Episode 2

845 Words
Lina selalu membiasakan diri bangun lebih awal dari yang lainnya. Rumah yang kini disewanya memang tidak terlalu besar. Hanya memiliki dua kamar, yang kini ditempati Ibu dan Ayahnya dan yang satunya lagi ditempatinya bersama Kalista. Awalnya Lina sempat menempati sebuah rumah layak huni di sebuah komplek perumahan, namun setelah bercerai dengan Damar, keluarganya memutuskan pindah dan memilih tinggal di sebuah rumah sewa. Kalista masih nampak pulas tertidur dengan selimut menutupi hampir seluruh tubuhnya. Sementara itu, Lina segera bergegas menuju dapur memasak nasi untuk sarapan bersama. "Ibu sudah bangun rupanya." Lina mendekati Ibunya, yang ternyata sudah lebih dulu bangun daripada dirinya. "Iya, tadi habis nyuci pakaian Bapak. Gak bisa tidur lagi, jadi Ibu ke dapur aja." Jawab Siti, sambil tersenyum. Sekilas Lina menatap punggung sang Ibu, punggung kecil yang semakin hari terlihat semakin kecil dan kurus. Berbeda dengan beberapa tahun lalu, kini Ibunya tampak semakin tua dan tidak terawat. "Biar Lina yang kerjakan, Bu. Mending Ibu istirahat." Lina meraih tangan Siti, mengambil alih pekerjaannya yang tengah membersihkan sayuran. "Ibu gak bisa tidur kalau udah terbangun. Daripada bengong, mending masak. Lagipula udah lama Ibu gak masakin kalian." Siti kembali mengambil alih pekerjaan. Memang setelah Solihin, Ayah Lina sakit ia jarang mengurus kedua putrinya, fokusnya hanya untuk mengurusi Solihin meski sampai hari ini suaminya itu belum menunjukan perubahan berarti. "Masak apa? Biar Lina bantu." "Masak mie goreng kesukaan kamu," "Wahh enaknya. Baru dengar aja udah bikin laper," Masakan seorang Ibu adalah masakan paling enak di dunia ini, begitulah yang ada di benak Lina. "Bagaimana usaha kalian? Lancar?" Tanya Siti, "Lancar, Bu. Ada aja yang pesan, bahkan hari ini aku dan Lista sibuk banget. Ada pesanan lumayan banyak, untuk besok." "Syukurlah, Ibu senang mendengarnya." "Kalau ada uang lebih, nanti kita bawa Bapak berobat ya. Kata mang Ujang tukang bakso langganan Lista, ada pengobatan therapy bagus di dekat rumahnya." "Jangan terlalu memaksakan, kalian pasti banyak kebutuhan juga." Siti selalu merasa bersalah setiap kali melihat Lina bekerja dengan begitu keras untuk menghidupi keluarga. "Jangan terlalu memaksa, Nak. Kita sudah berusaha semampunya untuk kesembuhan Bapak, tapi sampai hari ini Bapak belum juga menunjukan tanda-tanda perubahan." Sorot mata sedih Ibunya, membuat hati Lina kembali berdesir perih. "Lina mau Bapak seperti dulu lagi. Gara-gara Lina, Bapak jadi seperti itu." Lina menunduk, menyembunyikan wajahnya. "Ini semua terjadi bukan karena keinginanmu, Nak. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Sudah saatnya kamu bahagia." Siti mengusap punggung Lina dengan telapak tangannya yang selalu mampu membuat Lina merasa nyaman. "Sudah saatnya kamu memulai hubungan baru, jangan terlalu lama menyendiri, tidak baik." Lina mengerti maksud ucapan Ibunya. Bukannya ia tidak memikirkan bagaimana status yang kini disandangnya, namun rasanya masih membekas dihati ketika hari itu Damar menceraikannya. "Aku selalu bercita-cita ingin menjadi seorang istri seperti Ibu. Yang selalu setia menemani sang suami dalam kondisi apapun, tapi nyatanya itu sangat sulit terwujud. Bahkan aku kalah, di usia pernikahanku baru menginjak tiga tahun." Ucap Lina penuh sesal. "Aku berharap Damar dan keluarganya mau memberiku kesempatan dan sedikit waktu, tapi mereka,," Lina kesulitan melanjutkan ucapannya, rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokannya. "Jodoh, mati dan rejeki, Tuhan sudah mengaturnya dengan sedemikian rupa. Kamu tidak perlu berkecil hati, kamu masih muda masih banyak kesempatan." Siti mencoba membesarkan hati anaknya. "Jangan pernah takut untuk memulai, karena kesempatan selalu ada untuk mereka yang mau memulai." Lina tersenyum samar, rasa trauma yang dirasakannya tidak mudah hilang begitu saja. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya terlalu berlebihan, namun urusan hati tidak bisa melibatkan logika semata, karena ketika hati itu kembali berdarah hanya dirinya yang bisa merasakan, bukan orang lain. Matahari perlahan muncul dengan berani, menyinari bumi. Lina dan Kalista segera berangkat menuju ruko untuk menjalankan aktivitas seperti biasa. Menggunakan sepeda motor milik Lista yang selalu menemaninya kemanapun mereka berdua pergi, motor pemberian Damar ketika masih menjadi suaminya. Dan menjadi satu-satunya barang yang masih disimpan Lina, karena Lista menolak dikembalikan dengan alasan ia sangat membutuhkan sepeda motor tersebut. Dan benar saja, kini motor tersebut benar-benar berjasa dan sangat mereka butuhkan. Dipersimpangan jalan lampu merah, mereka berdua sempat bertemu dengan beberapa teman sekolah Lista, seharusnya ia pun masih mengenakan seragam putih abu-abu seperti mereka, namun karena satu dan lain hal, Lista menyerah pada keadaan. Meski Lista tidak pernah mengeluh, namun Lina tau adiknya itu masih sangat menginginkan pendidikan dan bergaul dengan teman seusianya. Bukan berteman dengan mixer, oven dan tepung setiap harinya. Meskipun Lista selalu bersikap konyol seolah-olah ia bahagia dengan kehidupannya, Lina tau adiknya masih sering diam-diam menangis sambil memeluk seragam sekolahnya. "Nanti Mbak traktir bakso mang Ujang." Lina menepuk pelan pundak Lista, membuatnya menoleh. "Lain kali jangan mang Ujang terus dong, mau seblak di jalan Tenggara sana." Tunjuk Lista dengan dagunya. "Oke, berapa emang?" "Lima puluh ribu satu porsi." "Ya Tuhan. Seblak apa itu, kok mahal banget. Kalau beli bakso bisa dapet sama mang Ujangnya." "Ish,,, sekali-kali lah,," Lista bersecak. "Iya.. iya.. nanti Mbak traktir. Lampu berubah hijau, pertanda mereka bisa melanjutkan perjalanan. Kisah yang sama, kegiatan yang sama dengan hati yang masih sama setiap harinya. Begitulah siklus kehidupan yang dirasakan Lina dua tahun terakhir. Pikirannya bercabang, dan ia tidak tahu mana yang harus didahulukan karena menurutnya semuanya datang begitu cepat, secepat kebahagiaan yang dirasakannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD