Bab 2

1479 Words
"Apa maksud kamu?" Mama melempar sendok dan garpu ke lantai dengan mata yang menatapku tajam. Padahal, sebelumnya mama belum pernah menunjukkan sisi yang seperti ini. "Tidak ada maksud. Aku hanya bertanya dan Mama juga hanya perlu menjawabnya," ucapku santai. Apa yang aku tanyakan tidak salah, jadi aku tidak perlu merasa takut apalagi kalau niat mama sudah terlihat sangat jelas. "Dion, tolong jelaskan apa yang dia tanyakan tadi! Bukankah itu semacam tuduhan?" pintanya pada Dion yang hanya menatap kami bergantian. "Tidak, Ma. Kakak ipar hanya bertanya. Lagi pula kenapa Mama membeberkan keunggulan wanita lain di hadapan kakak ipar yang jelas-jelas sudah menjadi istri sah Darren?" Dion malah kembali bertanya, tapi kali ini aku bahagia karena sepertinya dia ada di pihakku. "Jadi, kamu malah memilih untuk membelanya?" tanya mama geram dan aku bahkan baru pertama kali melihat sisinya yang seperti ini. "Tidak ada yang aku bela, Ma. Baik Mama ataupun kakak ipar, tidak ada yang salah. Aku hanya ingin tidak ada kesalahpahaman di antara kalian," jelas Dion, tapi mama tetap saja cemberut dan melanjutkan makannya dengan lahap, seperti tidak makan dari kemarin. Sementara aku tetap makan dengan elegan dan tenang. Seolah tidak ada keributan di depan mata. Permasalahan hidupku sudah sangat banyak, jadi aku tidak mau menambah pikiran hanya untuk mengkhawatirkan hal-hal yang tidak ada. Aku memang tahu siapa Rina yang mama maksud, hanya saja aku tidak tahu kalau ternyata mama punya niat untuk mendekatkan wanita itu dengan Mas Darren. Untungnya dia berbicara tepat di depanku, jadi aku tahu pilihan apa yang harus aku buat, walaupun untuk sementara harus bertahan agar aku punya tabungan dulu. "Mama mau apel," ucapnya dan bergegas aku menyiapkannya. "Kupas, dong!" pintanya lagi dengan mata yang lebih tajam. Aku langsung mengupasnya tanpa membantah. Padahal, biasanya mama tidak suka makan apel yang sudah dikupas, tapi sekarang malah minta bahkan nada bicaranya sedikit ditekan. Seolah aku adalah pembantu. Bisanya juga mama ke sini tidak lama dan setelah makan langsung pulang, tapi tidak kali ini. Dia malah masuk ke ruang televisi dan bersantai dengan selonjoran. Awalnya aku berpikir kalau mama mungkin sedang lelah, tapi kalau terlalu lama, aku malah semakin heran karena sikapnya tidak biasa. Ketika mendengar dering ponsel dari atas, aku segera berjalan cepat menaiki anak tangga, dan masuk ke dalam kamar yang ada di depan tangga. Ternyata telepon dari Maya. "Assalamu'alaikum, May," sapaku pelan. Aku tidak mau mama dan Dion mendengar percakapan kita. "Wa'alaikumussalam warahmatullah. Apa kabar, Anya?" "Alhamdulillah baik, kamu sendiri?" "Aku juga baik, tapi aku tidak yakin kamu baik-baik saja," jawabnya membuatku tertegun. "Aku baik, kok. Memangnya kenapa sampai kamu berpikir aku seperti itu?" "Aku barusan melihat Darren dengan wanita lain di restoran. Mereka bahkan saling bergandengan tangan dan terlihat sangat mesra," jelasnya dan dadaku langsung terasa sakit, perih, bahkan seperti luka yang tersiram cuka. "Kamu sungguh tidak apa?" tanyanya lagi. "Tidak apa, Maya. Sekarang sedang ada mertuaku dengan Dion, nanti aku hubungi lagi kalau mereka sudah pulang, ya," pintaku, lalu mengucapkan salam. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka begitu saja, padahal aku ingat betul sudah menguncinya. "Apa yang kalian bicarakan? Kenapa harus menunggu aku pulang ke rumah?" tanya mama yang baru saja muncul dari balik pintu. "Tidak ada, hanya membicarakan kekonyolanku saja karena sudah percaya dengan orang yang salah, tapi kenapa mama bisa masuk ke sini bahkan punya kunci cadangan juga?" tanyaku penasaran dan mataku menatapnya lekat. "Mama diberikan Darren kemarin," jawabnya kaku kembali keluar. Aku yakin semuanya tidak sesederhana itu. Ditambah gelagatnya sedikit mencurigakan. Lima bulan pernikahan membuatku sadar kalau akhir-akhir ini mama terlihat berbeda seperti sebelumnya. Awalnya sih berpikir kalau semuanya hanya perasaan aku saja, tapi tidak untuk sekarang. Sepertinya aku harus benar-benar bertemu dengan Maya dan mendiskusikan hal ini. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk memendamnya sendirian. "Mama mau pulang sekarang," ucap mama pelan. Segera aku menyiapkan beberapa bungkus makanan untuk dibawanya pulang seperti biasa. Namun, Dion malah mendekatiku. "Mbak bisa bercerita padaku tentang apapun yang ada di hati dan pikiran Mbak," bisiknya seperti tahu sesuatu. Walau sebenarnya aku ingin, tapi tetap saja harus menahan diri karena tidak tahu dia berada di pihak siapa. "Tidak usah. Terima kasih sudah mengkhawatirkan saja," ucapku pelan tapi penuh penekanan. Setelah mobil mereka melaju cukup jauh, segera aku bersiap untuk bertemu dengan Maya. Namun, sebelum berangkat aku mengirimkan pesan lebih dulu kalau aku akan menemuinya di restoran miliknya. Alu mengunci semua pintu rumah, lalu mengirimkan pesan kepada Mas Darren kalau aku akan bertemu dengan Maya. Kemudian memesan kendaraan dari aplikasi. Walau di garasi ada mobil Mas Darren, tapi aku tidak bisa mengemudikannya. Jadi, aku selalu naik kendaraan umum. "Maya-nya ada?" tanyaku pada seorang kasir yang biasa berdiri di samping sahabatku. "Ada di lantai dua, Mbak." Segera aku menuju ke tempat yang dikatakan kasir itu dan ternyata dia sudah menunggu aku. "Lihat apa yang sedang dilakukan suamimu!" titahnya sambil melihat ke arah luar belakang yang memperlihatkan Mas Darren tengah menyuapi gadis yang dibawanya ke rumah tadi. "Kapan kamu bisa lepas dari dia, Anya? Dia bukan pria setia dan baik yang kita harapkan. Kalau terus dipertahankan, kamu juga yang akan terluka," lanjutnya dan aku hanya mengangguk kecil sambil terus memperhatikan mereka. Anehnya, aku sama sekali tidak melihat tatapan cinta di hatinya Mas Darren kepada gadis itu. Hanya tatapan biasa yang dia tunjukkan, saja seperti kepada wanita-wanita sebelumnya. "Sini masuk!" Anya berjalan ke arah sebuah ruangan yang terdapat benda-benda yang memperlihatkan semua gambar di semua sisi tempat. "Lihat kedekatan mereka!" pintanya lagi dan sambil menunjuk ke sebuah arah. Di mana mantan pacar Mas Darren yang kedua tengah berpegangan tangan dengan Dion. Aku menutup mulut tidak percaya, ternyata dia bisa melakukan hal ini di luar sikap baiknya padaku. Baru saja tadi dia menanyakan apa yang sedang aku pikirkan agar tidak terlalu membebani, tapi kalau melihat sikapnya yang sekarang, seolah yang dia katakan tadi hanyalah bualan. "Sudahlah, aku tidak ingin lagi mencari tahu terhadap semuanya. Aku ingin lepas dari Mas Darren," pungkasku membuatnya melihatku lekat. "Serius?" tanyanya meyakinkan. "Tentu saja. Memangnya siapa yang mau bertahan di pernikahan yang tidak sehat ini? Bahkan terkesan gila. Aku tidak mau, tapi aku sama sekali tidak punya uang untuk hidup di luaran sana. Jadi, aku harus menabung lebih dulu," jelasku. "Bagus. Untuk uang, kamu tidak perlu khawatir karena aku akan membantumu asalkan kamu mau berpisah dari pria itu," ucapnya bersemangat, tapi tidak mungkin bagiku untuk menerima tawarannya. Aku adalah orang yang tidak suka balas budi. Karena bagiku, balas budi itu tidak ternilai dan dibawa sampai mati. Makanya aku lebih baik berusaha sendiri daripada harus seperti ini. "Ada satu hal yang membuatku heran, dia kan orang kaya dan pembisnis juga, masa iya tidak pernah memberikan kamu uang?" tanyanya sambil menatapku lekat. Bahkan dia menatapku dari atas sampai bawah. "Pakaian yang kamu kenakan juga masih sama seperti dulu. Tidak ada yang bermerek." Aku mengembuskan napas kesal ketika sikap asli Maya keluar. Dia memang akan langsung mengatakan semuanya kalau menurutnya ada yang janggal. Seperti ini contohnya. Aku bahkan merasa dikuliti. "Yang kaya, dia bukan aku, May. Yang pembisnis juga dia. Selama ini dia memang menyerahkan uangnya padaku, tapi hanya cukup untuk membayar listrik, air, dan untuk kebutuhan lainnya." Aku menjawab sejujurnya dan dia hanya menggelengkan kepala. "Ditambah, aku lebih suka berusaha daripada memakai uangmu. Jadi, cukup berikan aku pekerjaan saja di sini agar aku bisa mengumpulkan uang dengan cepat," pintaku dan Maya lagi-lagi hanya mengangguk. "Kalau begitu aku pulang dulu!" Aku langsung pamit pergi ketika melihat Mas Darren dan Dion juga sudah tidak ada di tempatnya, berikut dengan mobilnya. Namun, ketika aku baru saja berjalan, tanganku ditarik seseorang ke dalam sebuah mobil. "Maaf, saya diperintahkan Bu Maya untuk mengantar anda selamat sampai tujuan. Ditambah suami anda katanya masih ada si sini," jelasnya. Memang demi kebaikan, tapi kenapa dia tidak bicara dari tadi? Dasar Maya. "Baiklah, tapi bukankah mobil suami saya sudah pergi dari parkiran restoran?" tanyaku memastikan. "Belum, Bu. Mereka ada di sana." Supir yang ada di depanku ini menunjuk ke sebuah benda yang memperlihatkan kalau mobil suamiku ternyata ada di belakang mobil ini. Apa tadi dia melihatku? "Tapi mereka tidak melihat anda. Saya langsung membawa anda masuk ke sini, jadi mereka tidak akan sadar," jelas supir ini lagi dan aku hanya mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih. Aku sampai di rumah lebih cepat dan langsung membereskan rumah karena takutnya Mas Darren langsung pulang ke sini. Benar saja, tidak lama deru mobil terdengar memasuki halaman. "Kamu tadi dari mana?" tanyanya tajam ketika melihatku, tanpa mengucapkan salam lebih dulu. "Aku dari restoran Maya, bukankah tadi aku sudah mengirimkan pesan?" tanyaku setenang mungkin, tapi lutut sudah gemetaran karena dia melihatku dengan tatapan yang berbeda. "Lain kali tidak boleh pergi kalau aku belum izinkan!" titahnya mulai mendominasi. "Tidak bisa, dong. Kamu saja berganti-ganti pacar terus, masa iya, aku tidak boleh ke mana-mana?" teriakku tidak terima. "Perjanjiannya seperti itu, Anya. Apa kamu lupa?" Mas Darren kembali mengingatkan tentang hal konyol yang sudah pernah aku lakukan. "Iya. Bukan hanya lupa, aku bahkan berniat untuk melupakannya. Mari kita berpisah, Mas!" ajakku tanpa sadar dengan setengah berteriak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD