih tau hal ini sekarang, secara langsung, juga ada tujuannya.”
“Buat apa?”
“Biar kamu bener-bener tau aku itu seperti apa dulunya. Dan aku pengen kamu denger langsung dari aku, bukan orang lain. Jadi apapun yang aku katakan ini bener-bener jujur, apa adanya, nggak ada yang aku sembunyiin. Dan kenapa sekarang, karena kalaupun kamu kecewa, atau bahkan nggak bisa menerimanya, itu sekarang, bukan nanti setelah kita nikah.”
“Aku bisa aja nyembunyiin semua ini dari kamu, tapi mungkin nanti kamu bakal tau juga, dan mungkin dari orang lain. Aku bisa aja ngasih tau setelah kita nikah, dan kalau kamu nggak bisa terima dan pengen pisah, yang penting aku udah dapetin kamu. Tapi aku nggak mau kayak gitu. Aku mau, kalau kamu nerima aku, kamu nerima aku apa adanya, dengan semua kekuranganku, dengan semua masa laluku,” lanjut Faris.
Anin masih terdiam, dan belum mau menatap Faris lagi.
“Kalau kamu nggak bisa terima, dan mau pergi, aku siap Nin. Aku tau kamu gadis yang baik, dan kamu layak dapat pria yang baik juga. Bukan aku nggak mau memperjuangkan kamu, tapi pengakuan ini adalah salah satu caraku untuk memperjuangkan kamu, karena aku sudah berjanji sama diriku sendiri, kalau aku mau berubah.”
Anin terlihat memejamkan matanya dan menunduk. Faris masih terus menatap gadis itu. Dia tak ingin terlalu banyak mengumbar janji untuk merayu, dia hanya ingin Anin benar-benar tahu tentang dirinya. Kalaupun tidak bisa menerima, maka dia bisa pergi untuk mencari pria terbaik untuknya. Kalaupun bisa menerima, berarti Anin bisa menerimanya apa adanya, dengan semua kekurangannya.
“Cuma dengan mantan-mantanmu aja?”
“Enggak Nin.”
“Dengan berapa cewek kamu udah kayak gitu?”
Faris agak terkejut dengan pertanyaan Anin ini, tapi dia harus menjawabnya. Dia sudah terlanjur mengakuinya, tak ada gunanya menutup-nutupi lagi.
“Hmm, banyak Nin.”
“Berapa?” tanya Anin, dengan nada yang sedikit meninggi, dan masih tanpa melihat Faris.
“Entahlah, mungkin…” Faris terdiam sejenak, menunduk. “Lebih dari 10,” lanjut Faris, dengan suara yang lirih, tapi cukup untuk didengar oleh Anin.
Anin menggelengkan kepalanya, lalu memalingkan pandangannya lagi. Nafasnya juga sedikit berubah, seperti menahan isak tangis.
“Maaf, tapi aku harus jujur sama kamu. Aku tau kamu pasti kaget, marah dan kecewa. Aku sendiri juga sebenarnya malu ceritain semua ini. Tapi karena aku bener-bener pengen menjalani hidup berdua sama kamu, aku harus ceritain semua, biar kamu tau seperti apa aku yang dulu. Yang jelas, aku udah punya niat buat berubah, ninggalin itu semua. Tapi apapun jawaban kamu, aku siap mendengarnya. Apapun.”
“Boleh nggak kalau aku nggak jawab sekarang? Boleh nggak kalau aku mau mikirin ini dulu?”
“Boleh Nin, silahkan. Dan memang sebaiknya kamu pikirin ini. Kalaupun ada yang pengen kamu tanyain lagi, aku siap buat jawab, apapun pertanyaanmu, kapanpun kamu mau tanya.”
“Ya udah, aku pulang dulu. Dan, jangan hubungi aku dulu sebelum aku hubungi kamu ya mas?”
“Iya, aku ngerti kok. Aku nggak akan ganggu kamu dulu. Kalau kamu udah bener-bener ada jawaban, langsung bilang ya.”
Anin mengangguk, lalu tanpa mengucap salam langsung beranjak ke luar rumah. Faris mengikutinya, mengantarnya, terus melihatnya sampai mobilnya pergi menghilang dari pandangannya.
Faris merasa lega, tapi lebih pada perasaan takut. Takut kalau Anin tidak bisa menerima semua pengakuannya, dan memilih untuk pergi darinya. Dan kini dia hanya bisa berdoa, semoga diberikan jalan terbaik untuk hubungan mereka, dan dia berharap, Anin akan kembali menemuinya, dengan senyum tanda mau menerima segala kekurangannya.
^^^