Laki-Laki Bermata Elang

999 Words
“Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi, bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” (Nyai Ontosoroh. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia) “Sati …, Sati … lama sekali kamu berada di dalam. Cepatlah keluar. Para londo akan segera datang!” seru Jumani di luar. Aku masih belum bisa keluar. Kondisinya memang perutku masih sakit. Aku tidak tau harus bagaimana. Aku hanya bisa pasrah sekarang. Layaknya sebuah aib. Seorang wanita yang berada di dalam toilet seperti ini tidaklah baik jika mengeluarkan suara. Apalagi dalam keadaan menjerit. Itu bukan sesuatu yang baik. Aku memutuskan untuk diam saja, tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh Jumani. Meskipun demikian, rasanya dalam hati seperti ada ke was-wasan tersendiri. Rasa khawatir pastilah ada. Apalagi baru kemarin aku melihat londo yang dengan sengaja seperti mengincarku. Aku hanya takut itu terjadi lagi. Sejenak kemudian, aku mendengar suara sepatu yang saling bertubrukan dengan tanah. Bunyinya nyaring, aku mengenali bunyi itu. Pastilah londo-londo itu sudah datang di sungai untuk mandi. Aku di dalam jumbleng hanya bisa memejamkan mata. Aku ingin menangis saat ini. Meminta tolong Jumani rasanya tidak mungkin. Barang tentu anak itu sudah pergi Bersama dengan yang lain. Aku tidak bisa berpikir banyak kali ini. Hatiku dilanda kegelisahan yang tiada ujung. Ketika aku sudah selesai menyelesaikan kegiatanku di atas jumbleng, aku pun tidak berani keluar. Setidaknya aku akan aman di sini, tidak akan ada yang berani membuka area jumbleng ini jika dalam keadaan tertutup seperti ini. Mungkin aku akan aman. Begitu pikirku dalam hati. Mencoba berbaik sangka dengan keadaan. Jumbleng yang aku tempati saat ini, memiliki tinggi satu meteran. Di sisi-sisinya hanya ditutup dengan sesek atau anyaman bambu yang tipis. Dibentuk persegi, sehingga kurang lebih menutupi semua sisi. Satu sisinya dibuatkan sebuah pintu sederhana. Iya, karena yang tingginya hanya setengah tubuh manusia, aku saat ini hanya bisa berjongkok di samping lubang yang habis aku gunakan untuk membuang kotoran ku. Bau tak sedap pun keluar, membuat aku semakin tak betah saja di dalam. Sekitar sepuluh menit aku di dalam, rasanya nyamuk-nyamuk seolah tiada henti menyerang. Aku hanya memandang langit, di sana matahari sudah berada setinggi ombak. Ohh Tuhan, rasanya panas juga. Peluhku mulai berjatuhan. Kriettttt… Mataku langsung menjurus. Melihat dengan tajam seseorang yang hanya memakai celana berwarna cokelat kehijauan. Badan putihnya menandakan jika dirinya adalah seorang londo. “WOW. I sepertinya dapat rezeki pagi-pagi. Hai gadis manis, wat is jouw naam?” londo kurang ajar itu mendekatiku dengan langkah yang terus maju. (Siapa nama kamu) Aku yang ketakutan hanya bisa mendorong badanku ke belakang. Mencoba menghindar dari tatapan elang laki-laki k*****t itu. “Mau apa kamu?” tanyaku seperti orang gila. Aku merutuki kebodohanku. Air mataku tiba-tiba merembes keluar begitu saja. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Saat-saat yang sangat sulit untukku. Ini adalah saat tersulit mungkin dari yang lain. Kurasa begitu. Londo itu pun berjongkok di depanku. Matanya yang awalnya memandang wajahku, saat ini memandang kaki jenjangku. Aku semakin takut ketika laki-laki itu memegang salah satu kakiku. Bibirku bergetar, aku tidak bisa berkata apa-apa selain air mataku yang merembes keluar. Kututup mataku. Aku tak sanggup menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Wat doe je?” sebuah suara berat yang datang tiba-tiba membuat londo yang ada di depanku tersentak kaget. Matanya yang biru melotot keluar. Rahangnya mengeras. Suara berat dari laki-laki berkulit tubuh yang sama. Aku tidak bisa melihat wajah dari laki-laki itu, namun yang jelas. Londo yang akan memperkosaku langsung keluar jumbleng tanpa berkata apapun dengan tunggang langgang. Brukkk… Sebuah baju menubruk wajahku. Baju yang sangat tebal dengan aroma parfum yang sangat maskulin membuatku merasa aman. Parfum adalah salah satu hal yang barang tentu sangat tidak mungkin kami miliki, oleh karena itu aku sangat senang dengan semerbak aroma yang menenangkan ini. Tanganku mengambil baju itu dengan masih gemetaran. “Pakai, tutupilah tubuhmu. I akan tunggu yey di depan,” ujar laki-laki itu dengan nadanya yang dingin. Aku langsung menggunakan baju yang dua kali lebih besar dari badanku dengan cepat. Betul saja, lengan baju itu sampai menyentuh bagian lututku. Aku tidak bisa mengerti mengapa ada orang sebesar londo-londo. “Bedank,” aku berterima kasih kepada seorang laki-laki yang saat ini berdiri di depanku. Aku tak bisa menutupi rasa berterima kasihku kepadanya. Karenanya aku bisa selamat dari seseorang yang berniat jahat kepadaku. Laki-laki yang hanya tampak punggungnya yang gagah itu pun memutar balik, sesaat aku seperti pernah melihat wajah londo itu. Tidak hanya aku saja yang terkaget, rupanya londo itu juga terkaget ketika melihatku. Kami sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa kaget, saat tau londo itu adalah londo yang aku temui kemarin malam. “La-lasa-rati?” ejahnya ketika memanggil namaku. Sejenak seperti mengingat-ingatnya. “Larasati.” Aku mencoba untuk membenarkan apa yang dikatakannya tadi. Ingatan yang cukup bagus. Mengingat pertemuan kami yang baru satu kali. Aku menunduk dalam ketika melihat seulas senyum di bibirnya. Manis. Aku takut jika larut dalam senyum itu. “Saya akan mengantarkanmu pulang,” katanya dengan mengulurkan tangannya ke depan. Seolah mempersilakan diriku untuk jalan terlebih dahulu. Sebelum aku melangkah terlalu jauh. Aku baru ingat jika pakaian yang aku cuci tadi pasti masih ada sungai. Mengingat ada banyak pakaian yang aku cuci tadi, sehingga tidak akan mungkin Jumani membawakan banyak pakaian dari sungai yang beratnya akan menjadi tiga kali lipat. “Er is een problem?” tanya laki-laki yang berada di belakangku saat mengetahui aku memberhentikan langkah. Aku tidak tau apa yang dikatakan laki-laki itu. “Maksud saya, apakah ada masalah?” ulangnya dengan bahasa yang jauh lebih bisa aku mengerti. Dia memakai bahasa Jawa dengan logat Belanda yang masih terdengar sangat kental. Meski demikian, aku masih tetap terkagum dengan sosoknya. Tak banyak Londo yang bisa menggunakan bahasa kami. Wajar bukan jika aku terkagum dengan hal demikian “Pakaianku masih ada di sana. Aku tidak bisa pulang jika tidak membawa pakaian itu,” kataku sembari menunjuk kea rah sungai yang ramai dengan londo-londo telanjang. “Kamu di sini sebentar, saya akan mengambilnya,” ujarnya dengan langsung berlari kea rah sungai tempat di mana aku menaruh pakaianku tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD