5. Gara-gara lumpur

1125 Words
Dua tahun kemudian.  Kini, usia Triplet menginjak umur tiga tahun. Keyara dan Mika sibuk di dapur untuk membuatkan kue untuk ulang tahun anak-anaknya. Keyara tidak mau beli jadi, dengan alasan takut bahannya tidak berkualitas. Sepossesive itu ia pada anak-anaknya. Micin sauprit pun, tidak akan Keyara jejalkan pada anaknya. Karena takut mengganggu aktivitas istrinya, Gerald membawa Rex, Ray dan Rey ke taman belakang. Mengajak anak-anaknya berjemur biar sehat. "Papa. Main didayam!" celoteh Rey menunjuk-nunjuk rumahnya. "No Rey! " jawab Gerald. Karena Gerald yakin, kalau main di dalam rumah, sudah dipastikan dekorasi yang akan buat pesta malah diacak-acak oleh mahluk kecil-kecilnya. Gerald ingat saat ulang tahun triplet yang kedua tahun, ketiga anaknya mengotori lantai dengan bedak bayi hingga ada beberapa orang yang harus terpeleset. "Main lobot, Pa!" ucap Rey memohon. "Kita berjemur dulu, Rey. Mumpung masih jam sembilan pagi. Ayo, Papa pakein kacamatanya biar gak silau." ujar Gerald dengan lembut. Ia memasangkan kacamata hitam pada ketiga anaknya. "Gini udah keren semua," puji Gerald. "Keren apanya. Kayak dukun pijat," cibir Kris yang datang dengan menggendong anaknya. "Netijen ga boleh julid!" saut Rex menginjak kaki Kris dengan sekuat tenaga yang dia miliki. Kris tertawa ngakak. Injakan kaki bocil tidak akan membuatnya kesakitan. "Heh tuyul! Sok-sokan ngomongin netijen lo. Tau apa lo soal netijen. Tidur aja masih ngompol gayanya selangit! " ejek Kris. " Lo ngapain sih ganggu ketenangan keluarga gue? Lo mulu yang muncul. Bikin gue eneg," ucap Gerald. "Lo sama kakak ipar gak ada sopan-sopannya. Gue kutuk jadi batu lo!" ancam Kris. Gerald menghela nafasnya. Kakak iparnya hobby banget menyulut api kekesalannya. "Punakuu!" teriakan Rey yang nyaring membuat Gerald dan Kris menoleh. Ray dan Rey sedang cakar-cakaran rebutan benda yang entah apa. "Punaku!" pekik Ray tidak mau kalah. Ia berusaha mengambil sesuatu yang ia temukan dibawah pohon mangga. "Punaku!" "Udah-udah jangan berantem. Papa lihat dulu, apa yang kalian rebutin!" ujar Gerald menarik Ray untuk tidak lagi menyerang Rey. "Mana? Papa mau lihat dulu!" pinta Gerald saat Ray menggenggam barang yang tadi mereka rebutkan. "Ni pa!" ucap Ray menyerahkan buah mangga yang masih kecil. Atau namanya pencit. Buah mangga kecil tapi udah jatuh. "Ini cuma buah mangga, sayang. Diatas banyak tuh!" tunjuk Gerald pada pohon mangga yang banyak buahnya. "Bauna wangi, Pah!" ucap Ray merebut kembali mangga kecil itu dari tangan papanya. Ray memang suka sekali dengan mangga. Katanya, baunya enak. "Dasar bapak kaya tapi pelit. Beliin mangga anak aja gak bisa. Sampai buat rebutan!" sinis Kris. Gerald mengeram tertahan. Kenapa manusia laknat itu masih berdiri disana. "Huwaaaa!!!!" tangis Rey pecah membuat Gerald gelagapan. "Cup cup! Kenapa pake nangis sih?" tanya Gerald heran. "Ntu Paa!! Atu mau mangga!. Huwaaaa!" jawab Rey menunjuk-nunjuk mangga yang dipegang Ray. "Dasar cupu. Gitu aja nangis!" cibir Kris yang memang rasa julid nya melebihi apapun. "Lo kalau ngomong ngaca dulu! Noh lihat anak lo yang umur lima tahun. Hobby nya ngemutin jari. Bikin ilfil cewek-cewek calon pacar dia!" teriak Gerald sambil menarik tangan Alfath yang tengah mengemut jarinya. Air liur langsung membasahi jari bocah itu. Karena takut dengan wajah garang Gerald. Alfath menangis kencang. Gerald tersenyum sinis. "Cupu! Gitu aja nangis!" cibir Gerald tersenyum puas. "Woy! Lo menjolimi anak gue. Calon good boy masa depan! Awas aja lo. Tiga krucil lo gue jeburi ke panci soup ayam!" ucap Kris mencak-mencak. Ia paling tidak suka kalau ada yang mengganggu putranya. Gerald tidak peduli dengan ocehan Kris. Gerald memelototkan matanya saat Alfath memandang kearahnya. Membuat bocah itu menangis lebih kencang. Kris berjalan menjauhi Gerald. Menimang-nimang anaknya agar tidak menangis lagi. Alfath sangat manja. Meski sudah berumur lima tahun, bocah itu sering minta digendong. Namun, Kris sama sekali tidak keberatan. Alfath adalah harta paling berharga. Yang bila ditukar dengan apapun tak akan dia lepaskan. Gerald menolehkan kepalanya ke samping. Ia membulatkan matanya saat ketiga anaknya sudah tidak ada di tempatnya. "Rex, Ray, Rey!" panggil Gerald dengan suara keras. Matanya mencari-cari keberadaan anaknya. Tapi, tidak ada yang menampakkan batang hidungnya. "Rex, Ray, Rey!" panggilnya lagi. Tidak ada sautan apapun. Gerald berjalan ke halaman samping kanan rumahnya. Mereka tidak ada disana. "Gara-gara Kris semua jadi runyam!" kesal Gerald berbalik menuju halaman kiri tempat bunga-bunga ditanam. "Yang kenceng Rel!" teriak Ray menyuruh kakaknya melompat lebih kencang. Rex mengikuti saran adiknya. Bocah berumur tiga tahun itu berlari kencang dan menjatuhkan dirinya di genangan air. Hingga air yang bercampur lumpur itu menyiprat kearah Ray dan Rey yang langsung tertawa. Tadi malam hujan deras. Itu sebabnya ada genangan air disana. Karena tanahnya tidak rata. Genangan itu juga belum sepenuhnya surut. Bocah-bocah kecil itu seperti menemukan berlian saat mengetahui ada genangan Air. Mereka berjingkrak senang saat bermain-main disana. "Gantian atu!" ucap Rey. Rex segera keluar dari genangan air itu. Rey berlari tak kalah kencang. Karena tidak hati-hati, ia terpeleset jatuh tepat di genangan air dengan tengkurap. "Huwaaaaaaa!!!" kumat lagi tangisan Rey. Rex dan Ray bukannya menolong malah menertawakan Rey. Membuat Rey berteriak kesal menyipratkan air pada saudaranya. "Dasal boncel. Dah tau jatuh malah tidulan. Ayo bangun!" ucap Rex yang sudah kasihan melihat Rey. Rex membantu Ray berdiri. Mengusap wajah adiknya yang kotor. "Mana yang takit?" tanya Rex. Rey menunjuk dagunya. Dan dengan sigap, Rex langsung mengusap-usap dagu Rey yang sebenarnya tidak luka. "Ekheeem!" Rex, Ray dan Rey menoleh ke sumber suara. Ray dan Rey langsung berdiri di balik punggung kecil Rex. Apalagi Rey yang mendorong Rex untuk maju kearah Papanya. "Papa!" panggil Rex pura-pura terkejoed. "Papa udah pernah bilang apa?" tanya Gerald seoalah berfikir. "Rel, jawab!" bisik Ray. Rey juga ikut krasak krusuk menyuruh Rex untuk menjawab pertanyaan Papanya. "Kalau ada yang jatuh, gak boleh diketawain. Halus ditolongin!" jawab Rex sambil memelintir kaos yang digunakan. Rex yang memang lebih lancar berbicara dan punya daya ingat bagus, tidak kesulitan sama sekali menjawab pertanyaan Papanya. "Trus kenapa tadi Rey jatuh malah diketawain?" tanya Gerald. Rex menarik tangan Ray untuk ikut menghadapi Papanya. Ray malah mundur-mundur. "Ray, ayok sini! Kalau salah harus ngakuin!" tegas Gerald menyuruh Ray mendekat. Takut-takut, Ray juga mendekat. Gerald berjongkok. Membawa tubuh kotor anak-anaknya untuk mendekat. "Papa gak larang kalian main. Apapun mainannya. Mau main lumpur juga gak masalah. Tapi, kalau ada salah satu dari kalian terjatuh, harus ditolongin!" jelas Gerald pelan-pelan agar anaknya yang masih tiga tahun mengerti. Gerald tak pernah melarang anaknya main kotor-kotoran. Tapi, Gerald tidak suka kalau anaknya berbuat sesuatu yang nantinya akan tertanam sampai dewasa. "Ngetawain orang jatuh itu, namanya mengejek. Gak boleh. Kalau kamu sendiri yang jatuh, diketawain pasti juga akan nangis, kan?" Rex dan Ray mengangguk. Sedangkan Rey, diam-diam matanya terasa perih karena niat ingin menghapus air mata malah kelilipan tanah. Tapi, ia tidak berani mau bilang. "Pinter-pinter anak Papa!" puji Gerald mengusap bergantian puncak kepala anaknya. "Ayok siapa yang mau mandi bareng Papa?" tanya Gerald semangat. "Aku! " "Aku! " "Aku! " Jawab Rex, Ray dan Rey dengan kompak. Bocah-bocah itu berjingkrak dengan senang. Main air adalah kesukaan mereka bertiga. Apalagi kalau mandi dengan Papanya. Pasti Papanya akan menyemprot tubuh mereka dengan shower yang mengucur air menyegarkan. Rex kurang suka mandi di bak. Katanya seperti anak kecil saja. Ray dan Rey pun ikut-ikutan tidak mau mandi di Bak. Maunya mandi di semprot dari shower kayak air hujan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD