Hanya Sandiwara

1164 Words
Selamat membaca! Mendengar perkataan Victoria membuat Denis tampak berpikir beberapa saat sebelum menjawab permintaan yang dilontarkan oleh Victoria. Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya sangat tidak nyaman terdengar di telinganya. "Mommy tenang saja, aku akan menjaga dan menyayangi istriku dengan baik. Pokoknya Mommy jangan memikirkan rumah tanggaku ya karena yang terpenting adalah kesehatan Mommy." Dennis terpaksa berucap demikian, hanya untuk membuat Victoria tenang dari pikiran yang meresahkannya. Victoria kini sudah dapat bernapas dengan lega hingga membuat senyuman itu kembali mengembang dari kedua sudut bibirnya. "Mommy sangat bangga memiliki putra sepertimu, Denis. Selain kamu bertanggung jawab, kamu juga begitu perhatian kepada Mommy, tetapi kamu tidak perlu khawatir karena di rumah ini ada lima orang pelayan yang selalu siaga dalam mengurus Mommy. Sekarang kamu fokus saja untuk pergi honeymoon bersama Karen, biar Mommy bisa secepatnya menggendong cucu yang lucu dari kalian berdua." Victoria membagi pandangannya kembali agar dapat menatap bergantian ke arah Denis dan juga Karen yang terlihat hanya termangu mendengar perkataannya yang terus membahas soal anak. "Maafkan aku Mom, sepertinya aku tidak bisa memberikanmu cucu. Tanpa ada perasaan cinta, aku tidak akan membiarkan Denis menyentuhku, apalagi merenggut kehormatanku," batin Karen penuh keyakinan yang hanya mampu menolak dalam hati. Victoria tiba-tiba merentangkan kedua tangannya, meminta Karen dan Denis untuk mendekat ke arahnya agar ia dapat memeluk keduanya secara bersamaan. ()()()()() Malam hari pun tiba, Karen kini sudah berada di dalam kamar bersama Denis. Raut wajah keduanya terlihat sangat kelelahan setelah berdiri seharian di pelaminan untuk menyambut ucapan selamat dari beberapa tamu yang hadir di pesta pernikahan mereka yang berlangsung dengan begitu meriah. Kala itu, Karen tampak sudah mengenakan piyama tidur setelah membersihkan dirinya. Ia masih terlihat canggung karena harus tidur satu kamar bersama Denis hingga membuatnya masih mematung. Berharap agar Denis memberikan perintah kepadanya. "Karen, walau sekarang kamu sudah menjadi istri saya, tapi saya tidak ingin tidur satu ranjang denganmu. Jadi lebih baik kamu tidur di sofa itu ya! Oh ya, kamu tenang saja sofa di rumah saya semuanya sangat empuk dan nyaman untuk dijadikan tempat tidur!" titah Denis sambil menunjuk ke arah sebuah sofa panjang berwarna cokelat yang terdapat meja di depannya dengan laptop yang berada di atasnya. Sebenarnya itu adalah tempat favorit Denis saat dirinya lebih memilih bekerja di kamar daripada di ruang kerja pribadinya. Tempat yang tak jarang membuatnya sampai ketiduran saat masih bekerja. "Baik kalau begitu, terima kasih ya," ucap Karen dengan lirih sambil menempati sebuah sofa untuknya tidur. "Satu lagi yang perlu kamu ingat! Jika Mommy mengizinkan kita untuk tinggal berdua di rumah yang terpisah dengannya, kita berdua akan tidur di kamar yang terpisah jadi kamu jangan pernah berharap untuk bisa selalu tidur sekamar dengan saya! Ingat, ini hanyalah untuk sementara!" Seketika dahi Karen mengerut dalam setelah mendengar ucapan Denis yang menganggap dirinya sangat berharap untuk tidur satu ranjang dengan pria itu. Karen pun mendengus kesal dengan suara yang tertahan agar Denis tak sampai mengetahuinya. "Baik Tuan, terserah apa katamu saja. Oh ya, Tuan, saya juga punya satu permintaan sebelum kita berangkat ke Bali besok. Saya mohon dengan sangat, tolong kamu donorkan lagi darah untuk adik saya lebih dulu di rumah sakit. Saya takut bila tiba-tiba persediaan stok darah untuk Raina habis saat kita berada jauh dari London." Perkataan Karen membuat Denis berdesis kesal. Terlebih perkataan yang terlontar dari mulut wanita itu terdengar seperti sebuah perintah di telinganya. Merasa Karen telah kurang ajar karena telah mengguruinya, Denis pun dengan cepat menolak keinginan Karen mentah-mentah. "Saya rasa darah yang sudah saya berikan pada rumah sakit untuk adikmu, sangat cukup untuk stok yang dibutuhkannya. Lagipula kita pergi ke Bali tidak sampai satu bulan, hanya satu Minggu saja dan kita sudah kembali lagi ke London!" "Tapi, Tuan… Bagaimana jika hal buruk sampai terjadi kepada Raina dan membutuhkan darah yang lebih daripada stok yang tersedia? Bagaimana kalau…" Perkataan Karen segera dipotong oleh Denis yang saat itu tengah merasa sangat kesal. "Kamu gila ya! Apa kamu tahu jika manusia itu hanya bisa mendonorkan darahnya satu kali dalam tiga bulan? Dua Minggu yang lalu saya sudah memberikan darah saya untuk adik kamu. Seharusnya itu sudah lebih dari cukup! Jadi berhenti bicara yang membuat saya kesal. Saya sedang lelah, Karen! Saat ini saya hanya ingin tidur!" Bentak Denis dengan lantang hingga membuat Karen segera menutup mulutnya rapat-rapat. Bahkan suara Denis yang terdengar penuh penekanan mampu menggetarkan tubuh Karen yang kini mulai merasa takut. Denis pun langsung melemparkan tubuhnya dengan kasar ke atas ranjang. Tanpa menunggu jawaban Karen, ia mulai memejamkan kedua matanya yang terasa berat karena tak kuasa menahan kantuknya. "Wanita itu sangat menyebalkan. Kalau saja Valeri tidak meninggalkanku, pasti hal ini tidak akan pernah aku alami!" gerutu Denis di dalam hatinya. Tak butuh waktu lama, dalam hitungan menit Denis pun sudah terlelap dalam tidurnya. Sebenarnya Denis selalu rutin melakukan donor darah di salah satu rumah sakit tempat biasa ia datangi selama tiga bulan sekali. Di rumah sakit itu juga dirinya dipertemukan dengan Karen yang pada saat itu sedang membutuhkan pendonor untuk adiknya yang memiliki golongan darah langka yang kebetulan dimiliki oleh Denis, salah satu dari beberapa orang lainnya yang memiliki golongan darah Rhnull Blood yang berjumlah kurang dari seratus orang di seluruh dunia. Benar-benar sebuah kebetulan hingga Denis akhirnya memanfaatkan situasi itu agar Karen bersedia untuk menikah dengannya, walau tanpa ada rasa cinta di hati keduanya. Karen tampak menghela napas dengan berat. Saat ini, ia mencoba untuk terbiasa dengan perlakuan tak pantas dari Denis yang tadi sempat membentaknya. Wanita itu kini mulai merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan perasaan yang tidak tenang karena besok dirinya harus pergi meninggalkan kota London selama satu Minggu. "Semoga saja apa yang dikatakan oleh Denis benar. Aku tidak ingin kehilangan Raina. Maka itu, aku sampai berkorban seperti ini. Ya Tuhan, aku mohon jaga adikku selama aku pergi besok. Walaupun jauh darinya membuatku tidak tenang, tetapi aku tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan Denis!" batin Karen yang begitu kesal dengan kehidupan yang harus dijalaninya saat ini. Karen coba merubah posisi tidurnya dari menghadap ke arah Denis, kini berubah membelakanginya. Ia benar-benar tak bisa melawan takdirnya. Mau bagaimanapun, nyawa adiknya lebih penting dari kebahagiaan saat ini. "Raina sayang, kamu baik-baik ya selama kakak tinggal pergi. Kakak sangat berharap, sepulangnya dari Bali nanti kamu sudah sadar agar kita bisa kembali berkumpul lagi, walau hanya tinggal kita berdua saja," batin Karen sebelum ia memejamkan kedua matanya untuk mencoba terlelap. Saat malam semakin larut, tiba-tiba saja suara pintu kamar terdengar dibuka oleh seseorang. Ya, tanpa Denis ketahui, ternyata sang ibu yang sudah mencurigai pernikahannya dengan Karen, kini melangkah masuk menggunakan kunci cadangan yang dimilikinya. "Jadi benar dugaanku. Sebenarnya pernikahan apa yang mereka lakukan saat ini? Sebaiknya aku tidak perlu menegur Denis terlebih dulu untuk masalah ini. Aku akan bersandiwara, seolah-olah belum mengetahui tentang apa yang dilakukannya dan jika saatnya tiba, barulah aku akan mengatakan semuanya kepada Denis!" ungkap Victoria yang teringat akan air mata Karen saat di atas pelaminan. Air mata yang bukan seperti tangisan kebahagiaan, melainkan sebuah luka yang teramat perih. Victoria kini mulai menutup kembali pintu kamar putranya itu dengan perlahan setelah membuktikan kecurigaannya Bersambung✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD