Episode 3

1015 Words
"Jadinya gimana? Kita yang antar kesana atau mereka yang jemput kesini?" Lina menghampiri Lista yang masih fokus menatap layar ponsel. "Salma bilang, dia gak bisa datang. Jadi terpaksa kita yang antar." Lista menoleh pada Lina, dan memasukan ponsel miliknya ke kantong celana. "Kamu tau kan alamat rumah mereka?" Lista mengangguk. "Tau, aku pernah di ajak Salma kesana beberapa kali." Kepribadian Lista yang mudah bergaul dengan siapapun membuatnya bisa berteman baik dengan Salma. Awal mula, mereka berteman dari jejaring media sosial f******k, hari itu toko langganan keluarga Salma tiba-tiba membatalkan pesanan yang sudah disepakati kedua belah pihak. Keluarga Salma kebingungan mencari pengganti, hingga akhirnya Lista mengomentari postingan Salma dan mereka menjadi teman baik, bahkan menjadi pelanggan tetap toko kue milik Lina. "Kita berangkat pakai taksi aja ya, Dek." "Boleh," Selain karena rumah Salma cukup jauh, juga karena pesanan mereka cukup banyak. Tidak memungkinkan bagi mereka berdua membawanya dengan menggunakan sepeda motor. Setelah memesan taksi online, mereka berdua berangkat menuju kediaman Salma. "Rumahnya ada di komplek Melati, no 22." Ucap Lista pada sopir taksi. "Bukannya itu komplek perumahan mewah?" "Iya, Salma dan keluarganya tinggal disana." Lina mengangguk paham. Dulu, ketika dirinya masih menyandang status Nyonya Damar, ia sering dibawa Ibu mertuanya arisan ke komplek perumahan Melati. Begitu mobil yang membawa mereka masuk kawasan komplek, membuat Lina merasa dejavu, bahkan ia masih ingat beberapa rumah kenalan mantan Ibu mertuanya dulu. "Rumahnya ada di ujung sana." Ucap Lista, membuat Lina menoleh mengikuti arah telunjuk Lista. Rumah mewah dengan desain klasik modern, bernuansa putih, berpagar hitam menjulang tinggi sangat mencerminkan seberapa kaya keluarga Salma, membuat nyali Lina menciut seketika. "Yakin ini rumahnya, Dek?" "Iya. Aku udah chat Salma, sebentar lagi dia keluar." Setelah membayar ongkos taksi, mereka berdua berdiri di depan pagar menunggu Salma datang. Untuk ukuran rumah semewah ini mereka tidak mempekerjakan security, membuat Lina dan Lista harus menunggu Salma datang menemui mereka berdua. "Kenapa gak ada securitynya?" Tanya Lina penasaran. "Kawasan disini aman banget, Mbak. Gak perlu pake security khusus, karena setiap jam ada orang keamanan yang bergilir patroli." Jelas Lista. Sekilas Lina memperhatikan rumah milik Salma. Rumah impian semua orang, dari mulai interior dan desainnya begitu mewah dan terawat. Dulu ia pun pernah berencana membeli sebuah rumah ketika masih menjadi istri Damar, bahkan mereka berdua pernah mendatangi agen properti untuk memilih konsep dan model rumah seperti apa yang mereka inginkan. Namun Lina kembali harus menghela lemah, karena impian itu kini hanya tinggal kenangan. Kenangan yang masih terus membelenggunya, bahkan disaat seperti ini pun ia masih mengingat Damar. "Ya ampun." Lina mengusap dadanya tatkala rasa pedih dan panas itu mulai kembali menyerang hatinya. "Kenapa, Mbak?" Tanya Lista. "Gak apa-apa. Mbak cumam pusing aja, udaranya panas banget." Lina pura-pura mengibaskan sebelah tangannya, mengipas dirinya. "Kayaknya mau hujan. Panas banget, tapi langitnya mendung." Kepala Lista menengadah menghadap langit. Udara terasa begitu panas, namun langit justru mendung, seolah memberi tanda sebentar lagi hujan akan turun. Hampir dua puluh menit lamanya mereka berdua menunggu, Salma tidak kunjung datang. Bahkan suara gemuruh mulai terdengar, membuat Lina semakin tak sabar. "Salma nya di telpon aja, Dek. Sebentar lagi hujan, kue-kue kita bisa basah kalau sampai hujan turun." "Sebentar," Lista meraih ponsel dari kantong celananya dan segera ia menghubungi Salma. "Sal, lo dimana? Gue udah nunggu di luar nih!" Hanya beberapa detik Lista berbicara dengan Salma, karena setelah itu tidak lama kemudian pintu utama rumah terbuka menampilkan sosok wanita muda, dengan ponsel di tangannya dan melambaikan tangan ke arah mereka berdua. Namun bukan hanya Salma yang keluar dari rumah itu, di belakang Salma nampak seorang lelaki bertubuh tinggi, tegap ikut serta berjalan menghampiri Lina dan Lista. "Maaf ya, tadi hp nya di cas. Gak denger ada panggilan masuk." Salma menghampiri Lista dengan wajah menyesal. "Lama ya nunggu. Maaf ya." Salma pun menoleh pada Lina, mengisyaratkan dirinya benar-benar menyesal. "Gak apa-apa. Ini pesanannya." Lina menyodorkan dua kantong berukuran besar pada Salma. "Abang, bantuin bawa ya. Berat." Salma menarik tangan lelaki yang berdiri mematung di belakangnya. Lelaki yang hanya diam tidak bersuara. Sorot matanya teduh dan jernih, membuat Lina salah tingkah. Entah hanya perasaannya saja atau bukan, lelaki itu terus memperhatikannya. "Ini uangnya." Salama menyodorkan sebuah amplop berisi uang pembayaran. "Itung dulu Mbak, takutnya kurang." "Gak apa-apa, kita mau langsung pulang. Sebentar lagi pasti hujan," Lina segera memasukan amplop berwarna putih itu kedalam tas selempang miliknya, tanpa menghitungnya terlebih dahulu. Begitu Lina dan Lista hendak berpamitan, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. "Masuk dulu, hujannya deras banget. Ayo!" Ajak Salma. Awalnya Lina hendak menolak, namun tiba-tiba sebelah tangannya ditarik Salma masuk kedalam rumah di ikuti Lista dibelakangnya. "Kuenya gak kena hujan kan?" Tanya Lina sambil memastikan isi kantong plastik. "Kuenya aman, tapi kalian basah kuyup." Ucap lelaki yang tidak Lina ketahui namanya itu. "Syukurlah, takutnya rusak. Nanti kalian kecewa." Lina menghela lega, tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan sorot mata lelaki itu. Tiba-tiba ia tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya dan dimple di kedua pipinya yang membuat jantung lina tiba-tiba terasa hangat. "Kalian masuk aja dulu, hujannya pasti lama." "Kita disini aja, sebentar lagi juga reda." Ucap Lista sambil mengibaskan pakaiannya yang terkena air hujan. "Atau kalau kalian mau, boleh ke belakang ke kamar Mbak Siti." Tawar Salma. "Bentar ya, aku panggil Mbak Siti dulu. Abang Adit bawa masuk aja kue nya ya." Salam masuk kedalam rumah, sementara lelaki bernama Adit merapikan plastik-plastik berisi kue. "Saya tinggal dulu ya? Jangan dulu pulang, hujannya deras nanti kalian sakit." "Iya, Mas Adit." Jawab Lista, yang langsung mendapat cubitan dari Lina. "Apaan sih, Mbak. Aku kan cuman jawab." Keluh Lista tidak terima. "Lenjeh banget!" Lista tertawa, "Lenjeh apanya, aku cuman jawab. Sayang aja kalau orang ganteng ngomong gak di sahutin." Lista memang tidak berbohong, Adit memang tampan. "Fisik tidak jadi tolak ukur seseorang. Tampan tidak selalu berhati tampan, begitu juga sebaliknya." "Seperti Mas Damar contohnya? Dia juga tampan, malah lebih tampan dari Mas Adit, tapi hatinya?" Lista menggantung kalimatnya sambil menatap Lina dengan seksama. "Jangan bahas Damar, gak ada hubungannya dengan Damar." Balas Lina. Meski dirinya masih sering memikirkan Damar, namun Lina selalu menghindari pembicaraan tentang Damar. Ia tidak ingin Damar selalu jadi bahan omongan, meskipun Damar memang menyakitinya, tapi setiap kali orang lain berkata buruk tentangnya, Lina masih sering merasa tidak terima.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD