The Girl That Got Away - 2

1843 Words
                                                                                                I look at you more than you notice! I want you more than you think. I love you more than you know. Maybe oneday you will realize it. I'll wait for that day to come! No one loves you the way I do!                                                                               - rootreport.com -           Mia mengikat rambutnya menjadi satu tepat di tengah kepalanya, ia memasukkan kakinya ke celana training berwarna merah, kemudian meraih sepatunya berwarna senada dengan setelan trainingnya. Hari ini adalah hari Sabtu subuh, di mana ia akan mengajak Nathan untuk joging di taman yang ada dekat rumah keluarga Nathan. Sebelumnya ia sudah minta tolong Nailee supaya membangunkan kakaknya itu sebelum ia datang.         "Lo pengin gue ditendang pake karatenya??" dalih Nailee semalam.         Mia tahu Nathan pasti akan menolak kalau ia mengajaknya, tapi berkali-kali Nathan tidak bisa mengelak kalau ia datang langsung menjemputnya. Apalagi dengan bantuan Anya, Ibu Nathan.         Mia berlari menuruni tangga yang masih gelap. Sasy dan Dany bahkan belum bangun dari tidur lelapnya. Mia menghampiri pintu kamar orang tuanya dan menempelkan secarik kertas di sana. Setelah itu ia pergi dengan mobilnya, Mia mengemudi dengan lihai di jalan raya yang lengang, walaupun SIM belum ia peroleh karena umurnya belum mencapai 17 tahun.         Hatinya diliputi kegembiraan ketika ia melihat gerbang rumah yang sudah sangat akrab di kepalanya. Gerbang rumah Nathan yang besar terbuka otomatis dan Mia membuka jendelanya memberi salam pada Pak Reza sebagai satpam rumah Nathan. Pak Reza yang sudah sangat mengenalnya mempersilakan Mia untuk masuk ke pekarangan mansion keluarga Nathan yang cukup besar.         Suasana sudah tidak begitu gelap, tapi matahari belum muncul. Karena itu Mia bergegas dengan larinya menuju ke pintu yang ternyata sudah terbuka, karena Bibik Omah sedang membersihkan pintunya.         "Bik, ya ampun, pintu aja di lap-in..." sapa Mia sambil melewatinya.         "Harus Non, Mr. Keenan suka sidak. Kalau debuan bonus saya enggak keluar nanti" sahutnya.         Kedua alis Mia meninggi, tapi tidak menanggapi lebih. Ia malah naik ke lantai dua dan menuju kamar Nathan.         "Semoga kamarnya enggak dikunci..." gumamnya pelan. Mia tiba di depan pintu kamar Nathan, ia meraih gagang pintunya dan memutarnya, tidak terbuka. Ck, dia menguncinya! Batinnya kesal. Mia meraih ponsel dari kantong celananya dan mencoba menelepon Nathan, tidak aktif! Mia menghela napasnya, jarinya mulai mengetuk pintunya, sekali, dua kali, tiga kali, empat kali dengan ketukan yang pelan. Karena tidak ada respon dari dalam, Mia meningkatkan tekanan ketukannya tiga kali lipat.         DUK DUK DUK! . .         Nathan berguling ke kanan dan ke kiri sembari menutup telinganya dengan kedua tangannya, tidurnya terganggu dengan suara ketukan keras di pintunya. Ia tahu sekali bahwa yang datang itu pasti Mia dan sebetulnya ia juga tahu bahwa Mia tidak akan berhenti sebelum ia bangun dan membukakan pintunya.         "Dasar keras kepala..." gumamnya sambil bangkit dan melangkah ke arah pintu. Nathan membuka pintunya dan Mia berdiri dengan setelah baju olah raganya yang menyilaukan mata Nathan yang baru terbuka.         "Kamu ngapain sih?" ketusnya sambil berjalan lagi ke arah tempat tidur namun Mia dengan cepat menghalanginya.         "Tunggu! Kamu enggak boleh tidur lagi, kita kan mau olah raga!"         "Kata siapa?"         "Kata aku barusan..."         Nathan berdecak sambil menyingkirkan Mia dari hadapannya dengan tangannya. Karena tubuh Mia yang lebih kecil, tentu saja ia kalah tenaga dan berakhir dengan bergeser beberapa langkah ke samping. Nathan kembali ke kasurnya, dan menenggelamkan kepalanya dalam bantal-bantal lembutnya. Walau ia tahu tidak mungkin ia akan bisa tidur lagi dengan adanya Mia dalam kamarnya.         Mia menatap punggung Nathan yang sedang telungkup di atas kasurnya. Dengan sekuat tenaga ia memegang pergelangan kaki Nathan dan  menariknya. Nathan yang tidak siap dengan serangan Mia ini hampir saja mencium lantai kamarnya sendiri kalau ia tidak berpegangan erat pada seprei tempat tidurnya.         Ia mendengus marah dan memutar tubuhnya menatap Mia dengan eskpresi marah. "Kamu susah dibilangin! Aku enggak mau jogging!" ia menghela napasnya sekali lagi, "dan mulai hari ini jangan sembarangan masuk kamar cowok! Kalau aku enggak pakai baju gimana?"         "Aku malah pengin liat!" cetusnya asal.         Nathan menyapu rambutnya dari belakang ke depan, tanda frustrasi. "Miaaa, aku butuh istirahat hari ini, kamu jogging sama Nailee aja sana!" Nathan kembali lagi memeluk gulingnya. Mau semarah apapun dia pada Mia, enggak akan mempan dan tidak akan berpengaruh untuk Mia.         Tiba-tiba Mia menyergap Nathan dari belakang, ia berada di atas tubuh Nathan yang sedang bertelungkup memeluk guling. Tubuh Nathan membeku sesaat, namun ketika kesadarannya kembali ia bangkit dan membuat Mia terjungkal di atas tempat tidur. Mata Nathan membulat menatap Mia. "Kamu, eerghh!"         "Ya abis kamu susah banget berdiri!"         Nathan berdiri dan memandang ke bawah, "Siapa bilang susah berdiri?" Ia menunjuk bagian tengah tubuhnya yang menonjol, "Nih! Berdiri kan?"         Mata Mia sontak ikut menatap yang ditunjuk Nathan dan ia membeliak seraya berteriak, "WAAAAA!!! Nathan!" Mia melemparkan bantal ke arah Nathan dengan pipi yang merah padam.         "Tadi katanya mau lihat?" Nathan menahan senyumnya.         Mia terdengar menggerutu sambil membelakangi Nathan yang berjalan ke kamar mandi.         "Makanya lain kali jangan main templok punggung orang, pagi-pagi pula..." ujarnya.         Mia menelan ludahnya. Ia memang bilang pengin lihat tadi, tapi tetap saja melihat dengan terhalang celana saja sudah membuatnya keringat dingin dan jantung berdebaran seperti ini, padahal jogging-nya belum dimulai. Mia memegang pergelangan tangannya sendiri memeriksa denyut nadinya, masih cepat.         s****n Nathan, pikirnya.         Mia duduk di tepi tempat tidur Nathan. Kamar ini tidak terlalu banyak berubah dari semenjak ia memasukinya dulu. Nathan menyukai warna hitam, putih dan abu, kamarnya mencirikan sifatnya. Kadang tegas, tapi enggak jelas, karena ia suka abu-abu. Abu-abu kan warna enggak jelas, pikir Mia. Makanya orang sering bilang 'grey area' . Tapi Mia tetap suka Nathan apa adanya. Kamar Nathan ini berada di sudut bangunan, jadi kalau bisa dibilang bentuknya cukup unik. Dan design kamar ini Nathan sendiri yang mendesainnya.  Ada rak buku dan televisi kecil yang menggantung di dinding kamar nya. Lemari pakaian berwarna hitam di sudut ruangan, sofa kecil warna abu-abu di dekat rak buku. Ada meja belajar dan karpet bulat berwarna cream di bawahnya. Lantainya terdiri dari dua bagian, ada lantai kayu  dan marmer licin, pasti mahal--batin Mia. Walaupun kamar laki-laki, kamar Nathan cukup rapi. Beda lagi dengan kamar Nailee.         Di bawah rak buku, terdapat beberapa bingkai foto. Ada Nathan dan keluarganya, ada juga Nathan dan teman-temannya, dan ada Nathan bersama Mia---juga Nailee dan Damon. Mia berdecak sebal, kenapa enggak ada foto dia berdua bersama Nathan saja. Padahal di kamarnya sendiri, foto ia berdua Nathan begitu banyak. Dari mulai bayi sampai sekarang. Itupun hasil prakarya tangannya, alias gunting menggunting. Mia tersenyum dalam hati, bila mengingat betapa sulitnya ia mengajak Nathan berfoto berdua.           Pintu kamar mandi terbuka dan Nathan keluar dengan pakaian yang tadi.         "Lho kok? Kamu enggak ganti baju?"         "Ya baju aku kan di sana" ujarnya menunjuk lemari bajunya. "Kamu mau aku t*******g aja dari kamar mandi?---Ah itu mah penginnya kamu..."         Mia berdecak sambil bersungut. Kemudian matanya mengi kuti kemana Nathan berjalan. Mia tersenyum tanpa mengedipkan matanya melihat pemandangan di depannya, yaitu ketika Nathan membuka kausnya dan menggantinya di depan matanya. Nathan menatapnya tajam.         "Hiisssh, malah keasyikan! Jangan ngayal jorok"         "Iiih enak aja ngayal jorok! Aku mah ngayalmya yang romantis...kayaknya enak kalo ada dipelukan kamu gitu..."         "Ck! Balik badan! Aku mau buka celana nih, enggak pake celana dalem!"         "Hah?" Mia menelan ludahnya dengan susah payah, sepertinya kalau berhubungan dengan 'bagian' itu tubuhnya langsung panas dingin. Ia buru-buru memutar tubuhnya membelakangi Nathan. Sambil ia melihat jam digital di tangannya.         "Hah?! Udah mau jam 7?! Ya ampun Nathan kamu kelamaan mandinya!! Lihat nih, udah kesiangan" ujarnya melangkah ke arah jendela dan membuka tirai penutupnya. Wajahnya cemberut memperlihatkan kekecewaan.         "Jogging itu enakan bareng matahari, biar banyak keringetnya..."         "Tapi pasti taman udah rame banget deh, banyak cewek gatel juga pasti di sana"         Di sini juga ada cewek gatel, batin Nathan.         "Ya udah, enggak jadi kan joggingnya? Nanti banyak cewek gatel yang gangguin aku, terus kamu ribet sendiri, malah enggak jogging tapi jadi bodyguard aku kan?" seloroh Nathan sambil berjalan melewati Mia menuju pintu kamarnya. "Kita sarapan aja yuk...pasti Mom bikin sarapan enak" sambungnya.         Mia mendengus kesal, masak enggak jadi lagi jogging-nya? Ini udah ketiga kalinya ia gagal jogging date sama Nathan. Walau yang pertama berhasil dan pada akhirnya ia memang berlaku seperti penjaga Nathan dari tatapan-tatapan nakal para cewek yang jogging dengan modus cari jodoh.         "Yaaaah...masak enggak jadi lagi?!" ujarnya sedih tapi ikut membuntuti Nathan di belakangnya.         Nathan dan Mia berjalan menuruni tangga menuju ke ruang makan. Tapi ternyata di ruang makan, hanya ada Bik Omah dan asisten lainnya yang sedang menyiapkan meja. Dahi Nathan berkerut, "Mom kemana Bik?"         Bik Omah sempat terkejut mendengar sapaan Nathan, ia menjawab sambil meletakkan piring makan di meja makan. "Mrs. Anya tadi keluar jogging sama Mr. Keenan, Den Mister" jawab Bik Omah. Nathan pasrah saja dengan panggilan Bik Omah padanya, berkali-kali ia minta agar memanggil namanya saja, tapi tetap saja sampai sebesar sekarang panggilan Bik Omah padanya tetap sama, Den Mister...         Reaksi Mia yang mengejutkan membuat Nathan menghela napasnya berkali-kali. Pasalnya ia melonjak kegirangan ketika Bik Omah mengatakan bahwa Anya dan Keenan sedang jogging keluar. "Jogging-nya kemana Bik?"         "Waduh mereka enggak bilang Non, tapi tadi saya dengar, Mr. Keenan bilang kalau passport Mrs. Anya sudah ada padanya...gitu Non" jawab Bik Omah polos.         Mata Mia yang besar makin membulat menatap Bik Omah dan Nathan bergantian. "HAH??? Jogging kemana pake passport segala?"         Nathan mengabaikan Mia seraya memasukkan sandwich buatan Bik Omah ke dalam mulutnya. Dasar Dad! Pemborosan! Pasti jogging di Singapore atau di mana enggak tahu, batin Nathan. Ia mengedikkan bahunya ketika Mia memberinya tatapan 'kemana kira-kira jogging-nya?' .         "Kamu kok beda banget sih sama Dad kamu itu? Om Keenan itu orangnya romantis banget, Tante Anya beruntung banget bisa dapet cowok romantis kayak gitu..."         "Kamu mau?"         Ekspresi wajah Mia berbinar-binar sambil mengangguk senang, "Kamu bisa?"         "Ya enggak-lah! Aku bukan cowok roman picisan, makanya kamu itu harus cari cowok lain, yang romantis! Sana..."         Seketika raut muka Mia berubah lagi, "Aku enggak mau cowok lain---aku maunya kamu, kamu jadi romantis gitu kek" rengeknya sembari duduk di seberang Nathan.         "Ya sampe kamu peyot juga enggak akan bisa aku romantis sama kamu, Mi..." ujar Nathan dengan santai sambil mencecap s**u hangatnya yang baru diantar Bik Omah.         Gigitan sandwich Mia berhenti tepat di saat kata-kata Nathan menusuk jantungnya. Ia membeku, berusaha mengulang kata-kata Nathan dalam kepalanya. Ia ulang sekali, dua kali, tiga kali, rasanya sama, seperti belati menusuk jantungnya berkali-kali. Kok kali ini kenapa sakit ya? Padahal ia sudah terbiasa mendengar kalimat ketus keluar dari mulut Nathan. Mia meletakkan lagi roti sandwich-nya, matanya mengerjap menatap ke arah Nathan. Mata Nathan menyipit membalas tatapannya, "Kenapa?" tanya Nathan.         "Kamu yakin?"         Dahi Nathan makin berkerut, "Maksud kamu?"         "Kamu yakin kalau kamu enggak ada sedikitpun berpikir untuk nikahin aku?"         "Uhuk-uhuk!" Nathan hampir tersedak s**u. Ia berusaha menetralisir kondisinya sendiri, dan ketika sudah merasa lebih baik, ia kembali menyorot mata Mia, "Mi...aku anggap kamu itu adik aku sendiri, ya mana mungkin aku kepikiran untuk nikah sama kamu!" sahut Nathan.         Mia manggut-manggut, pasti karena Nathan masih berat mengakui kalau ia juga punya perasaan yang sama padanya. Enggak apa, Mia masih sanggup bertahan. Ia memang sakit hati karena ucapan Nathan tadi, tapi nanti akan hilang dengan sendirinya.         "Sekarang mungkin belum...enggak apa-apa, aku masih menunggu..." balas Mia.         Nathan menggeleng pasrah. Ni cewek hatinya terbuat dari apa sih? Baja ringan apa baja berat?! Batinnya bingung.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD