3. Pesantren

1621 Words
'Kecantikan seorang perempuan akan terlihat lebih bercahaya bila menutupi auratnya dan bukannya malah mengumbarkannya.' * * * Mentari pagi menyapa langit yang mulai cerah, seorang perempuan masih bergelung dengan nyamannya diselimut tebal bergambar kartun doraemon-kartun kesukaannya. Seorang perempuan yang hampir memasuki usia empat puluh tahunan beberapa tahun lagi menggelengkan kepalanya melihat anak gadisnya, di jam segini masih bergelung dengan nyamannya. Ia menghampiri tempat tidur itu lalu menarik selimut yang menutupi tubuh anaknya, namun sepertinya sang anak tak terganggu dengan hal itu. "ICA BANGUNNN, INI UDAH JAM BERAPA? YA ALLAH ICAAA ...." Teriakan membahana dari sang ratu rumah berhasil membangunkan putri tidur yang kelewat kebo itu, dengan menggaruk kepala yang rambutnya berantakan ia menatap Bundanya kesal. "Ya ampun Bun, apaan sih pagi-pagi udah teriak-teriak? Gangguin Ica tidur aja." Kesalnya. "Kamu lupa hari ini, kamu berangkat ke pesantren. Lagian pagi kamu bilang? Ini udah jam 9, dan kamu belum shalat subuh pasti. Astahfirullah, dosa apa Bunda dahulu sehingga punya anak kayak kamu." Asa mengelus dadanya, tak kuasa melihat anaknya yang kelewat keterlaluan ini. "Santai aja kali Bun." "Santai kamu bilang? Bunda kayaknya udah gagal ngedidik kamu. Sampai-sampai kamu tidak melaksanakan shalat, perasaan dari dulu udah Bunda ajarin supaya shalat. Tapi kamu masih ngeyel aja, tau ah Bunda pusing ngadepin kamu. Syukur kalau kamu hari ini ke pesantren, Bunda rasanya bahagia." Ica berdecak kesal mendengar perkataan Asa. "Ya ampun Bun, Ica emang lagi gak shalat ya. Senakal-nakalnya Ica, Ica gak pernah ninggalin yang namanya shalat. Ica tau kalau itu dosa, Bundanya aja yang berlebihan." "Syukur alhamdulillah kalau begitu, tapi itu tidak akan membatalkan niat Bunda untuk membawa kamu ke pesantren hari ini. Sana siap-siap sebentar lagi Fai datang sama orangtuanya." "Ya elah Bun, kirain batal ngajakin Ica-nya." "Udah jangan banyak ngomong, sana siap-siap." Dengan kesal Ica memasuki kamar mandi seraya menghentakkan kedua kakinya. Ica telah siap dengan pakaiannya yang seperti biasa, celana levis ketat dan kaos panjang. Rambutnya ia kucir satu, dipunggungnya telah tersampir tas ransel miliknya. Asa yang melihat penampilan putri satu-satunya itu berdecak sedangkan Aby dan Eza melongo melihat penampilan Ica, itu orang mau berangkat ke pesantren atau mau berkemah? "Ya Allah Ica, ganti sana baju kamu!" titah Asa. "Emangnya kenapa Bun-...." Belum sempat Ica menyelesaikan perkataannya suara salam mengintrupsi mereka. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Fai yang melihat penampilan Ica dari atas sampai bawah menahan tawanya sekuat tenaga, namun karena tak tahan tawanya meledak seketika. "Ha..ha..ha.. aduh sakit perut Fai, eh Ica lo mau pergi ke pesantren apa mau piknik? Keren amat gaya pakaian lo." Fai kembali tertawa sedangkan Ica mendelik menatap kearah Fai. "Biarin daripada lo, kayak mau ikut Ibu-ibu pengajian aja. Pakai gamis segala, mana pakai hijab lagi. Tobat lo? mendingan gue lah." Eza yang berada disamping Ica menepuk bahu saudara kembarnya itu sambil tertawa. "Ya ampun kak Ica, mendingan pakaian yang dipakai kak Fai daripada pakaian lo yang memamerkan lekuk tubuh. Dimana-mana itu kalau mau ke pesantren, tempat islami ya pakai gamis lah. Gak kayak lo pakai-pakaian pencari jejak." Eza mengejek Ica membuat Ica menatap adiknya sebal. "Sudah-sudah, Ica ganti pakaian kamu sana. Jangan lupa pakai hijab." "Tapi Bunda, Ica gak punya gamis sama hijab." Asa menepuk dahinya pelan, ia melupakan fakta bahwa Ica memang sangat tidak menyukai gamis. Kerap kali ia menawarkan beberapa gamis yang menurutnya sangan pantas bila dipakai Ica namun putrinya itu selalu menolak dengan alasan, gak mau ah Bun nanti Ica kayak Ibu-ibu. Selalu itu yang menjadi alasan, Asa pun tak dapat memaksakan kehendaknya terhadap putrinya walaupun jauh sebenarnya jauh didalam lubuk hatinya ia sangat ingin melihat putrinya itu mengenakan gamis dan hijab. "Ya sudah, ayo ikut Bunda." Asa menarik tangan Ica agar mengikutinya menuju kamarnya, ia akan memilihkan gamis yang pantas untuk Ica kenakan beserta hijabnya. Asa dan Ica keluar dari kamar Asa, semua menatap Ica tanpa berkedip. Eza melihat saudaranya yang kelihatan lebih cantik berkali lipat setelah mengenakan pakaian yang menutup aurat dengan tampang melongo, ia berdecak kagum seraya menggelengkan kepalanya. "Kak seriusan, lo cantik banget pakai baju sama hijab itu." Ica mendengus mendengar perkataan saudaranya itu, ia mengira bahwa ucapan Eza hanya mengejeknya saja. "Udah lo gak usah ngejek gue." "Ye siapa yang ngejek, tanya aja sama Kak Fai kalo gak percaya." Ica menatap Fai seakan bertanya, Fai hanya mengangguk. Ia masih terpana dengan Ica yang memakai gamis beserta hijab, ia kira jika memakai gamis dan hijab akan terlihat seperti Ibu-ibu pengajian. Namun nyatanya kecantikan seorang perempuan akan semakin terlihat bila menutup aurat dan bukannya mempertontonkan aurat, Ica mendengus sebal. "Apaan dah kalian ngelihatin Ica kayak gitu? Ica risih tau, kalau mau ngejek Ica jangan kelihatan banget ngejeknya," kesalnya. "Siapa yang ngejek putri Ayah sih? Kami semua disini kagum sama penampilan baru kamu. Coba aja dari dulu kalau kamu disuruh pakai hijab sama Bunda kamu mau, kami pasti akan semakin senang." "Ayah gak usah mulai deh ...." Aby baru saja ingin membuka suara, namun Asa langsung mengintrupsinya. "Udah-udah gak usah pada berdebat, lebih baik kita berangkat sekarang. Kasihan mereka pasti udah nunggu kedatangan kita." Mereka mengangguk lalu mulai memasuki mobil, sepanjang perjalanan Ica memberengutkan bibirnya sedangkan Eza yang berada disampingnya hanya tersenyum bahagia. Ia senang karena Ica sebentar lagi minggat dari rumah, wahai hidup aman dan damai sebentar lagi Eza akan datang. Memang dasar adik durhaka dia, tapi memang itulah kemauannya. Ia tidak akan lagi mendengar keberisikan dari mulut cerewet Ica, ia juga pasti merasa lega dan tidak perlu lagi menjadi tameng untuk Ica bila perempuan itu berdekatan dengan laki-laki yang menurutnya kurang ajar. Karena ia sangat menyayangi Kakak cerewetnya itu, ya walaupun mereka lebih sering ributnya ketimbang akur. Ica menyandarkan kepalanya dibahu Eza seraya memejamkan matanya. "Dek, lo kangen gak nanti kalau gue gak dirumah?" "Gak tuh, biasa aja." Ica menatap Eza dengan kesal, ia membenarkan duduknya agar tak lagi bersandar di bahunya. Eza yang melihat itu pun hanya tertawa. "Males ah gue sama lo." "Ya udah." "Ish." Akhirnya Ica berbalik memunggungi Eza, lebih baik ia menatap pemandangan dari kaca mobil daripada melihat wajah Eza yang menurutnya sangat menyebalkan. "Coba aja Fai yang duduk disini tadi, gak bakalan mati kebosenan gue. Lo mah gak asik, nyebelin mulu." Eza terkekeh pelan. "Ya udah sini tidur biar lo cepat matinya." Eza menarik kepala Ica agar bersandar dibahunya, Ica hanya berdecak kesal namun tak urung dia menikmati bersandar dibahu sang adik. "Pokoknya kalau gue pergi lo harus kangen sama gue." Paksa Ica. "Lah kok maksa?" "Ya terserah gue dong." "Terserah gue juga dong, mau kangen apa enggak." "Bodo." "Amat." "Ish ngeselin deh." "Ih nyebelin deh." "Bundaa... Eza nih Bun nyebelin." "Bunda... Kak iCa nih Bun ngeselin." "Apa lo? Ngikutin omongan gue terus." "Dih geer." "Eh sudah-sudah, Ica Eza kalian ini ya gak pernah akur sama sekali. Sebentar lagi kita sampai." Ica menatap Eza dengan aura permusuhan sedangkan Eza diam-diam memgulum senuumnya, ia mungkin mengatakan tak akan merindukan Ica namun jauh didalam lubuk hatinya ia pasti akan merindukan Ica. Merindukan traktirannya hehehe. Akhirnya mereka sampai di Pondok Pesantren Al-Awaliyah, dengan malas Ica turun dari mobil. Sedangkan Eza telah turun dari tadi, ia tengah menatap sekeliling bangunan pesantren yang berjejer. Ica menghampiri Fai dengan muka tertekuknya, ia berbisik pelan. "Gue gak mau disini." "Lo pikir gue mau?" tanya Fai kesal. "Terus gimana dong?" "Kok lo nanya gue? Lo juga kan yang ngebikin gue terjebak disini." Ica hanya mengerucutkan bibirnya kesal. Ica dan Fai terperangah ketika melihat seorang laki-laki tampan bersarung dan berpeci menghampiri mereka, ah tidak lebih tepatnya laki-laki itu menghampiri kedua orangtua mereka. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." "Sst siapa tuh, cakep bener?" bisik Ica ditelinga Fai. "Gue juga gak tau." "Apa kabarnya Mas Fahri dan Mas Aby?" Tanya laki-laki itu. "Alhamdulillah, baik. Gimana kabar Abi dan Umi?" "Umi Alhamdulillah sehat, namun Abi semakin lama kesehatannya semakian menurun." "Ya Allah lebih baik kita langsung saja ya menemui Abi dan Umi." Laki-laki itu mengangguk lalu berjalan diikuti mereka yang ada disini kecuali Ica dan Fai yang masih cengo. "Ica, Fai ayo." Tegur Asa. "Eh iya." Ica dan Fai mengikuti kedua orangtua mereka dari belakang. "Yang tadi cakep bener deh, tapi kelihatannya udah dewasa ya?" Fai mengangguk. Mereka sampai di ndalem, diruang tengah telah ada Kyai Malik beserta Nyai Ziah-istrinya. Tak lupa ada juga Rahmi yang sedang bermain dengan Inayah. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Aby, Asa, Fahri, Inayah dan Eza menyalami satu persatu sedangkan Ica dan Fai masih terdiam. Asa menatap mereka berdua, mengisyaratkan kepada mereka untuk bersalaman, mereka pun hanya mengikuti saja. "Jadi dua anak ini yang mau di titipin disini?" tanya Nyai Ziah. "Iya Umi, mohon bantuannya." Pinta Asa. "Insyaallah, lagipula nanti ada Faris yang akan membimbing mereka." "Terimakasih Umi." "Tidak usah berterima kasih, kalian sudah Umi anggap sebagai anak sendiri dan berarti mereka berdua juga cucu Umi. Tidal perlu sungkan." Mereka tersenyum dengan perlakuan Nyai Ziah. Ica dan Fai menatap laki-laki yang menurut mereka cakep dengan mata tak terkedip, mereka mendesah kecewa ketika melihat laki-laki itu menggendong Rahmi dengan telaten. "Yah udah punya anak istri." Bisik Fai ditelinga Ica, Ica hanya mengangguk lesu. "Abi gimana? Sudah ada perkembangan?" tanya Fahri kearah Kyai Malik. "Alhamdulillah sekarang lebih baik dari sebelumnya, lagipula sekarang ada Faris yang membantu Abi mengurus Pesantren." Kyai malik menjawab seraya tersenyum. "Sst Si Faris-Faris itu siapa sih?, dari tadi gue denger nama itu terus." Bisik Ica. "Iya gue juga penasaran, apa Faris itu yang lagi gendong anak itu ya?" "Iya sedari tadi gue gak ngelihat laki-laki lain lagi." Para orangtua mengobrol, sedangkan para anak-anak mereka tak mengetahui apa yang orangtua mereka obrolkan. "Gue pengen banget balik deh, bosen gue disini." "Gue juga." Ica dan Fai hanya bisa duduk pasrah menikmati kebosanan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD