2. Muhammad Faris Al-Ghifari

1598 Words
Adzan maghrib yang di kumandangkan oleh seorang laki-laki yang memiliki suara merdu, membuat semua santri-santri terpukau dan terkagum-kagum oleh suaranya. Apalagi wajah dan kepintarannya yang menonjol membuat semua santri perempuan bermimpi suatu saat nanti akan menjadi istri dari laki-laki yang kini tengah mengimami shalat maghrib. Setelah shalat maghrib dilaksanakan begitu pula pembacaan doa yang begitu fasih dilantunkan, laki-laki itu keluar dari masjid pesantren, kerap kali banyak yang menyapanya dan kebanyakan dari para santri perempuan. Ia hanya membalasnya dengan senyuman tipisnya saja, seperti biasanya. Wajar saja jika banyak yang menyapanya karena ia merupakan seorang gus atau anak Kyai mereka yaitu K.H. Malik Al Ghifari, pendiri pondok pesantren Al-Awaliyah ini. Ia merupakan putra bungsu dari empat bersaudara, dan ketiga Kakaknya telah berkeluarga dan menetap disuatu kota. Tinggallah dirinya yang masih melajang dan berada disini untuk dapat menggantikan sang Abi yang sering sakit-sakitan karena faktor usianya yang tak lagi muda, sering sekali Abi dan Uminya menyinggung dirinya dengan pertanyaan 'kapan menikah?' Namun ia hanya menjawab seadanya saja, 'belum saatnya'. Ia tak terlalu memusingkan perihal jodoh, karena ia yakin Allah telah mempersiapkan seorang perempuan yang kelak akan menjadi istrinya, pelengkap agamanya. Usianya saja masih dua puluh lima tahun, dan usia itu masih tergolong muda bagi kaum laki-laki. Dia adalah Muhammad Faris Al Ghifari, seorang laki-laki tampan yang memiliki kecerdasan ilmu agama diatas rata-rata. Ia merupakan lulusan terbaik dari fakultas Bahasa dan Sastra Arab di salah satu Universitas terbaik tepatnya berada di Kairo, dengan prsedikat lulusan terbaik dari S1 hingga S2 nya di Universitas yang sama. Banyak sekali Universitas yang menawarkan dirinya agar menjadi seorang dosen, tetapi dirinya menolak tawaran itu. Bukan karena ia tak mau, menjadi dosen adalah keinginannya. Namun karena ada beberapa hal yang membuat ia tidak dapat mencapai keinginannya, salah satunya karena ia harus mengurus pondok pesantren yang Abinya dirikan. Abinya yang tak lain adalah Kyai Malik, menginginkan dirinya agar meneruskan pesantren ini karena ia sepertinya sudah tak mampu lagi. Kesehatannya semakin hari semakin menurun, dan hal itulah yang membuatnya tak kuasa menolak keinginan Abi-nya. "Assalamualaikum Gus Faris." Sapa seorang santri perempuan. "Waalaikumsalam." Seperti biasanya, Gus Faris menjawab dengan wajah datarnya ketika santri perempuan yang menyapanya, berbeda dengan santri laki-laki yang menyapanya. Ia akan sedikit memberikan senyumnya, hanya sedikit dan itupun senyum tipis. Gus Faris memang terkenal dengan wajah datar seperti tripleknya dan nada dinginnya yang khas, membuat para santri perempuan terkadang segan dengan dirinya. Ia akan menjadi hangat apabila berbicara dengan keluarga dan orang terdekatnya, jika kalian berpikir bahwa sikap dingin dan wajah datarnya dikarenakan suatu hal yang terjadi dimasa lalu. Maka buanglah pemikiran kalian, karena ia pun tak memiliki masa lalu yang kelam. Masa lalunya netral-netral saja, jangankan masa lalu kelam, semasa hidupnya yaiti selama dua puluh lima tahun saja ia sama sekali belum mengenal yang namanya jatuh cinta. Jangan berpikir bahwa ia bukan lelaki normal yang menyukai sesama jenis, ia pernah menyukai perempuan hanya suka. Sebatas cinta monyet yang mudah hilang, itupun hanya ketika dia masih SMA. Namun ketika ia memasuki perguruan tinggi, ia tak lagi mengenal rasa suka ataupun cinta karena ia terlalu fokus belajar demi bisa meraih gelar dalam jangka waktu yang cepat. Ternyata usaha tak menghianati hasil, terbukti ia lulus S1 dengan predikat terbaik hanya dalam waktu tiga tahun. Dan ia menyelesaikan S2 nya dalam jangka waktu satu setengah tahun, mengagumkan bukan? Seorang santri laki-laki menghampiri Gus Faris dengan nafas terengah-engahnya, membuat Gus Faris mengernyitkan dahinya. "Assamualaikum Gus." "Waalaikumsalam, ada apa?" Tanyanya to the point. "Gawat Gus, si Akbar yang biasanya mengajari santri perempuan mengaji tiba-tiba tidak bisa hadir." "Alasannya?" "Dia izin pulang Gus, Ibunya sakit." Gus Faris mengangguk paham. "Baiklah saya yang akan menggantikannya." Laki-laki yang bernama Fahmi itu mengangguk. "Baiklah kalau begitu saya permisi Gus, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Tanpa membuang banyak waktu Gus Faris memasuki aula khusus santri perempuan mengaji, sesampainya ia disana suara riuh menyapa pendengarannya. Para santri berbisik-bisik mengagumi ketampanannya, ia hanya menggeleng pelan. Sebenarnya mereka niat berbisik atau berteriak, suaranya saja mengalahkan toa masjid. "Tumben nih, Gus Faris yang ngajarin kita ngaji." Celetuk salah satu santri perempuan, Gus Garis tak menghiraukan celetukam itu. Ia terus berjalan hingga tepat didepan, santri perempuan yang merasa celetukannya tak dibalas mendengus sebal. Ganteng-ganteng tapi dingin, pikirnya. "Baiklah saya awali terlebih dahulu, Assalamualikum warogmatullahi wabarokatuh." "Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." "Karena hari ini Ustadz Akbar izin, saya yang akan menggantikannya mengajari kalian." Para santri perempuan memekik senang mendengar penuturan Gus Faris. "Sering-sering juga gak apa-apa Gus." "Iya Gus, Gus Faris aja yang ngajarin kita ngaji selamanya." "Iya Gus." Gus Faris hanya menggeleng mendengar semua ucapan dari santri-santri yang akan ia ajari ini, tak menunggu waktu lama ia memanggil satu persatu santri untuk mengaji menghadap kearahnya. Para santri bersemangat menunggu gilirannya dipanggil, sesekali santri yang tergolong genit mengedipkan kedua matanya kearah Gus Faris, membuat laki-laki itu hanya bisa mengelus dadanya sabar akan kelakuan santri yang bukan selayaknya santri ini. Akhirnya setelah harus selalu bersabar, semua para santri telah menghadap kearahnya. Ia dapat bernafas lega, jujur saja kalau bukan karena Akbar tidak masuk. Ia tidak ingin lagi mengajari santri perempuan, karena itu sangatlah membuatnya risih dengan tatapan santri-santri yang penuh dengan kekaguman. Ia lebih merasa nyaman jika para santri laki-laki yang ia ajari. Gus Faris pun, pulang kerumah ndalem. Sebutan bagi rumah yang dihuni oleh pemilik pondok pesantren. Disana ia melihat Abinya tengah membaca kitab kuning di sofa ruang tengah dengan Uminya yang sedang mengajari Rahmi-anak dari Fahmi, Kakaknya yang sedang pulang dan akan menginap. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." "Gimana ngajarin santri perempuan mgajinya, lancar?" "Alhamdulillah, lancar Umi." "Ya sudah kalau begitu, kamu ke kamar terus mandi. Setelahnya kita akan makan malam bersama, juga ada yang mau Umi bicarakan." Faris mengangguk, ia langsung memasuki kamarnya. Setelah membersihkan diri, ia menuju ruang makan yang terletak tak jauh dari kamarnya. Disana telah ada Abi, Umi, Rahmi, Fahmi dan Inayah-istri dari Fahmi. Ia pun langsung menyusul, mendudukan dirinya disamping Rahmi. Mata bulat nan besar milik Rahmi menatap Gus Faris dengan tatapan berbinarnya, tangannya menengadah. "Om Falis, gendong." Suara yang masih cadel membuat Faris tersenyum, ia langsung membawa Rahmi ke pangkuannya. Dielusnya kepala Rahmi dengan sayang, semua yang melihatny pun tersenyum. "Kamu udah cocok tuh jadi Abi, kenapa masih belum mau nikah?" Gus Faris menghela nafasnya mendengar lagi dan lagi pertanyaan dari Umi, itupun pertanyaan yang sama. Ia sudah lelah menjawab dengan jawaban yang sama, ia pun tak punya pilihan lain dan menjawabnya dengan jawaban yang sama setiap kali Uminya bertanya. "Belum ketemu jodohnya Umi." "Kamu ini, kalau belum ketemu ya dicari. Jodoh memang dari Allah tapi bila kita tak berusaha, Allah tidak akan mendatangkan jodoh dari langit." "Iya Umi, Insyaallah nanti Faris cari." Lebih baik ia mengalah. "Jangan cuma ngomong, buktikan. Santri-santri perempuan disini banyak loh, tinggal kamu pilih salah satu untuk dijadikan istri. Ia tidak mungkin menolak bila kau meminangnya." "Umi, tidak semudah itu bila hanya berbicara. Disini memang banyak santri perempuan yang bisa saja Faris pinang, namun masalah hati Faris tidak mau memaksakannya." Gus Faris berbicara selembut mungkin agar tak menyakiti Uminya. "Cinta datang karena terbiasa, buktinya Abi dan Umi yang menikah karena dijodohkan. Sekarang masih bersama-sama walau usia telah memakan kami berdua." Lagi-lagi Gus Faris hanya bisa menghela nafas, ia bingung harus dengan apa ia menolak permintaan Uminya. "Sudah-sudah, ini meja makan bukan meja untuk sesi debat. Faris, jangan terlalu pikirkan perkataan Umimu. Dan Umi biarkan saja Faris masih sendiri, sebentar lagi pasti dia akan menikah." Gus Faris menatap Abinya yang berkata yakin sekali bahwa sebentar lagi ia akan menikah, mengapa Abinya bisa seyakin itu? Umi pun menganggukan kepalanya, mereka makan dalam diam. Gus Faris melahap makanannya sesekali menyuapi Rahmi yang berada di pangkuannya, Inayah yang melihat Faris sepertinya kesusahan pun hendak meraih Rahmi namun sepertinya Rahmi enggan turun dari pangkuannya. "Gak apa-apa Mbak, biar Rahmi Faris yang suapi." "Beneran gak apa-apa?" "Gak apa-apa sayang, itung-itung Si Faris lagi belajar menjadi seorang Abi. Nanti kalau sudah menikah dan punya anak dia gak akan lagi kaget." Gus Fahmi tertawa dengan ucapannya sendiri, membuat Gus Faris menatap kakaknya dengan kesal. Setelah makan malam, semua belum beranjak dari ruang makan karena Abi dan Uminya akan membicarakan sesuatu. "Jadi begini." Kyai Malik membuka suara. "Sebentar lagi, cucu dari sahabat Abi akan datang kesini. Ia akan mondok di pesantren ini, jadi Ayah meminta kamu Faris membimbing Nak Nissa dan Fai sesuai dengan permintaan sahabat Abi." Gus Faris menatap Abi dan Uminya. "Kenapa harus Faris, Bi? Kan banyak pengurus pondok lainnya yang perempuan." "Karena mereka telah menitipkan Nissa dan Fai kepada kita, jadi mau tidak mau kamu Abi pindahkan tugas dari mengajari santri putra mengaji menjadi mengajari santri putri." Gus Faris mengangguk pasrah saja, ia tidak mungkin menolak permintaan Abinya. "Baik Abi." "Bimbing mereka menjadi santri putri yang berakhlak, teladan dan pastinya memiliki ilmu agama yang baik." Gus Faris mengangguk. "Nah, kamu bisa pilih salah satu untuk kamu jadikan istri. Siapa tau salah sati diantara mereka cocok untukmu." Astaga itu lagi yang dibahas. "Umi, mereka itu cucu sahabat Abi, berarti umurnya pasti jauh sekali dari Faris." "Kata siapa?, mereka berdua itu udah lulus SMA. Kira-kira usianya 17-18 tahunan lah." "Tetap aja Umi, mereka masih remaja." Umi akan membuka suara namun Gus Faris lebih sigap. "Ya sudah kalau begitu, Faris mau siap-siap dulu mengimami shalat Isya. Assalamualikum." "Waalaikumsalam." Lebih baik ia kabur sebelum mendengar apa yang akan Uminya bicarakan kan? Karena jujur perasaannya menjadi tidak enak. Mungkin hanya perasaannya saja Lanjut?...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD