"HA ... HA ...HA ...HA ...." tawa Ki Selo yang terdengar membahana serasa memenuhi seluruh ruangan itu, bahkan gemanya terasa memenuhi jiwa merajut kengerian di dalam sana.
"Kenapa kamu takut memandangku? Buat apa kamu ke sini kalau kamu saja takut padaku!" bentak Ki Selo dengan pandangan mengintimidasi, hingga semakin menciutlah nyali Rangga. Tangannya sedikit bergetar, lelaki itu berusaha menyembunyikan dengan mengepalkannya.
Sebagai pria terpelajar dan berpikiran modern tentulah hal-hal mistis sulit ia percaya, tapi kini ... berada di sini dan dalam situasi seperti ini membuat semua ilmu yang ia pelajari selama bertahun-tahun terasa tiada guna, melihat tongkat Ki Selo yang bisa berdiri tegak tanpa dipegang pun rasanya sudah di luar nalar.
"Begini, Ki. Maks---" perkataan Handoko yang terkesan sangat berhati-hati terhenti melihat tangan Ki Selo terangkat memberi pertanda agar dirinya diam.
"Siapa yang punya hajat di sini. Dia yang harus mengatakannya, dan memohon bantuanku." tegas Ki selo. Pandangannya bengis dan tajam bagai srigala yang siap menerkam mangsanya.
Sekilas Rangga melirik ragu pada Handoko, yang memberi kode agar ia cepat berbicara.
"Be--begini ... Ki. Ma--maksud kedatangan saya ke sini, untuk memohon pertolongan Ki Selo." terbata, Rangga mengumpulkan segenap keberaniannya untuk menatap wajah garang Ki Selo. Wajah itu tetap terlihat sangar walau sudah dipenuhi keriput pertanda jika usianya memang sudah tidak muda lagi..
"Tolong saya agar bisa memenangkan pemilihan lurah desa Genilangit." imbuh Rangga mantap. Karena tatap Ki Selo semakin tajam padanya, seolah mencari sebuah kesungguhan di dalam sana.
"Kenapa kamu ingin menjadi lurah?" tanya Ki Selo tegas.
"Saya ingin mengalahkan saingan saya. Saya harus menang darinya, saya harus membuktikan kalau saya memang jauh lebih baik dari dia! Dalam hal apapun." jawab Rangga mengepalkan tangan mengingat wajah Panji yang selalu tersenyum sungar mengejeknya.
"Ha ... Ha ... Ha ... Ha ...." tawa Ki Selo kembali memenuhi ruangan, bahkan kini terdengar seiolah bersahutan dengan suara burung hantu yang sepertinya bertengger di atap rumah ini. Membuat Rangga dan Handoko menggidikkan bahunya.
"Kamu memang harus memiliki tekad yang kuat. Karena apa yang kamu minta tidak mudah, keluarga Kertayudha memiliki trah keluarga penguasa Genilangit. Kalau kamu ingin mengalahkan mereka berarti kamu memintaku melawan leluhur mereka. Dan kamu harus memberikan imbalan yang setimpal kepada mereka." Mata Ki Selo menatap ke langit-langi rumahnya seolah menunjukkan pada Rangga siapa yang ia panggil mereka.
Tapi yang Rangga lihat hanya genteng yang tersusun rapi di atas kayu usuk dan reng, bulu kuduknya meremang seketika, tulangnya terasa lunglai dikuasai ketakutan. Tapi benar yang Ki Selo bilang, tekadnya harus kuat untuk mengalahkan Panji.
"Saya yakin, Ki. Sejak dulu saya sudah bertekad untuk mengalahkannya." jawab Rangga penuh keyakinan.
"Sebaiknya kamu harus berfikir ribuan kali lagi, kamu akan terikat perjanjian dengan mereka seumur hidupmu!" tegas Ki Selo.
Sejenak Rangga terdiam dia teringat sudah banyak waktu dan materinya terbuang untuk pemilihan lurah ini. Tapi sayangnya menurut laporan antek-anteknya warga desa yang semula berikrar untuk memilihnya sebagai lurah sebagian besar berputar haluan. Kembali mendukung Panji sebagai junjungannya.
Waktu pemilihan pun tidak lama lagi, terhitung hanya dua minggu setelah hari ini. Mau tidak mau jalan inilah satu-satunya, jika ada pilihan lain tentu saja Rangga menolak ajakan Handoko untuk menemui Ki Selo.
Kalah tentu bukan pilihan menyenangkan jika ketika terakhir bertemu Panji di balai desa saja dia sudah mengejeknya habis-habisan.
Harga dirinya tentu akan sangat terinjak-injak jika dia tidak jadi pemenang.
"Saya yakin, Ki. Apapun konsekwensinya akan saya jalani." jawab Rangga. Kini ia sudah bisa duduk tegap, tidak lagi membungkuk seperti tadi.
"Baiklah." hanya itu jawaban Ki Selo. Lalu hening, hanya suara binatang malam yang terdengar.
Ketenangan Rangga sedikit terusik saat indera penciumannya menangkap aroma lain yang berhembus, bukan aroma dupa atau getah damar yang terbakar sebagai obor. Namun, aroma bunga yang semerbak wanginya.
Matanya terbelalak antara terkejut dan terkagum melihat seorang wanita, cantik, bertubuh semampai, langsing dan ah ... memiliki lekuk tubuh sempurna yang pastinya bisa membuat setiap lelaki meneteskan air liur jika memandangnya berjalan perlahan ke arah mereka. Rambutnya yang hitam, ikal dan panjang tergerai sebatas pinggang. Ia mengenakan selendang yang menutupi kepala dan separuh wajahnya, meskipun begitu Rangga masih bisa melihat wajah cantiknya. Cantik hingga membuat Rangga terpesona.
Wanita itu beringsut duduk bersimpuh di samping Ki Selo, berada di antara Ki Selo dan Rangga yang terlihat menarik nafas mengatur debaran dalam d**a. Namun, Handoko yang bersila di sebelahnya malah bergidik ngeri. Lalu memandang heran pada Rangga yang tengah terkesima.
Wanita itu dan Ki Selo berpandangane sejenak seolah mereka berbicara lewat kedua netra, lalu wanita itu mengeluarkan sebuah kotak kayu berukir indah di segala sisinya. Menaruhnya di hadapan Rangga lalu membuka tutupnya, seketika sebuah batu berkilau indah. Bentuknya bukan bulat atau oval mulus seperti yang biasa Rangga lihat di cincin besar milik tetangganya di Jogja. Tapi lebih mirip bongkahan berlian yang belum di asah, entah apa warnanya tidak bisa ia lihat jelas karena ruangan ini yang jauh dari kata terang. Hanya kilatannya saja yang terlihat menawan, lagi-lagi Rangga terpesona hingga ia bisa sejenak melupakan kengeriannya di rumah yang terletak di tengah hutan ini.
"Ini mustika ajijumantoro. Mustika yang bisa membuat seluruh manusia yang kamu kehendaki bertekuk lutut di kakimu. Jangankan menjadi lurah, menjadi raja pun kamu bisa!" suara jumawa Ki Selo memecah keheningan.
Wanita cantik itu mengulurkan sepiring kecil bunga tujuh rupa pada Rangga. Tanpa bersuara hanya seulas senyum tercipta.
"Taburkan bunga itu pada mustika ajijumantoro." perintah Ki Selo pada Rangga.
Dengan sedikit ragu, ia mengulurkan tangan mengambil sejimpit bunga dan menaburkan di atas mustika itu.
Hening.
Beberapa saat, Rangga mencuri-curi pandang pada gadis itu menyaksikan bibir sensualnya seperti komat-kamit merapalkan sesuatu. Rangga terkejut saat Handoko menyenggol sikunya, lalu memonyong-monyongkan bibirnya seolah memberi isyarat agar Rangga melihat ke arah mustika tersebut.
Kedua netra Rangga membulat sempurna melihat bunga segar yang baru saja ia taburkan di atas mustika itu mengering seperti sudah berhari-hari terpanggang matahari. Lagi-lagi logikanya kembali terbungkam, ia hanya bisa menelan saliva.
"Ada syarat yang harus kamu terima jika ingin membawa mustika ini bersamamu." ujar Ki Selo, mengejutkannya yang tengah berusaha mempercayai apa yang baru saja ia lihat. Memang sulit tapi ini benar-benar terjadi.
"Apa syaratnya, Ki?" tanya Rangga bersemangat, kini ia percaya bahwa mustika ini benar-benar bertuah.
"Kalau kamu ingin memiliki mustika ini, maka kamu juga harus memiliki pemiliknya." jawab Ki Selo.
Rangga memandang Handoko yang juga terlihat bingung, Handoko mengangkat kedua bahunya sesaat.
"Maksudnya, Ki?" tanya Rangga penasaran.