bc

Jaring Cinta Sang Bodyguard

book_age18+
5
FOLLOW
1K
READ
HE
stepfather
blue collar
drama
bxg
bold
brilliant
bodyguard
like
intro-logo
Blurb

Bodyguard The Series Hisyam Fayadh, salah satu pengawal andalan PBK, menjalani tugas sebagai manajer operasional PG cabang Eropa. Hisyam mendapatkan tugas tambahan dari bos pusat untuk mengawasi Utari Pratista Dewawarman yang tengah berlibur ke London. Utari yang ternyata sedang mengalami patah hati akibat dibohongi kekasihnya, Kiano, sering melamun hingga nyaris menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Hisyam menolong Utari dengan sigap. Dia juga berusaha membesarkan hati gadis tersebut yang benar-benar hancur. Seiring waktu, kedekatan mereka menimbulkan desiran di hati Hisyam. Namun, dia menahan diri karena Utari masih belum move on dari Kiano. Perlahan tetapi pasti, kepercayaan diri Utari telah kembali. Hatinya kian kuat dan gadis tersebut kembali ceria. Dia akhirnya memutuskan untuk menetap di London dan membantu Hisyam serta rekan-rekan di kantor cabang PG Hisyam akhirnya memberanikan diri menyatakan cinta. Pada awalnya Utari ragu-ragu, tetapi akhirnya dia menerima cinta Hisyam karena merasa nyaman dan tenang dengan pria tersebut. Tiba-tiba Kiano muncul di London dan meminta Utari untuk kembali padanya. Utari menolak karena tidak mau lagi dikecewakan sang mantan. Hisyam yang mendapatkan dukungan dari ketiga Kakak Utari, akhirnya mengajak gadis itu pulang ke Indonesia tanpa diketahui Kiano. Setibanya di Jakarta, Hisyam menghadap keluarga Utari dan melamar gadis tersebut dengan sungguh-sungguh. Namun, lamaran itu ditolak Sulistiana, Ibu Itari, yang telah memilihkan jodoh buat putri bungsunya. Akankah Hisyam dan Utari berhasil melalui semua rintangan kehidupan? Apakah mereka akan bersatu dalam mahligai pernikahan?

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Penolongku
01 "Awas!" seru seorang pria bersweter abu-abu, sambil menarik orang di depannya. Pekikan orang-orang yang berada di tepi jalan raya Kota London, mengiringi gerakan cepat Hisyam Fayadh yang berhasil menjauhkan seorang perempuan berambut panjang, yang nyaris ditabrak mobil di perempatan itu. "Astagfirullah!" jerit Utari Pratista Dewawarman, sembari mengusap dadanya yang berdebar-debar. "Ya, Allah," rintihnya sambil mengatur napas yang sempat tercekat. "Non, nggak apa-apa, kan?" tanya Hisyam Fayadh, pengawal lapis tiga PBK yang tengah menemani Utari jalan. "Ehm, ya, aku nggak apa-apa," cicit Utari sembari memejamkan mata. "Lututku lemas," rengeknya. Hisyam memindai sekitar, kemudian dia menuntun Utari ke salah satu kafe kecil di tepi jalan. Keduanya menempati kursi di meja terdepan. Pegawai kafe segera memberikan minuman pada Utari, karena dia memahami jika perempuan tersebut tengah syok. "Non melamun," ucap Hisyam sambil memandangi Nona muda keluarga Dewawarman di kursi samping kanan. Utari tidak langsung menyahut. Dia memperhatikan lokasi di mana dirinya hampir saja tertabrak mobil yang melintas. "Aku ... ehm, ya. Pikiranku sempat kacau tadi," akunya. "Dan ini kejadian kedua kalinya sejak Nona datang ke sini minggu lalu." Utari mendengkus pelan. "Maaf, aku merepotkan." "Bukan ngerepotin, tapi bikin aku deg-degan." Utari meringis karena malu. "Ya, Bang. Sorry." "Kalau lagi jalan, usahakan jangan melamun. Untung tadi sopirnya sempat ngerem. Kalau nggak, Non pasti sudah terpelanting." "Hmm, ya." Utari menatap lelaki berparas manis yang balas memandanginya saksama. "Makasih. Lagi-lagi Abang jadi penolongku," ungkapnya. "Sudah kewajibanku menjaga Nona." "Abang kenapa masih manggil aku Nona?" "Lidahku sudah terbiasa nyebut itu." "Aku yang kagok, karena ajudanku nggak ada yang manggil Nona." "Lalu, dipanggil apa?" "Kakak." "Bukan Mbak?" "Itu panggilan buat Mbak Sekar." Hisyam manggut-manggut. "Jadi, aku panggil Kakak juga." "Ehh, nggak usah. Panggil nama aja." "Enggak sopan itu. Aku, kan, ajudan." "Tapi, Abang lebih tua dariku. Jadi, boleh panggil nama. Kayak Bang Yusuf, Bang Aditya dan Bang Sanjaya, mereka manggil aku, Tari. Sama kayak teman-teman dan keluarga." "Pak Heru, Bu Sekar dan Pak Aric, ngizinin, ya?" "Hu um. Enggak apa-apa, kok. Kita cuma beda pekerjaan." "Tapi, Non dari keluarga bos. Jelas kita beda status." "Yang kaya itu, orang tuaku, Bang. Aku cuma numpang hidup. Rumah pribadi juga nggak punya. Aku pun masih menggantungkan diri dari gaji sebagai pegawai di perusahaan keluarga." Percakapan tersebut terjeda karena pegawai kafe menanyakan kondisi Utari. Gadis berparas manis menjelaskan bila dirinya sudah lebih tenang. Utari juga tidak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian dia meminta daftar menu yang segera diberikan sang pegawai. "Abang, mau pesan apa?" tanya Utari sambil meneliti deretan menu berbahasa Inggris. "Aku mau minum aja. Kopi dengan dua sendok gula premium," seloroh Hisyam. "Ihh! Itu, kan, Koko Dante!" Hisyam mengulaskan senyuman. "Ternyata Non hafal kebiasaan Papa Erlangga." "Kan! Non lagi. Dibilangin juga, panggil Tari." "Aku mau manggil yang beda dari yang lain." "Apa?" "Tista.' "Kayak aneh dengarnya " "Itu, kan, nama belakang Non." "Enggak ada yang manggil aku begitu. Rata-rata nyebut Tari." "Aku, kan, mau beda manggilnya." "Enggak usah. Aneh banget dengarnya." "Ehm, atau ini. Uut." Utari melengos. "Ternyata benar kata teman-teman. Abang usil banget." "Teman-teman yang mana?" "Adik-adik bos PG." "Oh, kalian sering ngomongin aku, ya?" "Enggak sering, tapi lumayan kesebut. Terutama karena Abang dulu sempat pacaran sama Laura." Hisyam mengusap wajahnya dengan tangan kanan. "Tolong, yang itu jangan disebut lagi." "Kenapa? Apa karena Abang masih cinta sama dia?" "Enggak. Sudah lewat setahun. Hatiku sudah kembali ke bentuk semula." Utari menumpangkan dagunya ke telapak tangan kanan. "Kudengar, Laura sudah punya pacar." "Ya, Ari ada cerita itu ke aku. Enggak apa-apa. Itu hak dia." "Duh! Aku jadi kangen Bang Ari. Pengawal berlesung pipi favoritku." Hisyam menyunggingkan senyuman lebar. "Kalau Yusuf dengar Non bilang gitu, dia pasti ngambek." "Bang Yusuf memang cakep dan imut. Tapi, kalau Bang Ari senyum, semua cowok di hadapanku langsung nggak kelihatan." Hisyam terkekeh, sedangkan Utari tersenyum. Setelah tawanya menghilang, Hisyam menarik daftar menu dari sang nona, untuk mengecek makanan yang ingin dipesannya. *** Langit malam bertabur bintang. Bulan mempertontonkan bentuk sempurna yang memukau siapa pun yang melihatnya. Dedaunan di dahan bergoyang tertiup angin yang berembus cukup kencang dan menciptakan kesejukan. Utari menghentikan membaca novel romantus komedi mix action yang berjudul CEO Drama King yang tayang di Innovel. Dia memegangi ponsel dengan tangan kiri, lalu menajamkan telinga untuk mendengarkan suara-suara dari bawah. Gadis bersweter merah muda beringsut ke tepi kasur, lalu menjejakkan kaki ke sandal lembut. Utari berdiri dan jalan menuju jendela kamarnya yang menghadap ke depan rumah. Putri bungsu keluarga Dewawarman mengintip ke bawah. Kala melihat beberapa orang tengah menyiapkan panggangan, Utari memutuskan untuk turun. Dia merapikan rambut di depan cermin, kemudian bergegas keluar. Setibanya di teras, gadis berhidung bangir mengamati beberapa laki-laki yang sedang menyiapkan berbagai makanan yang hendak dipanggang. Utari hendak mendekat, tetapi tangannya ditarik Fatma, pengawal perempuan yang menemani Utari selama di London. "Kita di sini aja, Kak. Di sana nanti kena asap," papar Fatma. "Ehm, aku lupa bakal nggak kuat nyium asap," sahut Utari. "Kita duduk di sini." Fatma memindai sekitar. "Bentar, Kak. Aku ambil karpet," lanjutnya. "Enggak usah. Lantainya bersih, kan." "Tadi sore debu sempat naik. Aku lupa mau nyapu." "Ambil sapu dan kain lap. Kita bersihkan sama-sama." Kedua gadis bekerja cepat selama beberapa menit. Kemudian mereka duduk bersila sambil menyandarkan punggung ke dinding. Para pria bergurau sambil terbahak. Utari memandangi mereka sambil mengulum senyuman. Dia teringat tingkah para pengawal di rumah Heru, Kakak tertuanya, yang juga akan bertingkah serupa seperti Hisyam dan teman-temannya. Tanpa sadar Utari mengamati pria berkulit kecokelatan yang merupakan sahabat dari mantan ketua pengawal Dewawarman. Yusuf, Hisyam dan Jauhari dikenal semua orang yang menggunakan jasa pengamanan dari PBK, sebagai Three Cutie Bodyguard. Kendatipun mereka berasal dari perusahaan yang berbeda, tetapi saat pendidikan dan pelatihan tingkat pertama yang diadakan PBK, ketiga lelaki tersebut langsung akrab. Bersama Aditya, Nanang, dan para pengawal lapis tiga serta empat, Hisyam dan kedua rekannya menjadi pengawal muda andalan petinggi PBK dan bos PG serta PC. PBK adalah perusahaan jasa keamanan yang merupakan kesatuan dengan PB. Bila PBK menangani pengawal, PB menyediakan jasa security di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Pemilik kedua perusahaan tersebut adalah keluarga Pramudya dan keluarga Baltissen. Anak-anak kedua keluarga itu bekerjasama membangun bidang bisnis baru, yang berkembang pesat hingga berhasil menembus mancanegara. Di Eropa, anggota PBK menyebar di beberapa negara. Selain itu mereka juga diperbantukan untuk memperlancar bisnis PG, yakni perusahaan gabungan dari lima puluh pengusaha muda Indonesia. PG yang telah lebih dulu memperluas jaringan di Eropa, mempekerjakan semua pengawal yang bertugas di London. Kantor cabang PG dipimpin oleh Adelard Diovandri, salah satu anggota PG yang telah beberapa tahun menetap di kota itu. Sementara PBK yang berkantor di gedung yang sama dengan PG, dipimpin Mardi dan Jaka. Keduanya merupakan pengawal lapis dua PBK, sekaligus senior Hisyam dan rekan-rekannya. Hisyam menjabat sebagai manajer operasional PG dan PBK. Bersama Beni, Sudrajat dan yang lainnya, mereka bahu-membahu membantu pelaksanaan tugas PG serta PBK cabang Eropa. Di rumah dua lantai itu, Hisyam tinggal bersama semua pengawal yang masih bujangan. Sementara Mardi, Adelard, Jaka dan istrinya, Hanania, tinggal di rumah sebelah kiri yang merupakan properti pribadi milik Marley Yudhana Pramudya, putra ketiga pengusaha Sultan Pramudya. Pada awal pendirian PG, Marley menetap di London bersama keluarganya. Setelah Adelard menggantikan posisinya, Marley dan keluarga kembali ke Indonesia semenjak setahun silam. Puluhan menit berlalu, Utari dan Fatma tengah menikmati hidangan ketika ponsel sang nona berdering. Utari mengamati layar ponsel untuk mengecek nama penelepon. Dia seketika mengeluh saat mengetahui bila sang ibu yang telah menghubunginya. Utari hendak mengabaikan panggilan itu. Namun, karena ponselnya tidak berhenti berbunyi, akhirnya Utari menggeser tanda hijau pada layar, lalu menyalakan pengeras suara. Gadis berleher jenjang seketika menjengit mendengar panggilan bernada tinggi dari Sulistiana. Utari akhirnya menonaktifkan pengeras suara, lalu mengangkat ponsel dan menempelkannya ke telinga kiri. "Waalaikumsalam," ucap Utari untuk membalas sapaan ibunya. "Lama sekali kamu mengangkat telepon, Dek," ungkap Sulistiana dari seberang telepon. "Aku lagi makan, Bu. Tangannya kotor, jadi nggak bisa langsung angkat hape." Sulistiana tercenung Dia melirik jam dinding karena baru menyadari perbedaan waktu antara Indonesia dan London. "Di sana, jam berapa?" tanyanya. "Jam tujuh lewat." "Ehm, ya. Ibu lupa kalau di Indonesia lebih cepat waktunya." "Ibu habis tahajud?" "Ya, habis ini mau sahur." "Kalau sedang kurang sehat, stop dulu puasa Daud-nya." "Ibu sehat, kok. Tekanan darah, normal. Gula, standar. Pokoknya, aman." "Syukurlah." "Dek, kamu kapan mau pulang?" "Belum tahu." "Jangan lama-lama. Enggak baik anak gadis keluyuran terus." "Aku butuh liburan, Bu. Capek kerja mulu. Lagi pula di sini aku nyambi bantu-bantu Kang Adelard." "Dia ada di situ?" "Ada." "Ibu mau ngomong sebentar." "Ehm, lagi makan dia, Bu. Enggak enak aku mau ganggu." "Sebentar aja. Kamu pegangin ponselnya biar dia bisa terus makan." Utari mengeluh dalam hati. Namun, dia tidak mau membantah dan memutuskan mengerjakan permintaan ibunya. Adelard mengelap tangan kanannya dengan tisu, sebelum meraih ponsel yang diulurkan Utari. Pria berparas seperempat luar negeri mengangguk paham ketika bibir Utari komat-kamit membentuk kata-kata. Adelard berbincang dengan sopan pada Sulistiana. Dia mengiakan ucapan perempuan tua yang dikenalnya dengan baik. "Ibu bilang, aku harus membujukmu pulang," cakap Adelard, sesaat setelah dia memutuskan panggilan telepon. "Aku belum mau pulang," tolak Utari. "Kamu omongin langsung ke Ibu." "Sudah, tapi Ibu ngotot." "Minta bantu ke Mas Heru." Utari menggeleng. "Besok aku mau nelepon Mas Tio, biar beliau yang membujuk Ibu. Karena cuma Mas Tio yang dipercaya Ibu. Omongan ketiga kakakku, diabaikan." Adelard tersenyum. "Padahal, di PG, Mas Heru merupakan salah satu senior yang disegani." "Bagi Ibu, Mas Heru tetap bocah laki-laki kesayangannya." "Yang tidak boleh dibentak siapa pun." "Plus nggak boleh dipelototin." "Dan Pak Heru tetap nggak boleh naik sepeda keliling kompleks," sela Hisyam yang sejak tadi mendengarkan percakapan tersebut. "Itu dia. Sayang banget itu sepeda mahal-mahal akhirnya cuma dipajang," ungkap Utari sembari menggeleng. "Dimaklumi aja. Pak Heru anak pertama, pasti lebih spesial di hati Ibu," balas Hisyam. "Paling cakep dan pintar." "Daddy Bas pasti ngomel kalau ada yang muji Pak Heru." "Aku heran sama dua Bapak itu. Kalau ketemu, berantem. Enggak ketemu, pada heboh nyari." "Mereka saling mencintai," kelakar Adelard. "Habis itu Pak Bas langsung bilang gini." Hisyam menirukan gaya khas salah satu bos kesayangannya. "Ru, jauh-jauh dariku. Aku tahu, kamu berniat jadi pebinor dan merebut istriku," terangnya yang menciptakan gelakak orang-orang di sekitar.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
14.3K
bc

My Secret Little Wife

read
100.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
208.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
191.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook