Episode 3 : Aku Ingin Hidup Tenang

1406 Words
“Tak ada alasan untukku bertahan, apalagi menghormati mereka sebagai bagian dari hidupku.” Episode 3 : Aku Ingin Hidup Tenang *** Diana sudah mandi. Tak lupa, layaknya pengantin baru pada kebanyakan, Diana juga menyempatkan waktu untuk mempercantik diri, memoles wajahnya dengan sedikit rias, berusaha memberikan penampilan terbaiknya. Karena dengan segenap ketabahan yang dikumpulkan, wanita berambut lurus tebal sepunggung warna kecokelatan itu berusaha menerima kenyataan. Kenyataan di mana dirinya bukanlah istri apalagi satu-satunya wanita Romi, melainkan wanita yang sengaja Romi nikahi untuk ‘pelicinn’ bisnis. Beberapa saat lalu sebelum Diana memutuskan untuk mandi, Milla berhasil meyakinkan Diana. Milla merangkul Diana untuk sama-sama menjadi istri Romi. Milla benar-benar memohon agar Diana bisa mendukung sekaligus menjadi istri yang bisa mencintai kekurangan Romi. Dan Milla juga berjanji, akan membuat Romi menyikapi Diana lebih baik, adil kepada mereka. Milla akan membuat Romi mencintai, memperlakukan Diana penuh sayang layaknya apa yang Romi lakukan kepada Milla. Kini, Diana sudah duduk di bibir tempat tidur yang sepertinya memang disiapkan khusus oleh Milla. Membuatnya berpikir, jika Milla rela melakukan semuanya, begitu besarkah madunya itu mencintai Romi? Benarkah? Atau, ada alasan lain kenapa Milla dengan begitu hebatnya membiarkan suaminya kembali menikah, padahal Milla sedang hamil? “Tapi aku sudah lama menunggu. Sudah hampir satu jam dari aku mandi. Milla bilang, Romi akan ke sini. Tapi kok, enggak ada tanda-tanda?” pikir Diana. Malam ini, Diana mengenakan gaun malam warna putih. Berat rasanya melakukan segala sesuatunya bahkan sekadar beranjak dari bibir tempat tidur, karena biar bagaimanapun, ia telah memasuki rumah tangga orang lain. Ia telah menjadi orang ke tiga dalam hubungan Milla dan Romi. “Ingat, Di. Kamu dijebak! Kamu ada di sini karena kamu juga korban!” Hati kecil Diana berucap tegas, agar Diana tidak menjadi wanita lemah yang gampang ditindas. Wanita lemah yang hanya bisa menangisi sekaligus menerima keadaan, merasakan penyesalan tak berkesudahan. Merasa sudah terlalu lama menunggu, Diana memutuskan untuk keluar dari kamar. Namun apa daya, baru juga membuka pintu kamarnya, Diana langsung dibuat merinding oleh desahan-desahan ‘kenikmatan’ saling bersahutan, yang terdengar dari kamar di hadapannya. Hati Diana bergemuruh bersama rasa panas yang seketika menguasai tubuh bahkan kehidupannya. Segera, Diana yang seketika merasa dibodohi buru-buru menutup sekaligus mengunci pintu. Kedua tangan Diana yang menjadi gemetaran, refleks menekap telinganya sangat erat. Apa yang baru saja Diana alami sukses menorehkan luka batin luar biasa. Diana kembali berlinang air mata, merasa menjadi istri teraniaya karena biar bagaimanapun, dari awal Diana yakin, pernikahannya dengan Romi akan menjadi awal kehidupan baru yang dipenuhi kebahagiaan. Namun apa daya, semuanya telah direkayasa, dipenuhi sandiwara yang entah sampai kapan akan mengungkung Diana di dalamnya. Bahkan meski Diana terjaga semalaman karena wanita itu ingin menjadi istri yang baik. Diana menunggu kedatangan Romi, apa pun yang telah Diana alami dalam kebersamaan singkat mereka. Sayangnya, Romi sungguh tidak datang, membuat Diana kembali menelan kekecewaan bersama jejak-jejak air mata yang menjadi saksinya. **** Sudah satu minggu usia hubungan mereka, tapi semuanya sama sekali tidak ada kemajuan. Hanya Milla saja yang begitu sibuk menjanjikan keadilan kepada Diana, sedangkan yang Diana alami, dirinya juga menjadi wanita keras kepala akibat ketidakadilan yang didapatkan. Seperti biasa, Romi menggedor pintu kamar Diana sangat keras. “Jangan mentang-mentang kamu sudah biasa hidup enak, kamu masih saja egois melimpahkan semua pekerjaan rumah ke Milla. Milla sedang hamil, tapi dia justru harus menanggung parasit seperti kamu!” bentak Romi meledak-ledak. Meski sudah terbiasa diperlakukan kasar oleh Romi semenjak Diana tinggal di sana, Diana tak lantas diam. “Tahu apa kamu tentang aku apalagi kehidupanku? Kalau kamu sadar aku hanya jadi parasit di sini, seharusnya kamu ceraikan aku!” Diana memang sudah tidak menjaga sikap termasuk memanggil Romi dengan sebutan; Mas. Diana telanjur kecewa, tapi Diana juga tidak menyangka, tangan kanan Romi sampai terangkat dan nyaris menampar wajah Diana andai saja Milla tidak tiba-tiba datang. Milla menggunakan kedua tangannya untuk menahan tangan kanan Romi yang terbilang kekar. Bisa ia pastikan, andai tangan tersebut benar-benar mendarat di wajah Diana, Diana pasti sudah sempoyongan atau malah pingsan. “Sayang, tolong kontrol emosimu!” pinta Milla sembari mengelus lengan berikut punggung Romi. Dengan air mata yang berlinang, Diana yang telanjur mengalami pergolakan batin karena pada kenyataannya Romi juga tak segan main tangan kepadanya, ia berkata, “ini, versi adil menurut kalian?” Diana menatap ke dua wajah di hadapannya penuh kepastian tanpa memedulikan air matanya yang terus berlinang. “Pertama,” ucapnya sambil memfokuskan tatapannya kepada Romi. “Kamu bukan orang susah yang untuk menggaji seorang ART tiap bulannya saja, enggak bisa. Ke dua, aku enggak tahu kamu ini laki-laki macam apa yang bahkan rela melukai istrimu sendiri padahal kamu tahu, istrimu sedang hamil. Dan ke tiga sekaligus yang terakhir, kamu cukup menceraikan aku jika pada kenyataannya, aku hanya menjadi parasit dalam kehidupanmu. Ingat, tak ada setetes air pun yang aku minum dalam rumah ini! Dan jika kamu merasa aku telah menginjak-injak harga dirimu, tolong tanyakan pada dirimu, apa yang telah kamu bahkan kalian lakukan kepadaku!” “Jika kehadiranku, kamu inginkan untuk meringankan kehidupan kalian, aku benar-benar kasihan sama kalian. Begini, caramu menjalani kehidupan?” lanjut Diana dan berakhir dengan tamparan panas dari tangan kiri Romi. Bukan Diana yang langsung sempoyongan, melainkan Milla. Milla menatap takut Romi dengan tubuh yang sampai gemetaran. Justru, Diana tetap menunduk tegar setelah wajahnya terempas akibat tamparan panas yang Romi lakukan. “Sekali lagi kamu berani melawan, aku enggak segan membuat hidupmu seperti di neraka. Satu lagi, kehancuran rumah tangga kita, juga akan berdampak fatal untuk kerja sama keluarga kita! Jadi pastikan, tak ada seorang pun apalagi keluarga kita yang mengetahui apa yang terjadi dalam rumah ini!” tegas Romi. Romi membimbing Milla pergi. Tentunya, Romi tidak kasar jika kepada Milla. Romi memperlakukan Milla penuh sayang, mesra. Kendati demikian, Milla kerap menoleh ke belakang, menatap Diana penuh sesal di tengah air matanya yang berlinang. Sesekali, Romi yang sampai merengkuh kepala Milla akan menyeka setiap air mata wanita hamil itu, penuh sayang. “Tak ada alasan untukku bertahan, apalagi menghormati mereka sebagai bagian dari hidupku.” Diana menatap sengit kepergian punggung Romi yang masih merangkul mesra Milla. Kedua punggung itu semakin menjauh, menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Bersamaan dengan itu, kebencian Diana terhadap Romi bahkan Milla juga semakin berkembang pesat. **** Suasana rumah terbilang masih sangat sepi dan hanya sesekali dihiasi suara perasan air dari kain pel, atau tongkat pel yang tak sengaja membentur lantai, di tengah kesibukan Diana mengepel lantai rumah. Seperti biasa selama dua hari terakhir semenjak Romi menghadiahi Diana tamparan panas, Diana kembali bangun lebih awal layaknya ART di kediaman orang tuanya. Ia sengaja melakukan segala sesuatunya dengan cepat, dikarenakan ia tidak mau bertemu Romi, meski kenyataan tersebut terbilang mustahil sebab mereka tinggal satu atap. “Di …?” Suara lemah Milla terdengar dari belakang. Diana yakin, wanita kesayangan Romi masih ada di anak tangga. Milla baru keluar dari kamar dan siap menyiapkan sarapan untuk mereka. Lebih tepatnya, Milla akan menyiapkan sarapan untuk Romi dan Milla sendiri, lantaran hingga detik ini, Diana masih dengan keputusannya. Diana sama sekali tidak menyentuh minuman apalagi makanan di rumah tempatnya tinggal. Diana hanya membersihkannya setelah kedua sejoli itu pergi ke kantor atau sekadar bersantai ketika sedang libur bekerja. “Di, maaf. Sudah, kamu istirahat saja.” Seperti biasa, Milla kembali sibuk membujuk. Diana menghentikan kesibukannya mengepel, ia menghela napas beberapa kali di antara peluh keringat yang sudah membuatnya kegerahan. “Sudah, Mil. Aku mohon, mulai sekarang, tolong jaga jarak saja. Aku enggak mau bermasalah. Toh kalau ada apa-apa, ujung-ujungnya aku yang salah bahkan disalahkan,” ucap Diana tanpa sedikit pun melirik Milla. “Di, maaf.” Diana yang telanjur tidak mau berurusan dengan Milla, memilih pergi sambil menenteng ember pel-nya. “Di ….” “Aku ingin hidup tenang, Mil.” Air mata Diana seketika luruh, bersama luka tak berdarah yang kembali menyayat hatinya. Diana berlalu ke depan tanpa mengindahkan panggilan Milla. Tak disangka, Milla yang mengejar dan mengenakan sandal rumah justru tak sengaja menginjak air bekas ember pel dan belum sempat Diana bereskan. “Ah!” Teriakan Milla dibarengi dengan suara terjatuh. Diana yang mendengarnya refleks berhenti, kemudian menoleh untuk memastikan. Selain dunia Diana yang mendadak berputar lebih lambat tak ubahnya adegan slow motion, Diana juga refleks menjatuhkan ember pel-nya. “Milla!” teriak Romi dari atas sana. Suara Romi yang terdengar menggelegar dipenuhi kekhawatiran, sukses meruntuhkan dunia Diana. Celaka, tak hanya Milla yang tak baik-baik saja. Melainkan Diana yang ceroboh dan telah membuat wanita kesayangan pria keji itu terluka. Diana, Wanita yang Terluka ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD