2. Dijual ?

2033 Words
"Plak!" Tamparan itu berbunyi sangat nyaring hingga wajah manis gadis itu mental dan mengeluarkan darah di sudut bibirnya dan masih belum cukup atas siksaan yang diberikan, tangan besar pria paruh baya itu mencengkeram wajah gadis lemah dihadapannya untuk mendongakkan menatap mata hitamnya. "Kau hanyalah anak pungut pembawa sial yang untungnya kami besarkan dengan baik." wajah pria itu mendekat, "Kau harusnya sangat berterima kasih kepada kami karena kami telah bersedia merawatmu selama ini." "Tentu saja Luna sangat terima kasih tapi rasa terima kasih Luna hanya pantas Luna berikan pada Ibu Arumi bukan pada anda!" manic kelam itu menatap wajah Rahardjo dengan tatapan tak takut. "Kalau kau mau berterima kasih pada Arumi, harusnya kau ikuti kata-kata saya! Kau mau Arumi cepat sembuh, bukan?" "Dengan jual diri?" Luna tergelak atas ucapan pria yang merupakan suami dari ibu angkatnya itu, "Luna bilang Luna tidak akan pernah mau melakukan itu! Luna akan melakukan apapun, bekerja dengan cara apapun untuk mendapatkan uang selain jual diri." "Lalu, kau bisa dapatkan uang dalam jumlah banyak dalam waktu singkat dengan cara apa, hah?!" sentak pria itu keras, "Mau kerja sampai tulangmu patah sekalipun, kau tidak akan dapatkan uang sebanyak itu! Kau masih ingin menyelamatkan wanita lumpuh itu, kan?" Rahardjo membawa wajah Luna untuk menatap sosok paruh baya yang duduk di atas kursi roda. Duduk dengan pandangan kosong dan tubuh lumpuh tak bisa bergerak, seolah penderitaan yang dialaminya kurang sang Maha Kuasa memberikan cobaan lagi pada wanita paruh baya itu dengan penyakit Tumor otak, penyakit yang baru terdeteksi beberapa bulan terakhir. Jika ditanya ingin menyelamatkan Arumi atau tidak tentu saja Luna akan melakukan apapun untuk menyelamatkan wanita itu bahkan Luna rela menyerahkan nyawanya sendiri tapi tidak dengan jual diri. "Perlu kau tahu bahwa Tuan yang akan membelimu bersedia mengeluarkan uang dua ratus juta. Bisakah kau bayangkan berapa banyak uang itu, hah?" senyum Rahardjo terbit saat membayangkan berapa banyak uang yang akan diterima, "Harusnya Kau bersyukur masih ada yang mau menghargaimu dengan nominal sebesar itu." "Dan uang hasil menjualku tentu bukan untuk mengobati Ibu. Anda pasti akan menggunakan uang itu untuk berjudi seperti yang sudah-sudah!" "Argh!" teriakan kesakitan kembali mengalun di bibir kecilnya saat jemari Rahardjo mencengkramnya semakin keras, "Sakit...!" air mata Luna mengalir menahan rasa sakit akibat cengkraman Rahardjo yang meremukkan tulang pipinya, Luna tidak bisa melawan karena kini tangan dan kakinya dalam posisi terikat. "Mulutmu semakin kurang ajar! Andai mereka tidak memintamu dalam kondisi baik pastinya sudah kubuat dirimu cacat seumur hidup, anak sialan!" geram Rahardjo sebelum pria itu menutup mulut Luna dengan lakban yang membuat pekikan gadis itu teredam. Air mata yang mengalir dari ceruk telaga gadis itu adalah satu-satunya bukti perlawanan terakhir yang mampu dia lakukan sebelum akhirnya tubuhnya dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa ke Maximilian, tempat dimana dia akan di jual. Pelataran parkir Maximilian cukup penuh dengan deretan mobil mewah yang berbaris rapi dan sosok Rahardjo yang baru pertama kali memasuki area Maximilian tentunya tersenyum senang karena pembeli yang akan melakukan transaksi dengannya pastinya punya uang yang banyak. "Mungkin aku bisa menaikkan harga jual Luna jika mereka melihat seperti apa gadis yang kubawa ini." senyumnya serakah sebelum akhirnya mobil pickup yang merupakan mobil paling buruk yang masuk ke area Maximilian. Rahardjo di sampingnya dan mengangkat tubuh Luna di pundaknya yang membuat kepala gadis itu semakin pusing karena kepalanya terjungkir ke bawah. Rahardjo melewati security dengan mudah karena sudah dikoordinasi hal ini dengan pihak Maximilian dan bahkan dia diarahkan untuk masuk ke ruang VIP di lantai 2 dimana sang mucikari sudah menunggu kedatangannya. "Apakah ini gadis yang kau janjikan?" wanita ber-make up tebal dengan lipstik warna merah menyala itu memegang dagu Luna nama gadis itu mendongak, mengamati paras cantik si gadis yang memiliki kulit seputih pualam, alis lebat dihiasi bulu mata yang lentik berpadu dengan manic kelam yang sanga jernih serta hidung kecil yang sangat pas diwajahnya, "Cantik juga ternyata, sesuai dengan permintaan client VIP kami." Dan tangan berlapis merah itu membuka lakban di mulut Luna dengan sangat hati-hati, dia ingin melihat kecantikan gadis didepannya itu secara utuh. Namun setelah melihat apa yang terjadi pada bibir gadis didepannya, sang mucikari langsung menolehkan kepalanya pada Rahardjo sembari menatap pria itu marah. "Bagaimana mungkin kau melukai orang yang akan kau jual, hah? Bukankah saya sudah bilang bahwa client VIP saya tidak mau ada cacat sedikitpun!" suara kekesalan itu menggelegar, manicnya menatap Rahardjo tajam penuh kemarahan yang ketara. "Maafkan saya, Nyonya. Saya terpaksa menamparnya karena dia terus melawan." Rahardjo menundukkan kepalanya, mengutuk perbuatan bodohnya yang bisa saja membuat harga jual Luna merosot. "CK! Kita harus melakukan sesuatu pada gadis ini sebelum VIP datang." Dan Mucikari itu mengamati penampilan gadis dengan pakaian lugunya itu. "Apakah pakaian yang saya pesan sudah diantarkan oleh desainer?" "Sudah, Nyonya." "Kalau begitu, saatnya gadis yang lugu ini untuk diubah menjadi seorang gadis yang seksi dan menggiurkan." senyum cantik itu terbit namun senyum yang terbit dari bibir wanita itu justru terlihat seperti senyum kematian bagi Luna. "Lepaskan semua pakaian yang dipakai gadis itu." sang mucikari mengambil langkah mundur, membiarkan pelayannya melucuti pakaian yang digunakan Luna. Namun sebelum Pelayan melakukan tugasnya, sang Mucikari menolehkan kepalanya kearah Rahardjo, "Apakah kau akan tetap di sini dan melihat gadis ini ganti baju?" "Tidak. Saya akan tunggu di luar." senyum Rahardjo malu, pria itu langsung membuka pintu dan keluar. "Ubah dia secantik dan seseksi mungkin." perintahnya tegas sembari menunjuk tubuh Luna dari atas ke bawah. "Baik, Nyonya." anggukan itu pelan dan sang Mucikari duduk di sofa yang berada di ruangan itu, mengambil rokok dan menyalakan pematiknya. Menghisap kuat rokok yang ada di jemarinya sembari mengawasi kinerja sang pelayan. Sedangkan Luna, gadis itu menatap sekitar dengan hati-hati sembari berpikir keras bagaimana caranya dia bisa kabur dari tempat ini dengan selamat. Tubuh Luna sudah ditelanjangi dan kini dia diminta memakai bathrobe untuk menutupi tubuhnya. sebelum akhirnya didudukkan di depan meja rias. "Wajah anda sudah sangat cantik. Kita hanya perlu mempertegas tulang pipi anda dan menutup bekas luka disudut bibir anda." ucap wanita yang menangani Luna. Wajah Luna dipoles sedemikian rupa dan sang pelayan meminta Luna mengikutinya untuk ganti baju, "Anda akan sangat cantik memakai gaun ini. Saya yakin, orang yang akan membeli anda tidak akan menyesal." kata-kata itu diucapkan tanpa beban seolah Luna adalah barang bukannya manusia yang punya perasaan. Gaun malam dengan potongan Sabrina yang menampilkan bahu mulus serta leher jenjang serta belahan sepanjangan paha telah berhasil dipakai oleh gadis itu. 'Aku harus keluar, bagaimanapun caranya!' Aluna mengamati ruang ganti dan mendapati banyak hanger kayu. 'Apakah aku bisa melukai banci ini dengan hanger kayu itu?' Luna melirik kearah pelayan yang tak jelas kelaminnya itu namun Luna tidak yakin dia bisa melawan pelayan itu karena pada dasarnya dia adalah laki-laki. 'Semoga bisa.' "Srek!" resleting gaun telah naik keatas, menandakan Luna telah berpakaian dengan sempurna. Luna membalikkan tubuhnya, mendorong banci itu sekuat tenaga hingga jatuh ke lantai dan mengambil hanger kayu dalam takupan jemarinya. Luna tidak menghitung berapa hanger yang bisa dia ambil yang jelas hanger yang ada ditangannya cukup tebal hingga bisa menghajar banci itu sampai suara teriakannya yang melengking keluar dari area ruang ganti. "Brak!" Pintu ruang ganti dibuka kasar dan sang mucikari masuk, wajahnya panik saat mendapati pelayan yang bertugas mendandani Luna tergolek pingsan dengan luka diwajahnya. "Kurang ajar! Kau pikir kau bisa lari dari sini, hah?!" sentak Mucikari itu murka, wanita itu langsung menerjang Luna dan Luna menangkap terjangan wanita itu dengan ayunan hanger yang ada ditangannya. "Brak!" Tubuh sang mucikari langsung jatuh dengan luka cukup serius di bagian wajah akibat kerasnya pukulan yang dilakukan oleh gadis itu. Luna memastikan tubuh keduanya sudah tak sadarkan diri sebelum akhirnya menarik gaun yang dipakai sang mucikari. Luna menukar baju mereka hingga Luna bisa keluar dari ruangan itu, Luna yakin dia bisa keluar karena postur tubuhnya dan sang mucikari sama namun yang menjadi kendala adalah wajahnya. Luna mencari sesuatu yang bisa menutupi wajahnya di ruang ganti itu namun sayangnya nihil. "Aku harus bagaimana lagi?" Lun mengobrak-abrik semuanya hingga sebuah kain hitam diantara tumpukan baju. 'Apakah ini akan berhasil?' Ragu itu ada tapi Luna nekat ini adalah usaha terakhirnya dan apapun yang terjadi Luna harus bisa pergi dari tempat ini. Gadis itu segera memakainya di kepala dan bergegas keluar dari ruangan itu. "Anda mau kemana, Nyonya?" langkah kakinya dihadang saat dia keluar dari pintu. Luna hanya diam, jantungnya berdegup kencang oleh rasa takut. Namun dia berusaha menguasai diri sebaik mungkin dan menyembunyikan tangannya yang bergetar ketakutan. "Nyonya?" Luna menolehkan kepalanya sembari menatap tajam dua orang penjaga itu. "Maaf, Nyonya." mereka berdua menundukkan kepalanya, "Silahkan." Luna menganggukkan kepala singkat dan langsung pergi dengan langkah percaya diri seperti langkah sang mucikari yang sempat dia amati tadi, beruntung tempat itu memiliki cahaya yang minim dan wajah Luna tidak terlalu terlihat. "b******k!" suara makian tiba-tiba mengalun dengan keras, "Dia bukan Nyonya!" pria yang sedari tadi mengamati gerak wanita yang keluar dari ruangan itu memakai kesal pasalnya tidak mengamati wajah wanita itu karena biasanya mereka lebih sering menundukkan wajah demi sopan santun pada Nyonya mereka. "Cek ke dalam, biar saya yang mengejar gadis itu!" dua orang itu berpencar. Pintu ruangan terbuka, sosok itu menjelajah ke seluruh ruangan dan mendapati sang Nyonya tergeletak pingsan bersama pelayanannya. "Nyonya pingsan dan target menghilang. Cari dan dapatkan dia!" pria itu menghubungi teman-temannya yang lain, meminta mereka mencari gadis yang kabur itu. Sementara itu pengawal yang lain mengejar Luna, menembus lautan manusia yang menari dibawah lantai dansa. "Minggir, b*****t!" pria mendorong orang-orang yang menghalangi langkahnya. Dia menatap sekitar dengan umpatan-umpatan keras karena minimnya cahaya dan banyaknya orang yang memakai gaun dengan model yang sama dengan gaun mini yang dipakai gadis itu. Tapi pengawal itu lebih gesit, dengan tinggi tubuhnya dia bisa menangkap sosok yang terlihat membelah lautan pengunjung sembari menatap sekitarnya seolah bingung mencari pintu keluar. "Tutup akses pintu keluar, sekarang!" pria itu menghubungi pihak security, sambungan terputus dan dia kembali mengejar gadis itu. Pengawal itu yakin dia bisa mengejar buruannya dan memberikannya pada sang Nyonya. Dan buruan itu kini ada didepan matanya, sang pengawal langsung menangkap tangan gadis itu, menyeretnya tanpa ampun tanpa peduli kini mereka menjadi perhatian seluruh pengunjung club' itu. "Kubilang diam atau saya membuat kedua tangan dan kakimu lumpuh!" ancaman itu begitu keras hingga membuat Luna langsung terdiam ketakutan. 'Tidak! Aku tidak mau hidupku berakhir seperti ini!' Luna menatap tangan yang mencengkram lengannya dan gadis itu langsung menggunakan taringnya untuk menggigit pria itu, membuat pria itu berteriak marah dan menolehkan kepalanya kearah Luna. Tangannya yang lain secara spontan memukul wajah Luna dan Luna membalasnya dengan mengulurkan jarinya dan mencolok mata pria itu. "Arghhhh!" teriakan itu mengalun keras, tangan yang semula memegangi lengan Luna terlepas dan Luna memanfaatkan hal itu untuk kabur. "ACH!" tubuh Luna tanpa sengaja menabrak sosok yang berada di depannya hingga membuat tubuhnya terpental, beruntung sosok itu dengan spontan mengulurkan tangannya dan menahan tubuh Luna. "Maaf saya tidak sengaja. Apakah anda baik-baik saja?" manik kelam itu memindai tubuh gadis yang ada didepannya. "Saya tidak apa-apa. Terima kasih." Luna melepaskan cengkraman tangan pria itu di lengannya dan langsung keluar dari area Maximilian. "Sangat cantik dan menarik tapi sayang sepertinya dia buru-buru. Mungkin lain kali, saya bisa mengajaknya sedikit bermain-main." ucap pria itu pelan sembari melanjutkan langkah kakinya untuk masuk ke dalam Maximilian. Sementara itu, Luna sudah di luar, 'Aku harus sembunyi di mana?' gadis itu menolehkan kepalanya ke sekitar, mengamati area parkir yang penuh dengan panik karena tidak menutup kemungkinan pria berbadan besar itu memanggil teman-temannya untuk menangkap Luna. "Berpencar! Cari gadis itu sampai ketemu!" suara itu mengalun dengan keras dan Luna tahu hidupnya akan tamat jika tertangkap. Luna berjongkok samping sebuah mobil, mendekap mulutnya sendiri dengan jarinya yang bergetar untuk mencegah isak tangisnya yang berebut ingin keluar. "Bruk!" Suara pintu mobil ditutup itu membuat Luna secara spontan berjinggat kaget. Jantungnya hampir lepas dari tubuhnya karena dia sempat berpikir bahwa pengemudi mobil itu juga akan menangkapnya. "Saya sudah tidak sabar untuk melihat seperti apa rupa mainan yang mereka dapatkan untuk saya!" suara berat itu menghilang dan Luna mengintip sekitar. "Cari dia! Saya yakin dia masih ada disini!" Luna memejamkan manicnya erat sembari mencengkram gaun mini yang dia pakai, 'Aku harus sembunyi!' secara perlahan dia keluar dari persembunyiannya dan menghampiri mobil yang baru berhenti itu. Klik! Mobil itu tidak dikunci dan bagasi mobil itu terbuka tanpa pikir panjang Luna langsung masuk kedalam sedan mewah itu sembari berdoa ditengah suara keras orang-orang yang mencarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD