1. Nenek penjual buku

1008 Words
Tap. Tap. Tap. Terdengar langkah kaki yang terasa jelas di telinga Sekar, sikapnya tak acuh masih berjalan santai melewati trotoar sembari menatap sekilas rantai jalan yang masih dipenuhi kendaraan. "Permisi dek.." ucap seorang wanita tua menatap punggung berbalut jas yang berada tepat di depannya. Dap. Langkah gadis itu terhenti, dengan sigap menoleh ke arah belakang. Terlihat seorang wanita berpakaian lusuh, dengan rambut terikat ke belakang hampir seluruh helai terbalut warna putih. Kutikula wajahnya telah berkeriput, bahkan postur tubuh terlihat condong ke belakang. Tetesan keringat yang membasahi kutikula wajah, serta kedua mata menyipit akibat terik matahari membuat gadis tadi merasa iba. Memang sulit mencari nafkah di kota besar, entah kemana anak atau anggota keluarganya, sehingga tega membiarkan wanita setua itu berjualan di tengah ramainya kota. Sorot mata Sekar beralih pada tas besar yang tergantung di bahu wanita tadi, kotak kain model sederhana dengan beberapa tempelan kain. Entah resleting sudah tak berfungsi atau memang sengaja dibiarkan terbuka untuk memperlihatkan berpuluh buku yang tengah ia jual. "Adek, mau beli buku?" tawarnya tersenyum ramah, menerbitkan raut penuh harap yang semakin menyudutkan rasa simpati Sekar. Susunan buku terlihat begitu rapat tanpa celah, menunjukkan bahwa masih belum ada satu barang yang terjual. Tanpa pikir panjang, dia merogoh dompet dari dalam tas. Awalnnya sedikit merasa bimbang, karena hanya mendapati 1 lembar kertas berwarna biru yang ia miliki saat ini. "Uangnya buat ongkos taksi. Tapi kasian kalo aku ga beli bukunya," benak Sekar. Perlahan menatap sekilas wajah penuh harap yang masih wanita tua itu lontarkan. "Mm, saya cuma punya uang segini." "Nenek ambil semuanya, terus pilihkan buku apa saja untuk saya.." seru Sekar ramah, meletakkan selembar uang ke atas tumpukan buku. Salah satu tangan dengan lihai memilih, memisahkan sebuah buku tebal dari barisan tadi. Diberikannya ke hadapan Sekar, tentu saja itu sedikit membuatnya bingung. Bagaimana bisa buku sebagus ini hanya berharga 50 ribu, Sebagai mahasiswa fakultas sastra semester ke empat, buku adalah teman sekaligus pasangan baginya. Hanya dengan sekali raba serta melihat sampul luar, dia tahu bahwa buku tersebut terbuat dari kertas berkualitas tinggi dan pastinya memiliki goresan tinta yang begitu rapi. "Nenek. Uang saya tidak akan cukup untuk membeli buku in-" ucapannya terpotong, Pandangan Sekar hanya beralih sebentar untuk menatap ke arah buku, namun saat kembali mendongak dia sudah mendapati sosok nenek yang telah berjalan pergi. "Nenek!" pekik Sekar berusaha mengejar, Drap. Drap. Drap. Entah bagaimana wanita tua renta tadi berjalan begitu cepat. Meski memiliki tungkai yang lebih panjang, gadis itu tak mampu menyusul atau menghentikannya. Telah kehilangan kesempatan untuk mengembalikan buku yang baru saja ia dapat. Dari jarak jauh terlihat bahwa wanita tua tadi baru saja memasuki sebuah bus, "Hah. Hah.." "Hah----" "Aduh capek! Ga kuat lari lagi," sontak Sekar dengan nafas terengah engah. Berhenti melangkah sambil membungkuk, salah satu telapak tangannya menekan lutut demi mempertahankan keseimbangan. "Mending aku simpan dulu, besok aku kembaliin kalau ketemu lagi." menatap sekilas sampul coklat berhias gambar, "Lebih baik aku pulang sekarang," tambahnya, meraih ponsel di dalam saku. Dengan lihai mengotak atik layar, menghubungi salah satu nomor kontak yang tertera di sana. Tut.. Panggilan tersambung, tak butuh waktu lama terdengar suara pria dibalik telepon. "Halo----Ada apa?" "Cepetan jemput kesini! Gua ada di depan SPBU gas alam!" lugas Sekar meninggikan suara. "Ih ogah! Panas." menolak dengan pasti, "Cepetan! Ga ada penolakan. Ga ga punya ongkos buat pulang," bentak Sekar. "Ya itu derita lo! Udah ah. Gue mau makan," "Eh si bagong! makin ngelunjak. Gua ga ada duit juga karena lo!" "Cepetan jemput! awas aja kalo berani nolak. Abis lo! gue bejek bejek," ancam Sekar, "Ck, yaudah yaudah! ini gua berangkat sekarang." tegas pria itu segera memutuskan panggilan. ****** Hari hampir memasuki waktu sore, seperti biasa sebagai wilayah dengan sebutan kota metropolitan. Tidak asing lagi, jika jalan raya semakin dipenuhi barisan kendaraan meski hari menjelang malam. Tapi entah kenapa hari ini sang surya begitu semangat menyinari bumi, rasa hangat mendekati terbakar begitu menyengat dan menembus setelan katun miliknya. Bahkan Sekar merasa setiap inci kutikula tubuh tak berhenti mencucurkan keringat, Satu buah pohon yang cukup rindang, berhasil menampung gadis itu untuk berlindung diri terik cahaya. Kedua kakinya terasa pegal berkat terlalu lama berdiri, namun kedua sorot mata tak henti menoleh ke sekeliling. Jika bukan karena terpaksa, tidak akan sudi Sekar menunggu hanya demi sebuah tumpangan. Tak lama setelah itu, pandangannya beralih ke arah motor yang cukup familiar, tak segan berdiri seraya melambaikan tangan. "Woy, Bakti!" teriak Sekar dengan sekuat tenaga. Berhasil mengecoh perhatian beberapa pengendara motor yang berlalu lalang di sampingnya. "Tuh anak budeg apa gimana sih?!" gerutu Sekar mengerutkan alis. "Bakti Anjeng!" pekiknya sekali lagi, dengan emosi yang meluap. Entah mengapa, kali ini dia berhasil membuat pria yang dimaksud datang menghampirinya. Sebuah motor matic putih baru saja terparkir di hadapannya, "Lu napa lama banget.." cicit Sekar, menatap pria yang tengah sibuk menaikkan kaca helm. "Ya elu! Katanya ada di depan SPBU. Kalo ini mah ga di depan," "Mankanya elu kalo jemput jangan lama lama. Ya kali gua nunggu disana, bisa kering nanti ni badan!" "Badan gempal, mana bisa kering kalo cuma dijemur.." gumam Bakti, lirih. "Apa lo bilang?!" hardik Sekar hampir membulatkan mata. "Eh, e-enggak enggak." "Mau pulang kan? nih. Pake dulu helmnya," sanggah Bakti tersenyum ramah, menenteng satu buah helm yang sengaja ia bawa untuk temannya. "Nih. Pegangin dulu," menyerahkan buku tebal yang dari tadi ia bawa. Manik hitam itu nyaris terbelalak, sedikit takjub dengan benda milik temannya. Membolak balik demi menatap sampul di kedua sisi, "Wih, skripsi lu bahas ginian?" ujar Bakti membaca judul di yang tertera, "Enggak. Cuma iseng beli buku gituan," "Lah. Katanya ga ada ongkos buat pulang, tapi bisa beli buku mahal!" timpal Bakti, merasa curiga. "Mahal? coba lo tebak berapa harganya?" tawar Sekar mengangkat alis. "Hm, 100?" "......" gadis itu menggeleng pelan, "Oh, pasti 200." "Engga.." lugas Sekar merendahkan suara "300!" ucap Bakti membulatkan mata, "Nggak lah, harganya cuma goban." bisik Sekar membuat pria tadi terkejut. "Hah? 50 rebu? yang bener lu.." "Boong banget!" sahut Bakti menekuk bibir. "Ya udah kalo ga percaya," meraih kembali buku tadi, mencari pegangan untuk telapak tangannya lalu berjinjit. Menempatkan tubuh pada posisi nyaman ke atas jok belakang, Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD