Kasihku Kau Ambil
Menempatkan semuanya pada sebuah hal yang ada di dunia ini pada hati adalah bukan hal yang tepat. Agaknya memang yang berhubungan dengan dunia harus diletakkan di tangan saja. Agar kalau nanti tidak sesuai dengan jalan takdir, yang terluka adalah genggamannya saja, tidak dengan hati yang letaknya jauh di dalam.
Memang benar apa yang dikatakan orang. Terluka tangan tiga hari bisa sembuh. Sedang, terluka hati sampai mati pun kadang sulit untuk disembuhkan.
Semuanya ada konsekuensinya. Dan itulah tugas manusia, memilih meletakkan semuanya, terutama cinta di mana. Di kisi hati, atau di tangan kiri.
Wallahua’lam bisshawabb.
#
“Ciyee, yang mau nikah sama Kang Asyfi,” goda Alvi yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk atau salam sebelumnya.
Aku yang sedang memakai celak di bagian bawah mata terkaget. Apalagi candaannya itu sungguh, membuat hatiku berdebar tak terkira. Menjadi calon pengantin bagi perempuan mana pun yang belum pernah melakukan akad tentu sangat mendebarkan bukan.
“Ada apa Dek, Mbak lagi memasang celak ini. Kamu jangan ganggu ah, duduk dulu sana,” kataku sembari menyuruh Alvi duduk.
Sepupuku yang bernama Alvi Afkar Ifada itu pun langsung duduk di kursi yang biasanya kugunakan untuk merias diri di sebuah tolet.
Aku melanjutkan kegiatanku merias.
“Wah, ini make up baru ya Mbak. Kok Alvi belum pernah lihat? Dapat segini banyaknya dari mana?” tanya Alvi heboh.
Untungnya saat ini kedua celak yang aku sematkan di kedua kelopak mataku sudah selesai. Aku langsung menghampiri Alvi yang terkagum dengan apa yang ada di tolletku.
Sebuah perlengkapan make up yang beberapa waktu silam diberikan Ummah-calon Ibu mertuaku.
“Ohh itu, dapat dari Ummah,” jawabku dengan duduk di atas ranjang.
“Siapa Mbak? Ummah? Maksud Mbak Ummahnya Kang Asyfi?” tanya Alvi.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Banyak sekali Mbak? Mbak tahu nggak ini harganya berapa sepaket kayak gini?” tanya Alvi kembali. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala sebagai bentuk jawaban.
Aku memang tidak tau soal make up dan kawan-kawannya itu. Terbiasa dengan bilasan air wudlu, bagiku kecantikan yang ada di wajahku sudah lebih dari cukup.
“Ini itu ada lah sampai dua jutaan Mbak. Apalagi ini paket lengkap. Wah, kalau begini aku jadi ingin jadi Mbak Syafa,” kata Alvi sekali lagi.
Aku mendekatinya dan memegang kedua pundaknya.
“Kalau kamu mau, ambil saja Vi. Mbak juga paling nanti memakainya kadang-kadang saja,” kataku pelan.
“Beneran nih? Nanti marah lagi.”
“Tidak Vi. Ambil saja. Sejak kapan Mbak pernah marah sama kamu. Dari yang zaman mainan bongkar pasangnya Mbak kamu minta Mbak kasih, sampai sekarang pun kalau kamu minta celak Taremnya Mbak, minta ini, itu selalu Mbak kasih kan. Untuk apa Mbak marah. Toh yang ada di dalam dunia ini hanya fana,” kataku dengan lembut.
“Wahhh, terima kasih Mbak. Alvi kalau begitu akan sering-sering ke sini buat pinjam peralatan make up-nya Mbak Syafa kalau begitu,” kata Alvi sambil mengambil sebuah lipstick di sana.
“Sepertinya tidak pinjam deh Vi, tapi minta,” singgungku.
Alvi yang sudah memakai lipstik pun terkekeh melihatku.
“Hehehe iya Mbak,” katanya.
Aku tertawa setelahnya. Dan memeluk anak itu dengan pelukan kasih sayang.
Alvi pergi dengan membawa paket make up yang aku punya. Sudah biasa, memang hubungan dengan sepupu itu sama dengan hubungan seorang saudara.
Usia kami terpaut di angka lima tahun. Di usiaku yang saat ini menginjak dua puluh dua tahun, usianya baru menginjak tujuh belas tahun.
Meski demikian, untuk mengetahui yang berhubungan dengan orang dewasa, Alvi tidak akan kalah denganku. Untuk make up aku akui aku kalah dengannya. Untuk mengerti dunia luar, café nongkrong dan sebagainya dialah yang lebih tau.
Iya, aku anak rumahan. Untuk keluar rumah saja rasanya dalam hati sangat enggan.
Kehidupan dunia kaum muda di zaman sekarang sudah tidak bisa dikatakan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua adalah kerancuan. Yang satu kalau tidak keluar rumah akan dibilang ketinggalan zaman, tidak tau hal-hal yang ada di luar dan semacamnya. Di sisi lain, memang sunnah seorang wanita adalah di dalam rumah.
#
“Feh, saya kangen,” tulis seseorang di dalam pesan sebuah aplikasi berwarna hijau. Orang itu selalu memanggil saya dengan sebutan ‘Ifeh’ yang sebenarnya dari kata Syarifah.
Aku tidak lantas membalasnya. Kunetralkan dulu pipiku yang mengembang karena tersenyum. Tidak bisa mengingkari kalau aku saat ini sangat malu.
“Kok tidak dibalas?” tulis pria itu lagi.
Sebuah pesan dari seseorang yang akan kupanggil sebagai calon suami.
Akhirnya, dengan ketikan yang dua kata hapus, dua kata hapus. Aku mantap untuk mengetikkan kalimat untuknya.
“Rasa cinta hendaknya berdasar atas nama Allah Kang. Kamu rindu, saya rindu, seharusnya juga rindu kepada junjungan kita Nabiyullah,” balasku dengan tanpa emotikon sama sekali.
“Hehehe, iya Feh. Nanti malam kita bisa bertemu?” tanyanya.
Aku terkejut bukan main. Bukannya kami sudah sepakat agar tidak bertemu selagi kami belum sah.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Ada yang perlu Kang Asyfi bicarakan sama kamu.”
Aku menyetujuinya, dan Kang Asyfi langsung memberikan sebuah alamat yang nanti akan kami jadikan tempat ketemuan. Tak lupa aku meminta Alvi untuk menemaniku ke tempat yang akan kami jadikan sebagai tempat pertemuan. Belum dibalas memang oleh Alvi. Mungkin saja dia sedang sibuk merias diri dengan peralatan make up yang dibawanya dari sini tadi.
Meletakkan benda pipih berbentuk persegi panjang di atas nakas, jemariku tiba-tiba bergerak untuk mengambil sebuah tumpukan undangan di sana.
Sebuah undangan dengan desain kitab kuning. Desain terbaru yang dikeluarkan oleh percetakan undangan. Desain yang sangat epik dan indah yang karena memang ini adalah kali pertamanya—mungkin orang-orang di sekitar kami mendapati hal yang begini. Sudah barang tentu ini sangat spesial untukku.
Aku melihat undangan itu dengan saksama. Mengusapnya dan memeluknya salah satu di dalam dadaku.
Nyatanya memang ini adalah sebuah takdir termanis yang Allah berikan. Bersanding dengan seseorang yang kita cintai dalam sahnya ijab kabul adalah dambaan bagi semua manusia. Dicintai dan direstui oleh semua orang tua.
“Gubrakkk, pyarrrr…”
Suara barang-barang yang tergores dengan benda lain itu membuat aku terkaget. Suaranya dari rumah yang ada di sebelah kamarku. Aku langsung menaruh undangan yang ada di tanganku dengan asal.
Pintu kamar aku buka dengan cepat. Berlalu meninggalkan rumah dan langsung masuk ke dalam rumah Alvi. Mengucapkan salam tidak diperhatikan oleh paman dan bibi. Aku langsung memeluk Alvi yang sudah menjadi bulan-bulanan Abinya.
Kulihat dia menangis di pojokan sembari merangkul lututnya. Kulihat Paman dengan nafas yang naik turun ditenangkan oleh Bibi.
Kaca dari vas bunga berceceran. Sebuah bakiak yang aku ketahui itu milik Paman, berada tepat di depan kami.