Tiga: Meita Larasati

1269 Words
Dia lebih tua tiga tahun dari April. Betul, dia adalah Kakak perempuan April, Mei. Tapi dia sama sekali nggak lebih dewasa dari April.  Mei terlahir sempurna. Anak pertama yang dinanti oleh seluruh keluarga besar. Cucu pertama dari pihak Mama. Membuatnya amat dimanja. Bergelimang kasih sayang. Bukan berarti April nggak disayang, hanya…. Beda lah, rasanya yang spesial sama yang biasa. Masa yang pake telor karet dua sama yang biasa karetnya satu rasanya sama? Rugi dong. Mei tumbuh jadi pribadi yang manja dan agak semaunya sendiri. Dia kurang sensitif pada orang lain. Sedangkan April sebaliknya. Makanya, saat kenaikan kelas,dan dia ingin sepatu nike sedangkan Papa cuma bisa beli reebok, April yang mengalah dan memakai sepatunya. Padahal saat itu April nggak dibeliin sepatu baru. Dia memang biasanya pakai sepatu bekas Mei yang masih layak pakai, atau sepatu yang ditolak Mei, seperti sepatu reebok tersebut. April kasihan sama Papa yang sudah terlanjur beli. “Sayang, daripada nggak kepakai, Ma, Pa.” “Tapi kegedean, Sayang.” “Atau mau dituker ke tokonya? Biar dapet Nike nya Kakak?” Tawarnya polos. “Ih, nggak mau! Maunya yang asli, bukan yang KW sejuta gini. Nih, nih pake aja, nih.” Kata Mei menjejalkan kembali sepatunya ke tangan April. Perkara baju juga begitu, dan akhirnya Mama dan Papa kapok membelikan Mei baju karena selalu ada saja yang dikomplain. Modelnya jadul, warnanya norak, bahannya nggak bagus dan yang lain. April? Yah, dia masih setia dengan baju bekasan Mei yang sebenarnya dia kurang suka karena pasti modelnya selalu terbuka, dan tentu saja saat dia pakai, sudah ketinggalan jaman. Tapi dia tidak protes.  Baju - baju Mei kebanyakan dress pendek tipis, hotpants, kaus crop top, kemeja kerah sabrina, yah, yang cewek banget pokoknya. Oh, berarti Aril tomboy? Nggak juga. April lebih suka pakai jumper atau sweater atau kaus oversize dengan rok panjang yang lebar. Atau dengan kulot. Dia merasa nyaman dengan tampilan tertutup seperti itu. Setiap kali Mama membelikan Mei baju seperti itu dan ditolaknya, April selalu dengan suka cita menampung. Makanan pun begitu. April seleranya, cilok abang - abang yang suka mangkal di ujung gang, atau bakso Pak Kumis yang kalo abis ujan antrinya bisa bermeter - meter. Atau bakmi tek - tek Mas -mas yang pake kerata dorong, yang masaknya masih dibakar dengan arang, literally semua makanan yang Mei nggak mau sentuh karena katanya penuh kalori dan bisa bikin dia gendut. Makanya, saat pergi bersama Mei, Jun pasti pakai mobil, karena Mei nggak suka keringetan dan nggak mau kehujanan. Sedangkan bersama April, naik sepeda kayuh juga ayok. Yang penting jajan. Lebih asyik lagi kalo di traktir! Mereka adalah dua orang yang terpaksa bersatu tanpa orang lain yang menyatukan memahami bahwa mereka adalah dua pribadi yang amat berbeda. Tapi mereka akur kok. Yah, nggak akur yang kemana - mana harus berdua, makan saling suap - suapan, dan sesuatu yang berlebihan kaya gitu. Mereka hanya nggak mencampuri atau mencela satu sama lain. Saat Mei dapat voucher makan, dia akan memberikannya pada April karena adiknya suka makan. Dan saat April dapat voucher belanja dia akan kasih ke Mei karena Kakaknya suka belanja.  Saat Mei dapat kado baju atau item yang dia kurang suka tapi April suka, dia juga akan memberikannya pada adiknya. Begitupun sebaliknya. “Nih, Selamat tambah tua.” April mendongak dari rebahannya di atas kasur saat Mei masuk dan memberinya bingkisan. “Wah, apaan , Kak?” “Nggak tau, itu kado gue tahun lalu pas ultah belom gue buka.” “Emang nggak penasaran? Ntar kalo ternyata lo suka?” “Ya udah, udah gue kasih juga.” Ya, Mei memang seperti itu. Barang yang dia kasih nggak akan diminta lagi. Mungkin itu yang membuat mereka tetap akur. Mei berjalan ke jendela kaca kamar April. Kamar April awalnya adalah ruang tengah yang kemudian disulap Papa dijadikan kamar untuknya karena Mei ingin punya kamar untuknya sendiri saat SMA. Jadi jendelanya hanya jendela nakas dan kaca besar. Dan dari jendela tersebut bisa terlihat kamar Jun yang ada rumahnya tepat di sebelah. Nggak pas banget jendela ke jendela kaya di drama - drama. Tapi buat ngintip doang ya bisa banget lah. “Bang Jun belom pulang, Pril?” “Tadi pas gue pulang dia masih meeting sama clients. Mungkin belum kelar.” Jawabnya nggak begitu perhatian karena perhatiannya sekarang sedang fokus membuka kado. “Ada janji kalian?” Matanya berbinar mengeluarkan beberapa pasang kaus kaki dan bandana penahan rambut. Kado dari teman Kakaknya yang dihibahkan pada April. “Nggak ada. Mau malakin aja.” Mei menjawab santai, sambil duduk di atas kasur. Mei nggak mau duduk di bawah. Nanti betisnya kebaret-baret. “Ada acara apaan?” April bertanya penasaran. “Kan lo ulang tahun. Palakin lah, minta traktir.” “Kan gue yang ulang tahun, kenapa minta traktir sama dia?” Mei mendesah jengkel. Adeknya terlalu polos. Nggak bisa gitu liat celah buat manfaatin kesempatan dan keadaan demi keuntungan. “Ini naif, bego, ato polos, sih.” Dia menarik cepol April pelan. “Aduh. Ya kan bener kata gue?!” “Iya, iya, serah lo. Nanti kalo gue berhasil malak Bang Jun lo nggak usah ikutan,” “Kan yang ulang tahun gue.” April mungkin polos, tapi April nggak bodoh buat nolak rejeki. *** Entah bagaimana caranya akhirnya Mei berhasil membujuk Jun untuk mentraktir mereka. Mereka sedang berada di mobil Jun untuk pergi ke sebuah cafe yang ditunjuk Mei. Ini memang aneh, jangan terlalu heran. Yang ulang tahun April. Yang milih Cafe Mei, dan yang barayin Jun. Sebenarnya, April nggak begitu suka pergi bersama Jun dan Mei. Jika hanya salah satu dari mereka, nggak masalah. Jika pergi bertiga seperti ini… hmmm…. Apalagi sebelum pergi tadi Mei sempat membuatnya malu dengan mengkritik penampilannya.  Flashback  “Hih, kita mau ke cafe, masa koloran begitu sih, Ganti lah!” Mei menegur keras. April yang baru saja keluar dari kamar berhenti mendadak. Menoleh pada Mei yang menunjukkan raut wajah nggak suka dengan jelas. Lalu pada Jun yang sudah duduk disana menunggui mereka bersiap. Cowok itu hanya mengangkat bahu, entah apa maksudnya. “Emang kenapa, deh?” “Ck! Ganti sama baju yang keren, Kita mau nongkrong,” April masih terbengong di tempatnya. Kan mereka mau makan sih. Sejak kapan outfit makan aja harus keren. Ini bukan jaman kerajaan Inggris, woy! “Buruan, Pril. Pake dress sono. Jangan malu - maluin.” Deg! Somehow, perkataan Mei tadi mampu melukai harga diri April. Apalagi Mei mengucapkannya di depan Jun. Walaupun cowok itu bukan orang asing lagi bagi mereka, Jun tetap orang lain. Flashback End Mereka sekarang sudah sampai di cafe kekinian yang ditunjuk Mei. Ini resto AUCE grill dan shabu - shabu yang memang sedang happening di kota mereka. Dari review nya sih, walaupun nggak mahal banget, tapi nggak bisa dibilang murah juga.  Bagi April pribadi, tentu saja dengan gajinya dia bisa main - main ke sini. Hanya saja nggak yang tiap bulan sekali. Meskipun dia suka makan, dia masih lebih suka lihat duit terkumpul banyak di dompet dan rekeningnya. “Ngapain? Kok nggak turun?” Ju menengok ke belakang pada April yang malah bengong.  Tadi posisi duduknya Jun menyetir, Mei di kursi penumpang di samping Jun, dan April yang tau diri langsung masuk ke kursi belakang. Sepanjang jalan tadi juga dia nggak terlibat percakapan apapun dengan dua orang yang duduk di depan. Biasa. Saat Mei dan Jun bersatu, April mah lewat. Nggak keliatan. “Oh, gue uda keliatan lagi.” Celetuknya tanpa sengaja, membuat Jun mengernyit bingung. “Btw, sori ya, gue sering bikin lo mau kalo jalan sama gue.” Katanya sebelum keluar mengikuti Mei yang sudah terlebih dulu masuk, meninggalkan Juni yang menatapnya dengan pandangan sulit diartikan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD