Kewajiban Anak Perempuan

1050 Words
  Chapter 4 Kewajiban Anak Perempuan  “Kewajibanku sebagai anak tidak boleh aku kurangi, tapi pun tidak kewajiban-kewajibanku terhadap diriku sendiri harus aku tunaikan, terutama sekali tidak kalau pabila perjuangan itu bukan saja berarti kebahagian sendiri, tapi pun berguna bagi yang lain-lain. Soalnya sekarang adalah memenuhi dua tugas besar yang bertentangan satu dengan yang lain, dan itu sedapat mungkin harus diserasikan. Pemecahan masalah ini ialah, bahwa untuk sementara ini aku membaktikan diri kepada ayahku.” (Surat Panjang, 11 Oktober 1901, dari Kartini kepada Estella Zeehandelaar)     Londo yang berada di sampingku tidak banyak bicara. Bibirnya terkatup dengan sempurna. Aku tidak tau apa penyebabnya, yang jelas mungkin dirinya tidak bisa berbicara Bahasa kami dengan lancar. Dari pada sama-sama tidak mengerti lebih baik diam bukan. Beberapa kali aku melihat ke sisi wajahnya. Rahangnya sangat tegas. Sorot matanya begitu tajam. Terlihat, sejak tadi aku melihat seluruh area wajahnya dirinya seolah selalu dalam keadaan siaga. Ada banyak pertanyaan di benakku. Utamanya adalah mengapa dirinya sudi untuk mengantarku. Tidak ada satu pun londo yang berani untuk memasuki area permukiman warga. Sudah ada perjanjian sebelumnya, dan sanksinya bukan main-main. Terakhir ada londo yang masuk desa kami, mati karena menjadi bulan-bulanan. Satu lawan seribu tentu sajalah kalah. Aku masih saja melihat laki-laki itu seolah tanpa kedipan mata sekalipun. Entahlah, londo di sampingku ini berbeda dari kebanyakan londo pada umumnya. “Saya tidak bisa mengantarkanmu lebih jauh. Pulanglah. Saya akan melihatmu dari sini,” katanya dengan wajah seolah tanpa ekspresi. Aku mengangguk dan menunduk dalam. Berkali-kali aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Dan londo itu hanya berkata “kembali kasih.” Baru sekitar lima meter aku melangkah dengan malu-malu. “Larasati,” panggilnya dengan huruf r yang tidak kelihatan. Aku membalikkan badan. “Iya, ada apa?” tanyaku dengan menaikkan sebelah alis. “Eumm, besok tunggu saya di sumur dekat pohon asem,” katanya. Aku mengangguk. Kukira ada apa. “Saya pamit dulu ya,” ujarku dengan langsung pergi begitu saja. Kulihat bayang-bayang londo itu masih berdiri di tempatnya. Aku hanya bisa tersenyum. Senyum-senyum sendiri karena mendapatkan perlakuan yang sangat manis dari seseorang berkulit putih itu. # Tidak ada orang di rumah. Pasti Ibu mengirim makanan ke sawah. Sedang Bapak dan Mas Subekan pasti sudah berjibaku dengan lumpur dan lintah yang berada di sawah. Pagi di desa adalah sesuatu hal yang sangat sibuk. Kulihat rumah belum dibersihkan. Setelah aku menjemur pakaianku, aku mengambil sapu untuk menyapu. Air yang ada di tong untuk memasak, aku isi dengan memanggul air dari sumur. Begitu juga, kiwan atau bak mandi yang terbuat dari tanah. Atau gentong dalam bentuk yang sangat besar. Kuisi dengan menimba air dengan genuk lebih kecil. Untuk persiapan makan siang, aku juga menyiapkan hidangannya. Aku ingat, ketika Ibu pernah berkata seperti ini kepadaku, “ada tiga hal yang harus dipersiapkan oleh istri sebelum suaminya pulang. Satu, air, dua api, dan ketiga adalah tanah. Maksudnya adalah menyiapkan air yang berada di kamar mandi dan juga air yang berada di dalam kendi. Maksud api adalah menyiapkan seluruh jamuan makanan. Dan maksud dari menyiapkan tanah adalah menyiapkan tempat tinggal yang nyaman. Diusahakan tanah dalam keadaan bersih dan tidak ada kotoran apapun di atasnya.” Aku bisa mengingat itu dengan betul-betul adalah karena memang aku akan menjadi istri orang lain, dan artinya ini adalah cara ibuku untuk memberikan pengetahuan sebelum aku nanti ikut mertua. Ketika ketiganya sudah siap, dan aku melihat matahari masih belum terlalu menengah. Maka aku putuskan untuk mencari kayu. Yang tentunya kayu-kayu kecil untuk persiapan sebelum memasak. Kayu kecil berguna untuk menghidupkan api waktu awal. Dan itu sangatlah berguna. Sebisa mungkin kayu kecil ini ada dan tidak habis. Setelah menyelesaikan semuanya, aku mandi, kali ini aku mandi di sumur belakang. Aku baru sadar jika dari tadi aku memakai pakaian londo tadi. Ahh, rasanya memang sangat nyaman. Aku sampai tidak menyadarinya jika sejak tadi memakainya. Tidak ada pakaian yang setebal dan selembut itu yang pernah aku punya. “Steve?” aku membaca rangkaian huruf itu. Apakah benar namanya Steve? Pendidikan bagi masyarakat kami tidak ada. Sama sekali tidak ada. Hanya orang-orang tertentu yang bisa membaca atau mengerti huruf. Termasuk salah satunya adalah aku. Jika ditanya dari mana aku bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa belajar membaca? Maka jawabannya adalah dari Mas Subekan, dirinya belajar dari Mas Sholeh yang merupakan anak camat. Tentu saja Mas Sholeh mendapatkan kesempatan belajar di sekolah Belanda. Aku melipat baju itu dengan rapi. Beberapa kali kuciumi baunya, karena semerbak parfum terasa sangat memabukkan dan membuat candu diriku. Aku tidak bisa menyangkal aku sangat jatuh cinta dengan wanginya. “Sati, Kang Masmu besok Ahad mau pulang, kalau mau buat sesuatu, buatlah. Dirinya hanya akan berada di rumah beberapa saat saja.” Aku terkesiap dengan kemunculan sosok Masku yang tiba-tiba datang di balik pintu. Untungnya aku sudah selesai menyimpan baju milik londo itu di dalam lemari. Jika tidak, sudah pasti aku akan mendapatkan amarah yang sangat luar biasa darinya. “Inggih Mas,” jawabku dengan menunduk. Masku pergi, perasaannya separuh. Iya, aku bisa melihat tatapan curiga darinya. Meski demikian, aku harus tetap untuk senormal mungkin bertindak. “Surat dari Kang Masmu ada di kamar Mas. Kalau mau ambil, ambil saja,” ujarnya dengan setengah berteriak. Aku yakin dirinya saat ini sudah berada di sumur belakang rumah. “Inggih Mas,” jawabku kembali mengiyakan. Aku bernafas lega. Kakiku menuntunku untuk bisa berjalan ke kamar milik saudara laki-lakiku ini. Kamar yang sudah aku rapikan sebelumnya. Jadi terlihat lebih rapi dan segar. Hatiku berdebar. Inilah yang aku rasakan saat akan membaca tulisan dari seseorang yang amat aku cinta. Cinta itu datang tanpa sadar. Yang dulu Mas Sholeh adalah teman bermainku. Dirinya yang selalu membelaku disaat kakak laki-lakiku sendiri membullyku. Dirinya akan datang di hidupku kembali, kali ini menjadi seorang suami. Siapa yang menyangka, jika dulu yang kami hanya berpura-pura menjadi suami-istri. Tinggal beberapa waktu lagi akan menjadi suami-istri yang sesungguhnya. Hal yang demikian tidak pernah terpikirkan. Orang melarat seperti kami, sangat mustahil jika bisa bersanding dengan orang bangsawan. Pernikahanku akan dilangsungkan pada bulan besar atau biasa disebut dengan bulan Dzulhijjah dalam Bahasa Arabnya. Mengapa orang jawa menamakan bulan itu sebagai bulan besar. Karena pada bulan itu, ada banyak hajat yang dilangsungkan. Mulai dari orang mempunyai hajat pernikahan, orang membangun rumah, dan sampai orang haji di tanah suci juga pada bulan itu. Bulan besar adalah bulan yang agung juga, karena di sana ada hari raya kurban.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD