Bab 1 - Janji

1630 Words
“Incar kepalanya!” seruku kepada prajurit Halingga yang ada di sekitarku. “Mereka akan langsung mati jika kepalanya yang kita incar!” Para prajurit itu berseru dengan nyaring sambil berlari menerjang Ogrotso level tinggi yang ada di hadapan mereka. Meskipun para bocah itu hanya berusia puluhan tahun, namun keberanian mereka melawan maut patut diacungi jempol. Namun, kemampuan mereka bukan tandinganku, apalagi para Ogrotso level tinggi milik Tequr Lolazar ini. Aku mengeluarkan pedang-panahku yang sudah lama tidak kugunakan, lalu mulai menghabisi setiap musuh yang berani berlari ke arahku. Mereka bahkan tidak tahu, kalau aku adalah jenderal terbaik yang dimiliki oleh Klan Daeron. Makhluk bodoh pertama yang menerjangku adalah seorang, atau seekor, atau seonggok orc yang memiliki tubuh berotot, namun tidak memiliki otak. Orc memiliki sejarah panjang dengan kaum elf, dan semua cerita sejarah itu selalu berujung dengan peperangan antara kaum kami dan kaum mereka. Orc memiliki kulit berwarna hitam legam, atau merah kehitaman, yang sangat kasar dan tebal. Bahkan senjata manusia tidak bisa membuat luka di tubuh orc, saat terjadi perang pertama, antara orc dan manusia. Selain itu, para orc juga jarang berbicara dengan bahasa yang dikenal oleh ras lain, karena mereka selalu berbicara dengan bahasa yang diketahui oleh ras mereka sendiri. Para elf menyebut bahasa mereka, sebagai bahasa jahat (kecuali para Orc Barat). Dalam peperangan, orc memiliki kelebihan dalam hal stamina dan kekuatan. Karena itulah, saat kami berhadapan dengan mereka, maka kami bertarung dengan mengandalkan kecepatan dan ketangkasan. Dua hal yang dikuasai elf. Orc juga memiliki indra yang peka terhadap serangan, sehingga melawan mereka adalah sebuah pertarungan yang melelahkan. Bagi para elf, orc adalah makhluk menjijikkan yang diciptakan untuk melawan kekuasaan Xenia, dan hanya memiliki niat jahat. Tidak ada tempat bagi orc di Ueter, sehingga semua pihak yang memiliki hubungan dengan mereka harus ditumpas habis. Itulah yang dilakukan klan Daeron saat pertama kali pindah ke Hutan Hitam. Hutan itu disebut hitam, karena sebelum kami, para orc yang menjadi pemilik hutan itu. Atas perintah Raja Silinde, penguasa kaum elf, Tuan Daeron diharuskan membasmi semua orc yang ada di hutan hitam, sebagai syarat untuk mendirikan klan sendiri. Menurut legenda, perang antara klan Daeron generasi pertama dan para orc berlangsung hingga dua puluh tahun, sebelum akhirnya raja Orc Utara, Bazrag, dipukul mundur dan keluar dari hutam hitam. Saat itu, Tuan Daeron tidak memedulikan urusan ras lain, sehingga para orc malah membantai manusia di pulau Adon, selepas keluar dari hutan hitam. Akhirnya sebuah perjanjian dibuat, antara Tuan Daeron dan Raja Donater saat itu, Raja Arash, yang berisi bahwa kedua pasukan akan saling membantu untuk mengusir para orc dari Adon. Peperangan tersebut memakan korban jiwa yang tidak sedikit, di antara dua pihak. Namun, para orc akhirnya berhasil terdesak ke pegunungan di utara. Ratusan tahun kemudian, para orc Utara bangkit dari keterpurukan dan mulai melakukan invasi pada Adon. Korban pertama mereka adalah Kerajaan Donater Utara, yang hingga membuat Sonadhor menjadi kota mati dan dipenuhi makhluk-makhluk gelap. Ternyata para Orc Utara mulai mempelajari bahasa manusia, dan mendirikan kerajaan terpisah dari Orc Utara yang memang sepenuhnya jahat. Kerajaan para Orc Barat itu berada di Sonadhor, yang ternyata tidak segelap dan semengerikan cerita yang aku dengar. Ternyata para Orc Utara yang seharusnya tinggal di Utara pulau Adon, malah berhasil merebut Adijaya, kota paling timur, sekaligus kota satu-satunya di Adon yang memiliki pelabuhan. Bahkan, saat ini orc dapat membuat aliansi dengan pihak lain, yang sama jahatnya. Para elf darah dari klan Zabash, dan musuh utama kami, yaitu Tequr Lolazar, si pembuat Ogrotso. Aku harus menulis ulang pandanganku soal orc, terutama bagian tentang ras yang tidak pernah berpikir. Orc di depanku ini bernapas cepat, sambil memegang pedang besar di tangannya. Dia berharap aku terintimidasi dengan sosoknya yang lebih besar dariku. Aku hanya menelengkan kepalaku, lalu melemparkan senyum cemooh padanya. Hasilnya, orc itu berlari ke arahku dengan kecepatan tinggi, dan kedua mata yang menyorotkan hasrat membunuh. Itulah yang kuinginkan darinya. Dia melupakan identitasku, bahwa aku dalah seorang elf, yang unggul dalam kecepatan. Menerjangku dengan kecepatan penuh, sama dengan memaksakan diri agar mati ditanganku. Karena dia bukan Ogrotso yang harus diincar pada bagian kepalanya, maka aku menyabet betisnya saat dia sudah sangat dekat denganku. Orc itu meraung kesakitan setelah pedangku berhasil menorehkan luka di betisnya yang jorok. Namun, seorang orc tidak mengenal peribahasa ‘belajar dari kesalahan’, sehingga dia tetap memakai metode yang sama untuk berusaha membunuhku. Aku juga melakukan hal yang sama. Begitu dia ada di jarak yang cukup untuk mendapatkan sabetan pedangku, aku membungkukkan badanku untuk menghindari ayunan pedangnya, lalu kembali menggoreskan luka di betisnya yang lain. “Kau masih berniat bertarung denganku?” cemoohku. Orc itu semakin meraung kencang, meskipun langkahnya sudah tertatih, karena darah hitam yang mengalir dari luka sayatanku mulai mengalir keluar dari kedua betisnya. Aku sudah bosan dengan orc bodoh ini, dengan gerakan luwes, aku menghindari ayunan pedangnya yang semakin melambat, lalu bergerak ke belakang tubuh gempalnya. Aku menusukkan pedangku ke punggung makhluk menjijikkan itu, lalu kembali mencabut pedangku saat dia meronta kesakitan. Orc itu terjerembab ke tanah dengan mukanya terlebih dahulu, korban pertamaku di perang ini, sekaligus pemicuku untuk menerjang musuh yang lebih mengerikan lagi. Tubuhku mulai terbiasa dengan suasana perang, sehingga setiap sendiku seolah bergerak dengan sendirinya, di depan musuh yang menghadangku. Aku memenggal kepala Ogrotso setelah kami beradu pedang selama beberapa detik, setelah itu, seorang orc kembali menatapku dengan tatapan marah sambil meraung keras. Bahasa jahat yang mereka katakan, aku ingin tahu arti raungan mereka saat akan menerjangku. Aku cukup penasaran dengan kalimat yang mereka katakan, sebelum akhirnya mereka satu per satu tumbang di tanganku. Aku mencoba memincingkan mataku untuk mencari Vhirlass Udhokh, di tengah perang yang sedang berkecamuk. Pemuda itu tidak boleh meninggal, setelah aku berutang budi padanya, karena dia berhasil menemukan mayat adikku di Hutan Hitam. Telat sebentar saja, maka adikku pasti diubah menjadi Ogrotso oleh Tequr. Itulah alasanku mencari Lass dan temannya, Amicia, saat mereka hilang, kala p*********n di Mazrog. Mulai saat ini, tujuanku hanyalah menjaga Lass, seperti aku menjaga adikku sendiri. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan, sejak adikku memilih untuk menjadi manusia, alih-alih seorang elf sepertiku. Dari tempatku berdiri, aku melihat pemuda itu berhasil mengalahkan setiap lawan yang menghadangnya. Gaya bertarungnya sangat brutal, namun juga elegan di saat yang sama. Selain itu, senjata yang dia gunakan juga cukup aneh, dua bilah pisau kecil, yang di tangannya menjadi benda mematikan. Jangan lupakan juga pedang jiwa, yang membuat anak itu bisa berpindah tempat dengan cepat, melewati bayangan. Dia bertarung bersebelahan dengan teman ceweknya, yang bernama Amicia. Aku mengendus bahwa ada hubungan istimewa di antara mereka berdua, tetapi Lass selalu menolaknya, dan dia hanya mengakui Amicia sebagai teman, sekaligus rivalnya dalam mencuri. Diam-diam aku berharap kalau mereka sungguh akan menjadi pasangan hidup, karena kedua anak muda itu seolah saling mengerti tanpa harus berbicara. Bahkan di tengah pertempuran pun, mereka menunjukkan kepada seluruh orang, bahwa tidak ada yang dapat mengalahkan kerja sama yang mereka buat. Saat Amicia menyabet kaki seorang orc, Lass dengan sigap langsung menusuk d**a orc itu, begitu pun sebaliknya. Mereka berdua mengingatkanku kepada Briaron, anak Tuan Daeron, yang bagaikan saudara kandungku. Sebilah pedang berdesing di depan wajahku dan berakhir menancap di tanah yang sangat dekat dengan kakiku. Serangan itu terjadi saat aku sedang terpaku melihat Lass dan Amicia bertarung. Untungnya, orc yang mengincarku bodoh, sehingga aku dapat membalikkan serangannya dengan sebuah gerakan cepat. Gerakan pertamaku adalah menjadikan pedang besarnya sebagai tumpuanku untuk meloncat, lalu saat aku berada di udara, tanganku langsung melepaskan sayatan fatal yang langsung menggorok leher orc itu. Makhluk itu pun tumbang di belakangku, dengan mukanya di tanah. Ternyata hanya aku yang di atas angin, karena saat aku melihat sekitar, semua orang di pihakku mulai terdesak dengan serangan bertubi-tubi para orc, elf darah, dan Ogrotso. Andai saja klan Daeron tidak ikut berperang dengan kami, maka pihak kami tidak akan bertahan lama. Satu-satunya yang membuat kami bertahan melawan enam ribu Ogrotso yang baru saja datang, adalah hujan panah dari klanku. Perang ini semakin berat sebelah, saat aku mendengar seseorang tertawa dengan keras. “Teruslah mati para makhluk bodoh, teruslah mati!” seru suara itu, yang akhirnya kukenali sebagai suara Tequr. Kami sekarang sudah kalah jumlah, maupun stamina, dan Tequr yang tidak kami harapkan untuk muncul, malah datang di waktu yang tidak tepat. Penyihir gila itu mulai membantai orang-orang Halingga dengan muncul di satu tempat, lalu kembali menghilang. Kemunculannya selalu diawali dengan asap hitam pekat, dan ketika dia muncul dari asap itu, satu orang langsung meninggal. Kelicikannya juga semakin membuatku marah, karena yang dia incar adalah para prajurit biasa, bukan orang-orang Votlior, atau para kurcaci yang lebih kuat. Jantungku berhenti berdetak saat seberkas asap hitam muncul di belakang Lass. Namun, untuk saja suaraku berfungsi dengan baik, sehingga aku dapat berseru memperingatkannya, “Lass, di belakangmu!” Anak muda itu memang tidak sedang menyombongkan diri, saat dia mengatakan bahwa refleksnya lebih cepat dari rata-rata orang. Tepat setelah mendengar teriakanku, dia langsung maju satu langkah, dan berbalik dengan cepat. Kedua kakiku berlari ke arahnya, karena meskipun Lass sudah berhasil berbalik, tetap saja dia akan kalah jika berhadapan satu lawan satu dengan Tequr Lolazar. Beberapa orc, elf atau Ogrotso yang menghadangku berakhir dengan leher yang berlubang, atau kepala yang terpenggal. Aku tidak boleh terlambat menyelamatkan Lass, janjiku untuk melindunginya tidak boleh gagal. Sebuah pemandangan yang aneh, sekaligus mengerikan ada di depanku. Tequr hanya tersenyum geli kepada Vhirlass Udhokh, meskipun dia memiliki kesempatan untuk langsung membunuhnya. Setelah itu, dia kembali menghilang dalam balutan asap hitam. “Kau tidak apa-apa Lass?” tanyaku sambil memegang kedua pundak pemuda berambut putih itu. Dia mengangkat alisnya, lalu melepaskan tanganku dari pundaknya dengan lembut. “Aku tidak apa-apa, kita selesaikan perang bodoh ini.” Setelah mengatakannya, Lass kembali berlari menerjang seorang orc yang sedang memukuli seorang prajurit, tak jauh dari tempat kami berdiri. Aku merasa bahwa ada yang janggal dengan tatapan, dan senyuman aneh Tequr kepada Lass. Karena itu, aku memutuskan akan mendekatinya, dan berduel secara langsung dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD