Bab 2 - Satu Lawan Satu

1712 Words
Setelah melakukan hal aneh kepada Lass, Tequr tidak menyerang pihak kami sama sekali. Dia hanya memamerkan suara tawanya yang menyebalkan di udara perang yang sudah bercampur bau darah. Jika dia terus memilih tidak berwujud, maka akan sulit bagiku untuk menyerangnya. Aku harus memprovokasi penyihir gila itu. “Tequr Lolazar, hanya begitu saja wujud keberanianmu!?” seruku sekeras mungkin hingga mengalahkan raungan perang. “Hadapi aku, Eleandil, jenderal perang klan Daeron!” Mendengar Tuannya ditantang olehku, seorang Ogrotso level tinggi yang bersenjatakan kapak, menerjang ke arahku. Aku tidak pernah melawan musuh yang menggunakan kapak, jadi aku tidak akan menganggap enteng musuhku kali ini. Ogrotso berjanggut tebal itu mengayunkan kapaknya ke arahku, namun aku berhasil menghindarinya, dan balik menghunuskan pedangku ke arah kakinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, seranganku ke kaki musuh berhasil ditangkis dengan telak. Aku terkejut dengan kecepatan makhluk ini dalam membaca seranganku. Aku memasang kuda-kuda terbaik untuk melawan musuh merepotkan ini. Sebuah serangan kejutan kulepaskan. Aku mengganti fungsi pedangku menjadi sebuah busur panah, lalu dengan kecepatan tinggi, langsung melesatkan sebuah anak panah tepat ke kepala Ogrotso bertubuh pendek itu. Sekali lagi, seranganku berhasil ditangkis oleh si pengguna kapak. Ogrotso itu menerjang ke arahku setelah berhasil menangkis anak panah yang kutembakkan ke dahinya. Pertarungan jarak dekat pun tak terelakkan, antara sebilah pedang dan sebuah kapak. Lawanku ini tidak lebih cepat dariku, namun anehnya dia berhasil menangkis setiap serangan yang kuarahkan padanya. Belum lagi, kapak yang ada di tangannya itu sangat menguntungkan untuk menangkis serangan, karena lebar kepalanya yang jauh diatas pedang. Gerakannya terkesan berat, tetapi anehnya, dia melakukan setiap gerakan berat itu dengan sangat luwes, sehingga membuat gaya bertarungnya tampak ringan. Selain itu, dia adalah Ogrotso yang tidak memiliki stamina, sehingga kecepatan tangkisan maupun serangannya tidak berubah. Niatku untuk mengonfrontasi Tequr, harus mundur beberapa menit karena aku harus melawan Ogrotso ini. Pertarunganku dengan mantan kurcaci ini terus berimbang. Kami berdua sama-sama berhasil menggoreskan luka di badan satu sama lain. Tebasan pedangku berhasil mengenai kakinya, sehingga sekarang dia melangkah dengan pincang. Namun, aku juga harus membayar akibat dari kelengahanku, dengan sebuah luka di lengan kiriku. Luka pertama yang kudapatkan dari perang ini. Ogrotso memang tidak memiliki stamina atau rasa sakit, namun tubuh mereka adalah tubuh yang fana. Sehingga saat mereka terluka, maka luka itu akan mempengaruhi gerakan mereka, meskipun tanpa rasa sakit yang menyertainya. Karena itu, sekarang aku sedikit lebih unggul, karena luka di kaki, lebih buruk dari pada luka di tangan saat sedang bertarung. Aku menekan rasa sakitku, dan langsung menerjang si Ogrotso, demi melancarkan serangan pamungkasku. Ogrotso itu berdiri diam di tempatnya untuk bersiap menerima seranganku. Dia membuka kedua kakinya selebar bahu, dengan kedua tangannya menggenggam erat kapak yang sangat mengganggu itu. Tidak ada efek kejutan dariku, namun hanya sebuah serangan sederhana. Aku membiarkan dia mengayunkan kapaknya ke arahku, tepat di saat aku melentingkan tubuhku ke belakang. Kapak menyebalkan itu mengayun bebas di atas wajahku, dan dengan kecepatan yang sangat tinggi, aku mengubah pedangku menjadi busur panah. Saat aku kembali dalam posisi berdiri di belakang si Ogroso, aku langsung menarik melepaskan anak panah ke kepalanya dengan jarak yang sangat dekat. Si Ogrotso tangguh ini berhasil menangkis anak panah yang mengarah ke bagian kepalanya, sesuai dugaanku dia terjebak. Karena saat dia bergerak untuk menangkis anak panahku, aku memanfaatkan waktu yang sempit itu untuk mengubah senjataku menjadi pedang lagi, dan menebas lehernya yang tanpa perlindungan, karena Ogrotso itu terlanjur melindungi area keningnya yang diincar oleh anak panahku. Darah segar mengalir dari lehernya setelah seranganku berhasil secara telak mengenainya. Namun, dia masih memiliki kekuatan untuk kembali mengayunkan kapaknya, sehingga aku langsung memenggal kepala Ogrotso ini. Seorang musuh yang sangat tangguh berhasil kukalahkan, dengan memakai teknik rumit, yang entah kapan terakhir kali kugunakan. “Aku terkesan denganmu Eleandil!” seru Tequr Lolazar dari udara kosong di sekelilingku. “Kau berhasil membunuh adik kandung dari Raja kaum kurcaci Gilboot, ternyata kau memang memiliki kemampuan bertarung yang mumpuni.” Adik kandung dari Raja kaum kurcaci juga jatuh dalam kendali orang ini. Apakah Tequr memang memiliki kekuatan sihir sebesar itu? Atau si kurcaci itu memang memiliki pikiran yang lemah, sehingga Tequr bisa menyusup ke dalam pikirannya? “Untuk itulah, aku bersedia melawanmu,” imbuh Tequr, disertai dengan sosoknya yang muncul dari asap hitam tepat di depanku. Tequr Lolazar memiliki wajah seorang manusia dengan kulit cerah yang indah, begitu pun wajahnya yang cukup tampan, jika memakai ukuran manusia. Namun, semua keindahan yang dimiliki Tequr hanya ada di bagian luar, karena karakter orang ini busuknya luar biasa. Aku tidak pernah bertemu dengannya selama hampir dua ratus tahun terakhir. Saat itu Tequr berkunjung ke Tekoa demi mempelajari sihir klan kami, langsung dari sumbernya, yaitu Tuan Daeron. Dua ratus tahun yang lalu, Tequr adalah seorang manusia yang haus akan pengetahuan dan kekuatan, namun tidak memiliki aura jahat sama sekali. Alasan itulah yang membuat Tuan Daeron mau menerimanya menjadi murid untuk ilmu sihir, bersamaku dan Briaron. Kami bertiga dididik oleh Tuan Daeron dengan adil, namun Tequr jauh lebih menonjol dalam sihir ketimbang aku, maupun Briaron yang lebih suka memainkan senjata. Karena Tuan Daeron yang selalu mengedepankan bakat alami murid-muridnya, maka akhirnya, dia hanya mengajar sihir elf kepada Tequr. Sedangkan untukku, Tuan Daeron membagikan pengetahuannya soal kombinasi dalam memakai senjata, hingga membuatku memiliki senjata yang merupakan gabungan pedang dan panah. Untuk anaknya sendiri, Briaron, Tuan Daeron mengajarkan kepemimpinan, dan sebuah rahasia tentang klan elf utama di pulau Zoinard. Secara teknis, Tequr memang adalah rekanku dalam mengikuti pengajaran Tuan Daeron. Namun, kami berdua sama-sama memilih untuk tidak pernah mengungkit hal tersebut, karena memang kami tidak pernah bertegur sapa, saat dia masing tinggal di Tekoa. Selain itu, hubungan kami bertambah buruk, terutama sejak Tequr mulai membuat eksperimen yang melibatkan warga Tekoa, hingga dia diusir langsung oleh Tuan Daeron dari Tekoa. Sekarang, kekuatan orang gila ini ada di puncaknya. Aku baru menyadari hal itu, saat aku mulai menghitung jumlah Ogrotso yang terlibat di pertarungan ini. Tequr Lolazar membawa kurang lebih enam ribu orang saat ini. “Kau tidak berubah, Lolazar,” cemoohku, sambil meregangkan semua sendiku setelah baru saja melawan seorang Ogrotso yang cukup kuat. “Hanya mengandalkan kemampuan sihir bodohmu, dan lari dari pertempuran yang sesungguhnya.” Tequr hanya menatapku dengan geli. Bagi orang ini, sihir adalah kekuatan utama yang mampu membuatnya menguasai banyak kerajaan di Ueter. Meskipun banyak orang meremehkan, bahkan menghina para penyihir yang hanya dapat bertarung dari jarak jauh, Tequr selalu mengabaikan cemoohan itu. Aku cukup mengenalnya, karena bagi Tequr, yang paling penting adalah hasil. “Sihirku mampu mengendalikan enam ribu dua ratus pikiran, dan mereka semua bertarung dari jarak dekat,” kilahnya. “Dan beberapa detik lalu, kau bahkan hampir tidak dapat mengalahkan si kurcaci.” Aku tidak menyangkali hal tersebut, faktanya adik kandung Raja kerajaan Gilboot memang memiliki kemampuan bertarung yang hebat, meski dia sudah diubah menjadi Ogrotso. Kaum elf memang memiliki permusuhan dengan kaum kurcaci, namun permusuhan antara ras kami hanya soal mempertahankan harga diri. Sejarah pun mencatat, bahwa sejak perang Ueter pertama, hingga perang Laustrowana ketiga, elf dan kurcaci selalu berada di pihak yang sama, untuk memperjuangkan kebajikan. Bisa dibilang, hubungan elf dan kurcaci lebih seperti saudara yang tak pernah akur, alih-alih sebagai musuh abadi. Aku mengubah pedang di tanganku menjadi sebuah busur panah. “Aku tidak dapat membayangkan kesulitan apa yang menantimu di kemudian hari. Jika Raja Gilboot tahu soal hal ini, maka dia tidak akan mengampunimu,” ancamku. Tequr tertawa terbahak-bahak sambil berkacak pinggang. Deru angin membuat jubah hitam kelamnya melambai dengan lembut, bahkan rambut hitamnya juga ikut tertiup angin dengan indahnya. “Dengan semua Ogrotso yang kumiliki, maka aku tidak perlu takut dengan Raja Gilboot sekali pun,” ejeknya. “Namun, Zoinard terlalu jauh, juga terlalu angkuh. Aku lebih menyukai Adon, dan Laustrowana yang tentram dan damai... dan juga sangat bodoh.” Pengenalanku akan karakter Tequr, membuatku berhasil membuatnya lengah. Penyihir gila ini paling suka dengan perdebatan yang saling menjatuhkan, karena dia sangat suka membanggakan dirinya sendiri. Selama aku mengajaknya berbicara, aku menangkap dua orang yang berbahaya sedang mengintai Tequr, sama sepertiku. Mereka berdua adalah Normen Harv, pria tua misterius yang bersenjatakan pedang besar di arah sebelah kanan. Jika pria tua itu sudah datang, maka aliansi prajurit dari seluruh Adon yang dia kumpulkan bersama Gala, seharusnya juga sudah datang. Di sebelah kiri jauh Tequr, ada Yared, pemuda dengan anugerah hebat, yang bisa aktif saat dia dalam keadaan terancam. Keduanya sejak tadi sudah mendekat ke arah Tequr yang sedang melontarkan cemoohan. Mereka bersiap memberikan serangan mematikan ke sang pencipta Ogrotso. Kali ini, mereka berdua sudah dalam jarak serang yang cukup untuk mengalahkan Tequr. Artinya, mereka berdua membutuhkan pengalih perhatian. “Satu lagi kebiasaanmu yang tidak berubah,” kataku lirih dan tajam. Aku mengambil sebuah anak panah dari punggungku, dan langsung melesatkannya kepada Tequr. “Kau selalu lengah, saat seseorang mulai mengkritik kemampuanmu!” Wajah penyihir gila itu tidak menunjukkan keterkejutan sama sekali, malahan dia tersenyum geli padaku, dan menghindari lesakan anak panahku dengan mudah. Persis seperti yang aku duga, bahwa Tequr akan menghindari bidikanku dengan mudah. Karena anak panah dariku memang tidak mengincar dirinya, melainkan hanya mengarahkannya untuk menghindar ke kanan, tepat ke mata pedang Normen Harv. Pak tua itu berhasil menyabet perut Tequr, dan menghasilkan luka yang mengucurkan darah. Namun, serangan belum berakhir, karena di sisi kirinya, Yared dengan sebilah pedang di tangannya yang sudah siap menyerbu. Tequr Lolazar menyadari serangan yang berasal dari kirinya, lalu dia berguling ke samping untuk menghindari sabetan pedang dari Yared. Kejadiannya begitu cepat, tepat setelah Tequr berhasil menghindari serangan Yared, dia membuat gerakan memutar di udara dengan kedua tangannya. Udara di atasnya ikut berputar megikuti arah dari putaran tangannya, dan udara itu menggumpal menjadi sebuah gumpalan asap dengan lubang di tengahnya. Tequr menarik gumpalan asap di atasnya, dan membuat gumpalan asap itu berada di depannya. “Kita akan bertemu lagi, dasar orang-orang menyusahkan!” gerutunya, lalu dia mendorong gumpalan asap itu ke arah kami bertiga. Hal selanjutnya yang aku tahu adalah, kami bertiga tidak lagi berada di tengah perang melawan Ogrotso maupun orc. Kami berada di tengah rimbunnya pepohonan besar, dengan iringan suara kicau burung yang sangat merdu. Apakah aku mati di tangan Tequr hanya karena dilempar gumpalan asap olehnya? Begitulah pikiran pertama yang muncul di otakku saat melihat lingkungan di sekitar kami. Sampai akhirnya, Normen Harv yang berada tidak jauh di depanku menggumam, “Tequr Lolazar telah melemparkan kita ke Hutan Utara... yang tebakanku berada di Pulau Laustrowana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD