PENYESALAN ERWIN

1544 Words
"Cepat keluar dari kamarmu, dan mari sarapan. Jangan sampai membuat aku menunggu terlalu lama." Pesan dari Sofia mau tidak mau membuat Rafael bergegas. Sebelum itu dia memastikan penampilannya sudah rapi dan meyakinkan. Sebagai langkah terakhir, lelaki itu menggunakan pomade untuk memberikan kesan rapi pada rambut pendek dan lurus miliknya. Tidak ingin Sofia menunggu lama, dia segera bergegas menuju ke ruang makan. Rupanya sofia sudah menyediakan roti tawar dengan isian sayuran dan daging sekaligus minuman untuk dia sarapan. Seketika Rafael merasakan sensasi memiliki seorang istri yang sebenarnya. "Maaf, membuatmu lama menunggu." Rafael menarik kursi tepat di saat Sofia meneguk minuman dalam gelasnya. "Uhuk! Uhuk!" Wanita itu tersedak. Bagi sofia, penampilan Rafael kali ini membuatnya gagal fokus. Pria itu terlalu tampan. "Minum pelan-pelan makanya. Sini biar aku bantu bersihkan." Rafael menarik beberapa lembar tisu dan berniat menyeka air yang membasahi celana, dan juga wajah Sofia. "Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri." Wanita itu merebut tisu yang ada di tangan Rafael dan membersihkan bagian dari dirinya yang terkena cipratan air. Sofia hanya berharap pria itu tidak menyadari pipinya yang merona. Bagaimana bisa dia justru terpesona pada lelaki yang hanya berstatus suami sementara. Hal itu tidak benar, Sofia merasa harus segera menyadarkan diri sebelum terlambat. "Mengapa kau tiba-tiba tersedak saat melihatku? Apa aku terlalu memesona?" tanya Rafael sebelum akhirnya memasukkan roti ke dalam mulut. "Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya tidak sengaja memikirkan sesuatu yang lucu. Jelas itu bukan kau." Wanita itu segera kembali fokus pada makanan yang ada di atas piring miliknya. "Sofia, aku tahu wanita tidak akan pernah menyatakan perasaan pada seorang pria terlebih dahulu. Karena mereka para wanita harus menurunkan gengsinya untuk itu. Dan jelas terlihat di sini, kau gengsi untuk mengakui kekagumanmu pada diriku. Iya, Bukan?" Rafael sengaja menyondongkan tubuhnya hanya supaya bisa melihat wajah Sofia yang sengaja dia palingkan ke arah lain. Tentu saja dia berniat menggoda. "Tidak usah berpikir terlalu jauh. Mengagumimu? Oh, itu sungguh tidak mungkin. Di luar sana banyak sekali lelaki yang lebih berkarisma dibandingkan dirimu." Sofia berlagak angkuh, memasukkan potongan terakhir rotinya ke dalam mulut dan beranjak dari tempat dia duduk. "Aku menunggumu di mobil. Makan dengan cepat, aku ada meeting pagi." Setelah itu terdengar ketukan bunyi benturan sepatu yang dikenakan Sofia dengan lantai menjauh. "Baik, Nyonya besar." sahut Rafael yang tersenyum melihat tingkah konyol yang ditunjukkan oleh Sofia. "Aku yakin, cepat atau lambat aku pasti akan mendapatkanmu, Sofia. Sepertinya aku harus searching di google, mencari seribu cara menaklukan hati istri yang judes." Rafael terkekeh karena perkataannya sendiri. Sesampainya di kantor, banyak pasang mata yang menatap ke arah pengantin baru itu. Di antara mereka menatap penuh kekaguman. Keduanya memang terlihat sangat serasi. Sofia yang cantik bak bidadari bersanding dengan Rafael yang juga memiliki visual sempurna. Beberapa karyawan bahkan sudah membicarakan bagaimana nanti anak keduanya saat lahir. Peka dengan keadaan, Rafael segera menjalankan tugasnya. Dia berperan sebagai suami yang romantis. Dengan segera, lelaki itu menggandeng mesra tangan Sofia, sementara wanita itu mengikuti drama yang tengah Rafael mainkan. Dia segera memeluk lengan suaminya itu, dan menebarkan senyuman ke setiap karyawan yang ditemuinya. "Selamat pagi Bu Sofia, Pak Rafael," sapa resepsionis mereka ramah. "Selamat pagi semuanya," sahut Rafael tak kalah ramah. "Selamat pagi," ucap Sofia dengan senyuman menghiasi wajahnya. Keduanya kemudian melangkah ke arah lift khusus petinggi perusahaan. Saat mereka masuk ke dalam sana, Sofia segera melepaskan dekapannya dari lengan Rafael. Dia juga menjaga jarak dengan lelaki itu. "Kenapa harus menjaga jarak sejauh itu, Sofia? Kita berdekatan tidak akan membuatmu hamil," sindir Rafael yang kini tengah menatap langit-langit. Menunggu lift yang mereka tumpangi berhenti. "Aku merasa lebih nyaman kalau kita seperti ini, Rafael. Kita hanya perlu bersentuhan di depan publik. Selebihnya, kita tidak perlu banyak berinteraksi secara fisik." "Baiklah, baiklah. Aku mengikuti semua keinginanmu, Sofia. Siapa tahu seiring waktu perasaan kamu berubah, dan bisa menerima aku sebagai suamimu yang sebenarnya." "Jangan mengharapkan sesuatu yang belum tentu terjadi, Rafael. Lebih baik kamu fokus saja pada tugasmu sekarang." "Berharap sedikit tidak masalah, bukan?" Rafael mengedipkan sebelah matanya genit. Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka. Sofia hanya menanggapi kalimat yang diucapkan Rafael dengan memutar mata malas. Berdekatan dengan lelaki penggoda seperti Rafael memang harus ekstra sabar. Setelah membaca banyak berita pernikahan Sofia di berbagai media sosial yang meliput pernikahannya, Erwin terlihat sangat kesal. Dia tidak terima wanita itu memilih Rafael sebagai penggantinya. Dia berharap Sofia memohon, dan merengek supaya dia tidak membatalkan pernikahan mereka. Ternyata yang terjadi justru di luar rencana. Sofia tidak memintanya kembali, dan menikahi lelaki lain. Padahal rencananya, kalau Sofia datang padanya untuk memohon, Erwin akan meminta wanita itu menyerahkan setengah hartanya sebagai jaminan. Dan ya, impian Erwin untuk menguasai harta Sofia hanya menjadi angan saja. "Sial! Bukannya berusaha mengejarku, Sofia malah menikahi buaya buntung itu. Argh, dasar wanita bodoh! Bisa-bisanya dia malah memilih lelaki seperti Rafael untuk menjadi suaminya? Gara-gara ide bodoh Farah, aku justru harus kehilangan pohon uangku! Dasar wanita tidak berguna!" umpat Erwin dengan wajah memerah menahan amarah. Brak! Erwin memukul meja tempatnya meletakkan secangkir kopi yang tmada di samping rumahnya, beberapa meter dari kolam renang yang terlihat berwarna biru muda. Kegagalan dari rencana yang dia jalankan membuat emosi Erwin memuncak. "Kalau saja aku tidak mengikuti saran dari Farah, hari ini aku pasti sudah menjadi suami Sofia. Lagipula aku terlalu lemah! Seharusnya aku tidak tergoda dengan rayuan wanita itu. Kamu benar-benar ceroboh, Erwin! Bodoh!" Erwin memukul-mukul kepalanya sendiri karena frustrasi. Dia terpaksa harus menghina dan meninggalkan Sofia demi mempertahankan harga dirinya. Siapa sangka wanita itu justru menikahi lelaki lain dengan sukarela. Padahal menurut Farah, itu merupakan cara yang tepat untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. "Den, ada non Farah. Dia membawakan sarapan untuk Aden." Seorang wanita paruh baya menemui Erwin. Dia Mbok Sumi, asisten keluarga Erwin. "Bilang sama dia terima kasih untuk sarapannya lalu suruh dia pulang. Saya sedang tidak ingin diganggu," sahut Erwin acuh. "Den, tapi kan ..." "Mbok sudah bosan kerja di rumah saya?" ancam Erwin dengan wajah memerah. "Ba-baik Den. Akan saya sampaikan. Tolong jangan pecat simbok." Sumi segera undur diri. Dia belum pernah melihat Erwin emosi seperti itu. Dan jelas hal itu membuatnya takut. Wanita paruh baya itu setengah berlari dan menemui Farah. Sebelum berbicara dia menghela napas terlebih dahulu. Apalagi wajah Farah juga terkesan sangat tidak ramah. "Mana Erwin, Mbok? Kenapa dia tidak menemui saya?" Farah melongok ke dalam, mengoreksi keberadaan Erwin. "Maaf, Non. Den Erwin sedang sibuk. Dia tidak bisa diganggu." "Mbok nggak usah bohong, deh! Nggak mungkin dia sibuk jam segini, Mbok. Minggir! Biar aku cari dia!" Farah menyerobot masuk, sementara Sumi ketakutan. Mengingat tadi dia sudah mendapatkan ancaman dari Erwin. "Non! Jangan, Non!" Sumi berusaha menahan dengan memegang lengan Farah, tetapi wanita itu langsung menepis tangan asisten rumah tangga Erwin tersebut. "Mbok kenapa, sih? Saya mau ketemu sama Erwin, Mbok!" Farah tetap ngotot. "Tapi, Non ..." "Erwin! Erwin! Kamu di mana? Kita harus bicara, Erwin!" teriak Farah tanpa mempedulikan peringatan dari Sumi. "Erwin! Keluar kamu! Aku tahu kamu nggak lagi sibuk! Erwin!" Sumi tidak tahu harus berbuat apa. Dia berada dalam kebimbangan. Di satu sisi, Erwin melarang Farah untuk menemuinya, dan disisi lain, Farah memaksa untuk tetap bertemu dengan Erwin. Sumi meletakkan tantang yang tadi dibawa Farah asal. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu sampai menemukan Erwin. Sayang sekali, Erwin sudah lebih dulu menghampiri mereka. "Farah! Stop berteriak! Ini bukan hutan!" bentak Erwin dengan wajah penuh amarah. "Den, saya sudah berusaha menahan, tetapi Non Farah tetap ingin menemui Aden," ucap Sumi takut-takut. "Mbok ke dapur saja. Biar saya yang bicara sama dia." Beruntung Erwin tidak marah. Sumi langsung membawa rantang yang tadi dia letakkan di lantai, lalu kabur ke dapur. "Erwin, kamu nggak lagi sibuk, kan? Kenapa kamu harus nyuruh mbok Sumi bohong?" cecar Farah. "Karena aku lagi nggak mau ngomong sama siapa-siapa! Mood-ku lagi jelek. Kamu ngertiin aku harusnya. Bukannya maksa," omel Erwin berusaha menahan emosinya. "Kenapa? Apa karena Sofia memilih menikah sama laki-laki lain? Ck, lemah. Gitu aja kamu udah kebakaran jenggot!" cemooh Farah. "Ini semua salah kamu! Seharusnya, kita tidak perlu memberitahukan hubungan kita di hadapan dia. Bukannya melihat dia memohon, sekarang bahkan semua media memberitakan pernikahannya yang bahagia. Aku kehilangan dia, Farah!" "Ya itu tujuan aku, Erwin. Aku memang mau kamu sama Sofia berpisah. Dengan begitu aku bisa menguasai kamu sepenuhnya. Lelaki sesempurna kamu tidak boleh menjadi milik Sofia. Dia sudah terlalu banyak mendapatkan keuntungan dalam hidupnya," ucap Farah dalam hati. "Siapa sangka bakalan kayak gitu, kan? Dia selama ini bucin banget sama kamu, Erwin. Aku juga nggak nyangka kalau dia malah lebih milih nikah sama orang lain daripada memohon sama kamu. Itu bukan salah aku, kan?" Farah memasang wajah minta dikasihani. Seolah dia memang tidak bersalah di sini. Semua di luar kendalinya. "Sudahlah! Lebih baik kamu pulang sekarang sebelum aku menumpahkan emosiku. Kita bicara lain kali! Aku benar-benar tidak ingin diganggu sekarang!" perintah Erwin sambil menunjuk ke arah pintu keluar. "Tapi ..." "Farah, kamu tahu gimana aku kalau lagi marah, kan?" tanya Erwin dengan tatapan dingin. "O-oke. Aku pergi sekarang. Kalau kamu udah baikan, cepat hubungi aku, ya? Aku pulang dulu, Erwin. Kamu jangan sedih, aku selalu ada untuk kamu. Bye-bye." Farah berjalan mundur, dan setelahnya melangkah cepat ke luar rumah Erwin. Dia tahu pasti bagaimana seramnya Erwin saat marah. Sementara Erwin tidak peduli dengan kalimat yang baru saja Farah ucapkan. Baginya, semua itu tidak penting. Erwin lebih memilih naik ke lantai atas, menuju ke kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD