Cinta dan Perjodohan

1163 Words
“Tuan-tuan kolonial kita telah menurutkan ‘nafsu’ mereka yang tak terkendali, dan dengan tidak peduli menghamili anak-anak perempuan negeri kita, anak-anak haram yang mereka nyatakan mendapat bagian ‘yang mulia’ dari darah Eropa mereka. (E.F.E Douwes Dekker) Kudengar sayup-sayup gema suara lembut itu berkumandang. Di antara kabut tebal yang masih menyelimuti sebuah desa kecil, tempat di mana aku, Bapak Ibuk, dan juga Mas Subekan tinggal. Barang kali itu adalah suara Bapak yang melantunkan ayat suci sebelum nanti gema adzan Subuh berkumandang. Iya, suara Bapak bersama beberapa santrinya yang ada di langgar. “Nduk, Sati, bangun Nduk.” Tentu saja itu suara Ibuk yang memanggilku dengan suara lembutnya. Tak pernah kudengar Ibuk menyeru dengan suara keras. Memanglah. Katanya, kata Ibuk, wanita harus lah lembut. Tidak pantas jika wanita menyuarakan suaranya terlalu keras. Barang saat sendiri sekalipun. Karena, wanita itu kelembutan, sudah selayaknya mereka menyeru dengan suara hati mereka. Bukan dari suara yang mengotot-otot. Aku langsung membuka mata. Mengambil sapu lidi bersih untuk dikebas-kebaskan di atas tempat tidurku. Konon, bagi yang masih perawan sepertiku, mengibaskan lidi di atas tempat tidur setelah bangun akan mempercepat mendapatkan jodoh. Maklum, di usiaku yang sudah menginjak enam belas tahun, sudah wajar mendapatkan jodoh. Seusai merapikan tempat tidur, segera diriku mengambil air wudlu di kiwan belakang. Di rumah semua orang sudah dahulu pergi ke langgar untuk mengambil shaf paling depan. Hanya aku yang sedikit telat bangun. Ini semua adalah karena si londo sialan. Kebodohanku menyebutkan nama membuatku sulit tidur. Langgar adalah tempat kami untuk sholat berjamaah dan megaji. Bangunannya tebuat dari kayu dan berpanggung. Tepat sesaat setelah sampai di langgar, Mas Subekan menyuarakan suara merdunya dan sangat keras. Agar suaranya bisa didengar oleh banyak orang, dirinya kadang sampai naik ke atas bangunan agar suaranya bisa sampai ke masyarakat. # “Nduk, kenapa masih di sini. Kamu nggak berangkat buat cuci baju?” Suara Ibu membuatku tersentak dari lamunan. Tanganku yang awalnya bergerak pelan menyisir rambut segera berhenti. Melihat pantulan wajah Ibu dari cermin. “Ndak Buk, Sati nggak ada niat buat cuci baju. Besok saja ya,” ujarku menawar. Aku hanya takut dengan apa yang telah terjadi kemarin malam. Aku takut jika sampai terulang. Mengingat sungai tempat kami mandi dan biasa untuk mencuci baju setiap hari digunakan pula oleh londo untuk mandi. Ibuk mendekatiku, dirinya segera menuntun tubuhku untuk duduk di atas ranjang kamar tidur. “Nduk, kamu sudah besar. Sebentar lagi akan menjadi menantu Kyai Syukur. Kalau kamu malas-malasan, terus nanti kehidupan setelah menikah bagaimana? Menjadi wanita itu jangan malas, karena pondasinya rumah tangga adalah kaum kita. Kalau kita sebagai Ibu saja malas, apa lagi dengan anak-anak kita nanti?” Suara Ibu selalu saja menenangkan. Apapun yang diucapkannya masuk ke dalam hati dan membuat siapapun yang mendengar akan merasa bersalah ketika menolak apa yang dirinya perintah. Mau tidak mau, aku harus menggelung rambutku seadanya, dan langsung mengambil tampih untuk dipakai mandi di sungai. Tampih adalah sejenis sarung namun sarung untuk perempuan. Bahannya cenderung seperti bahan jarik pada umumnya. Kami melilitkannya di atas bagian p******a. Sebagai anak perempuan satu-satunya di keluarga ini, aku yang memiliki tugas rumah lebih banyak dari teman-temanku lain yang memiliki saudara perempuan lebih dari satu di rumah. Termasuk salah satunya adalah tugas mencuci baju seperti ini. Semua pakaian dari anggota keluarga aku yang mencucikannya di sungai. Aku berangkat berbarengan dengan Jumani. Wajahnya bersemu merah karena baru saja berpacaran dengan Mas Dikin tadi sebelum bertemu diriku di persimpangan jalan. “Mas Dikin itu orangnya romantis. Kamu tau nggak kalau tadi aku dikasih apa?” Tentu saja Jumani akan membahas hal-hal yang tidak berguna seperti ini. Lihatlah mentari di ufuk timur sudah akan berkacak setinggi ombak, dan kami belum sampai di sungai juga. “Pacaran itu dosa. Nggak ada kata pacaran. Sudah, ayo cepat berjalan, nanti terlambat,” jawabku sewot dengan berjalan lebih cepat. “Ye, kan kamu belum pernah merasakan pacaran seperti apa. Nanti kalau sudah tau rasanya bakal menyesal bilang seperti itu.” Aku memberhentikan langkahku. Menengok ke belakang. “Untuk apa aku pacaran. Aku sudah ada Mas Sholeh. Untuk apa aku berpacaran?” “Eh jangan bilang seperti itu. Kamu tidak tau jodohmu dengan siapa, seyakin-yakinnya dirimu dengan Mas Sholeh, kalau dirinya mati di medan perang. Kamu bisa apa?” Deg. Aku menatap mata Jumani dalam. “Setidaknya aku tidak berdosa karena berpacaran.” “Manusia diberikan akal dan nafsu untuk saling melengkapi. Kamu tidak pernah tau cintamu akan terjebak di antara nafsu atau akal. Suatu saat nanti kamu dapat mengartikan apa yang aku sampaikan ini. Barangkali kamu saat ini mengatakan pacaran itu dosa. Siapa yang bisa menyangkal jika besok kamu mengatakan pacaran itu sah-sah saja. Karena mencintai dan dicintai itu hak semua manusia.” Aku termenung sebentar. Apa yang dikatakan oleh Jumani ada benarnya juga. ah, tidak-tidak. Aku segera menyadarkan diriku sendiri. Jumani telah tepedaya dengan bujukan setan. Aku tidak boleh terpedaya oleh Jumani. “Tetap saja. Pacaran itu dosa! Titik!” tegasku, kali ini Jumani tidak bisa berbicara karena aku sudah membuat kalimat ujung. Sesampainya kami di sungai, seperti biasa-biasa. Sungai selalu nampak ramai ketika pagi seperti ini. Semuanya adalah dari kalangan wanita di sana. Ada yang memandikan anaknya, ada juga yang mencuci piring, yang lain sepertiku dengan Jumani, mencuci pakaian dengan suara yang tak kalah nyaringnya dari burung-burung yang berkicau di atas kami. Hutang yang ada di rumah, tidak akan terpikirkan jika telah berada di satu tempat seperti ini dengan teman atau sahabat. Inilah nikmatnya, sebanyak apapun pekerjaan kita, jika kita mengerjakannya dengan bahagia, pekerjaan seberat apapun akan terselesaikan dengan mudah. Seperti hari-hari sebelumnya, ketika mencuci baju di sungai. Pasti ada tema yang akan dibahas. Kali ini tema yang dibahas adalah tentang Fatonah. Sebagai seseorang yang sangat dekat dengan Fatonah, ada rasa tak enak juga ketika mereka semuanya membahas tentang sahabat kecilku dulu yang saat ini di tangsi londo karena telah dijodohkan oleh orang tuanya. “Setelah Fatonah dinikahkan, siapa lagi di desa kita yang akan dinikahkan dengan londo lagi?” tanya Sumaidah. “Ya mungkin yang gila sama uang. Yang ingin hidupnya enak dan akan diangkat jadi carik,” timpal Mbak Sumilah. “Tambah yang gila sama yang gede-gede.” Kali ini Mbak Marni yang menambahi. “Gede apanya to Yu?” tanya Tias lugu. “Ya itunya. Apanya lagi,” jawab Mbak Marni. Aku sebagai seorang yang usianya sama dengan Tias benar-benar tidak tau apa yang dimaksudkan oleh Mbak Marni. Barang tentu karena Mbak Marni mengungkapkan hanya dengan ini itu. Siapa yang tidak bingung juga? Kulihat semua orang tertawa setelahnya. Termasuk juga dengan Jumani. “Apanya to yang gede?” aku membisikkan sesuatu di telinga Jumani. “Masak kamu nggak tau Sati?” Jumani malah bertanya kembali. Jelas-jelas aku bertanya kepadanya. “Itu loh, yang berada di selakangan,” jawab Jumani seolah tidak berdosa. “Astagfirullahaladzim,” pekikku kaget. Semua orang yang ada di sungai melihatku dengan tatapan aneh. “Nuwun, nuwun,” ujarku malu karena dilihati banyak orang. Aku langsung beranjak dari sungai dan masuk ke dalam sebuah jumbleng sederhana. Perutku tiba-tiba mules.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD