2. Selingkuh

1173 Words
"Toloong! Toloong!" teriak Kamal saat mendapati Ica tergeletak pingsan di atas pangkuannya. Kamal tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana, sehingga ia terus saja berteriak minta tolong. Begitu banyak orang yang lalu-lalang, tetapi mereka hanya melihat saja tanpa mau menolongnya. "Pak, tolooong saudara saya, Pak," ujar Kamal ketakutan saat mendapati seorang lelaki setengah baya berseragam, yang menghentikan motornya di dekat Kamal berada saat ini. "Ini kenapa istrinya, Dek?" tanya pria itu dengan wajah khawatir. "Ini kakak saya ,Pak. Katanya sakit perut, tiba-tiba pingsan." Entah dari mana keberanian Kamal, tetapi telapak tangannya terus saja mengusap pipi Ica sedikit kasar, agar wanita itu segera sadar. "Ayo, kita bawa saja ke rumah sakit." Pria berseragam kepolisian itu memberhentikan sebuah mobil sedan yang tengah melintas. Ica dibawa ke rumah sakit bersama Kamal, sedangkan motor Ica, ia titipkan di sebuah warung makan. Entahlah, ia percaya saja, karena saat ini nyawa Ica dan bayinya lebih penting. Kamal terus komat-kamit berdoa agar Tuhan menjaga Ica dan juga bayinya. Sesampainya di ruang IGD rumah sakit, dokter yang tengah berjaga menanyakan kronologi kejadian yang dialami Ica. Kamal menceritakan, tetapi tidak semua. Tidak mungkin ia sampaikan bahwa Ica pingsan saat mendapati suaminya masuk ke dalam hotel bersama seorang wanita. "Mal," lirih Ica melihat Kamal yang berdiri mematung di dekatnya. Kamal menoleh, lalu memberikan senyum tipisnya pada Ica. "Gue di mana?" "Di rumah sakit." "Kenapa dibawa ke sini? Gue gak papa kok," suara Ica bergetar menahan tangis. "Heran sama wanita, selalu bilang baik-baik saja. Padahal mereka sedang tidak baik-baik saja. Dah, yang penting gue udah bawa ke tempat yang bener. Daripada gue tinggalin di jalan, hayoo?" ucapan Kamal begitu menyentil dirinya. Dia memang sedang tidak baik-baik saja. Malah bisa dikatakan, saat ini adalah masalah terburuk dalam hidupnya. Namun ini adalah bagian dari konsekuensi pilihan hidup yang ia putuskan sendiri. Apapun yang terjadi pada rumah tangganya, orang tua maupun kakak lelakinya tidak boleh tahu. Biarlah ia menjalani semua ini sendirian. Ia masih belajar berpikiran baik, bahwa Tuhan mungkin akan mengembalikan suaminya saat anak mereka lahir nanti. “Diinfus ya, Mbak,” kata perawat sambil menyiapkan peralatan untuk Ica, lalu memberikan Ica infusan penambah darah yang aman untuk wanita hamil. Tekanan darah Ica rendah juga badannya sedikit hangat, dan untuk memastikan kondisi bayi dalam kandungannya, brangkar Ica didorong masuk ke dalam ruang praktek Dokter Kandungan yang sedang ada jadwal hari ini. Kamal masih setia mengikuti ke mana iparnya dibawa oleh perawat Kamal membalikkan tubuh, saat perawat menaikkan baju kaus lebar yang dipakai Ica. Bukan mahram dan bisa berakibat fatal bagi dirinya nanti. Bisa-bisa dia terserang ayan kalau melihat perut iparnya yang tengah hamil besar. "Mas, sini lihat bayinya!" pinta dokter wanita itu pada Kamal yang masih membalikkan tubuh. "Gak boleh, Dok. Saya bukan suaminya. Saya adik iparnya," jawab Kamal masih dengan posisi tubuh memunggungi Ica yang tengah berbaring di brangkar. "Oh, maaf." Dokter kembali fokus memeriksa Ica dan Kamal masih dalam posisi yang sama. Begitu terdengar suara Ica yang sudah dirapikan pakaiannya, Kamal baru berbalik menoleh pada Ica yang raut wajahnya muram. "Kondisi kandungannya baik ya. Posisi bayi juga sudah ada di bawah, tapi yang saya heran, kenapa sudah ada pembukaan satu ya? Padahal Mbak baru masuk tujuh bulan dan ini kehamilan pertama. Jadi, saya sarankan, Mbak bedrest selama sepekan ya. Minggu depan kontrol lagi ke sini." "Baik, Dok," jawab Ica lemah. "Ajak suaminya kalau bisa," kata dokter lagi menambahkan. "I-iya." "Mas, saudaranya ini tidak boleh cape dan turun dari ranjang ya. Semua harus dilakukan di tempat tidur." "Hah? Pipis sama BAB juga di kasur, Dok?" tanya Kamal yang sedikit kebingungan. "Pipi bisa pakai pispot, kalau BAB sebaiknya digendong ke kamar mandi." "Siapa yang gendong?" tanya Kamal lagi dengan polosnya. "Ya, suaminya Mas. Masa suami tetangga." Dokter tergelak mendengar pertanyaan Kamal. Ica pun ikut mengulum senyum, lalu kembali diam dengan berjuta rasa sakit di hatinya. Kamal sudah mengantar kembali Ica sampai di rumah dengan naik taksi online, kemudian ia kembali ke warung-tempat ia menitipkan motor milik Ica. Bu Rani sempat kaget dengan keadaan Ica yang begitu lemah, bahkan harus digendong Kamal masuk ke dalam kamar. Bukannya tadi Ica pamit kuliah, kenapa sudah kembali? Walau Kamal tadi sempat mengatakan bahwa Ica pingsan sebelum sampai kampus, tetapi anaknya itu tidak bilang karena apa. Bu rani bergegas ke dapur. Ia membawakan bubur kacang hijau dan segelas teh hangat untuk untuk Ica. Wanita setengah baya itu duduk di samping Ica yang berbaring memunggunginya sambil menangis. "Neng, ada apa? Pulang-pulang kok sedih?" "Gak papa, Bu," jawab Ica sambil berbalik menatap Bu Rani yang mengulas senyum keibuan. Ah, sungguh ia merindukan sang mama. Ia tidak cukup berani bertandang ke rumah orang tuanya, karena memang pernikahannya ini ditentang. Ia juga sudah berjanji, tidak akan menceritakan apa pun kesulitan yang ia alami dalam berumah tangga bersama Alex, kepada orang tuanya. "Ya sudah kalau tidak mau cerita, tapi tadi kata Kamal, kamu pingsan di jalan, terus disuruh bedrest. Benar begitu?" Ica mengangguk, lalu meraih mangkuk bubur kacang hijau yang ada di tangan Bu Rani. "Ibu, terima kasih ya." "Ya sudah, Ibu kembali ke dapur ya." Lagi-lagi Ica tak bersuara, ia hanya mengangguk pelan. Ica memandang mangkuk bubur dengan mata berkabut. Makanan ini harus ia makan sampai habis. Kasihan bayinya jika sampai kekurangan gizi karena punya ibu yang selalu bersedih dan tak berselera makan di saat seperti ini. Suaminya selingkuh di saat dia hamil besar seperti ini. Ica tergelak dengan air mata yang masih terus merembes di pipinya. Sungguh malang nasibnya. Dia yang cantik, pintar, dan selalu dikejar –kejar pria, harus berakhir pada p****************g yang menyia-nyiakannya. "Bertahanlah, Sayang. Ada Bunda bersama kamu, ada nenek Rani, dan Om Kamal yang bersama kita," gumamnya sambil mengusap perutnya yang membuncit. Ia tidak boleh kalah. Pelakor jangan sampai menang. Mangkuk yang hampir kosong itu ia letakkan sebentar di atas meja kecil yang berada di samping ranjang besarnya. Kemudian, ia mengeluarkan ponsel yang ada di dalam tas. Ia geser layar ponsel, maksud hati ingin mengecek apakah ada pesan masuk dari suaminya. Namun sungguh sayang, tak ada pesan dari siapa pun. Padahal ia sudah mengirimkan pesan pada Alex bahwa ia pingsan dan sempat dibawa ke rumah sakit. Ica berinisiatif memencet nomor suaminya dengan d**a berdebar, karena panggilannya tersambung. Padahal sepekan ini, hanya operatorlah yang menjawab panggilannya. Beberapa kali mencoba tak juga diangkat, Ica tak putus semangat. Ia terus mencoba hingga mangkuk bubur yang tadi hangat, berubah menjadi dingin. Bahunya bergetar, isakannya semakin dalam, saat sang pemilik nomor tak juga menganggkat panggilannyannya. Ica mencoba untuk yang terakhir kali. [“Hallo, apa sih, orang lagi sibuk diteleponin?! Nanti saja! Ribet amat jadi istri!”] [“Mas, aku ….”] Tut! Tut! Mulutnya masih lagi terbuka hendak memanggil nama suaminya, tetapi sebuah kalimat bentakan yang ia dapat membuat nafasnya kini begitu sesak. Air mata yang tadi saja belum kering, kini sudah menganak sungai kembali. Suaminya benar-benar keterlaluan dan dia harus segera mengambil sikap. Ia memang terlihat nrimo tetapi jika suaminya sudah keterlaluan ia harus segera bertindak agar suaminya tidak kelewat batas. Dengan jemari gemetar, Ica mengetik pesan untuk Alex. Kamu sibuk apa, Pa? Sibuk selingkuh? Send ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD