"Hari ini karena Bibi Enjum tidak ada, Paman akan tidur di rumah ibu."
Larissa mendongak memberi tanda seru, agaknya dia tidak setuju. "Kenapa begitu?!"
Bibi Enjum adalah pengurus rumah yang bertugas menjadi orang ketiga di antara paman-ponakan itu.
Ron meraih cangkir kopinya yang Larissa buatkan setelah ia makan malam barusan. Menyesapnya sejenak, dan dia tidak menjawab.
"Paman, serius tega mau meninggalkan aku tidur sendiri?" Mimik Larissa menunjukkan ketidak-inginan untuk ditinggalkan.
"Bukankah kamu mengaku dewasa?" ungkap Ron seadanya. Dia bangkit dan meletakkan cangkir kopi di wastafel. "Tidak apa-apa kalau sesekali tinggal sendiri."
Larissa cemberut. "Baiklah, terserah Paman saja." Dan dia lengser menuju kamarnya.
Ron menatap kepergian Larissa di tempat. Malam pun semakin larut. Lama berdiri di sana, Ron membuang napas pelan. Dia mengusapi tengkuknya.
Tiga puluh lima tahun, tolong catat berapa banyak angka satu yang perlu ditambah-tambahkan hingga hasilnya jadi 35. Bicara soal 'dewasa', harusnya Larissa takut kalau meminta tinggal dengannya dan hanya berdua.
Meskipun Ron memang tak ada selera atau niatan untuk menjahili Larissa dalam hal yang beraroma dewasa. Ron hanya terlalu memikirkan soal tetangga, dia dan Larissa diterima tinggal berdua di bawah atap yang sama itu pun karena ada Bibi Enjum sebagai penengah. Nah, kalau tetangga tahu hari ini Bibi Enjum tidak ada, lalu Ron dan Larissa bermalam di rumah yang sama, apa kata dunia?
Sampai akhirnya Ron memilih menghubungi seseorang.
"Alora, datanglah ke rumahku. Menginaplah di sini."
Sementara itu, Larissa yang tidak benar-benar pergi tidur. Dia masuk kamar dan keluar lagi berniat untuk negosiasi dengan pamannya. Tapi saat tiba di balik dinding dekat dapur, Ron sedang berbicara dengan seseorang yang diketahui namanya Alora.
Dan Larissa tahu betul, si Alora Alora itu adalah mantan kekasih sang paman. Larissa kesal maksimal, dia geram sampai DNA, bawa rasa ingin menyentil ginjal pamannya. Selalu saja jalan keluar yang Ron ambil itu Alora.
Larissa mengintip Paman Ron yang kini berjalan melewatinya tanpa ketahuan, sebab Larissa lincah bersembunyi di balik kulkas. Dia mengintip lagi. Rumah ini tidak besar, tidak kecil juga. Keberadaan kulkas tepat di tengah-tengah rumah yang lokasinya strategis, berhubung lampu di sekitar kulkas sudah temaram, Larissa melihat Ron yang mematikan cahayanya.
Lalu bola mata Larissa mengikuti perginya Ron yang duduk di sofa sambil--oh, God!--membuka pakaiannya. Larissa refleks berhenti mengintip meskipun ingin. Jantungnya berlomba-lomba memompa darah, wajahnya kian memanas.
Jalan keluar di situasi seperti ini adalah kabur ke kamar. Larissa berani jamin dia tidak akan bisa tidur nyenyak. Padahal, Larissa tahu pamannya itu memakai kaos putih lagi di balik kemejanya. Tapi tetap saja, selain wajah area pipi ... rahimnya juga ikut menghangat!
***
Alora merupakan gadis cantik yang mau melakukan apa saja asal si pemberi perintah itu adalah Ron. Alora juga sudah menganggap Larissa seperti ponakannya sendiri, walau Alora tahu gadis 20 tahunan itu tak mau diakui demikian.
Alora dan Ron berteman sejak lama, lalu berpacaran beberapa saat sebelum Ron yang memutuskan. Tapi Ron tidak membuangnya, sekali pun sudah jadi mantan mereka tetap haha - hihi sewajarnya.
Dan hari ini Alora bertempat di rumah Ron yang ada Larissa-nya. Setelah semalam Ron memintanya menemani Larissa, sementara Ron sendiri pulang ke tempat asalnya.
"Tante sedang apa di sini?!"
Well, Larissa tidak tahu kedatangan Alora semalam. Yang membukakan pintu untuk Alora adalah lelaki berkaos putih, bukan Larissa Andromeda tentunya.
"Pagi, Larissa! Aku sudah membuatkan sarapan untukmu."
Wajah Larissa masih tertekuk garang. Lensanya melongos mencari-cari keberadaan Ron, tapi yang dia temukan justru kemeja biru tua yang semalam Ron lepaskan kini melekat di tubuh Alora.
Hati Larissa berkedut nyeri.
"Paman mana?"
Alora tersenyum. "Oh, dia sudah berangkat kerja setelah sarapan tadi."
Bohong! Larissa berharap itu hanya takhayul semata, atau bahkan mitos yang melegenda! Itu lebih baik ketimbang fakta.
"Ah, sudah jam tujuh. Aku bisa terlambat, nikmati sarapanmu Larissa," kata Alora sambil berlalu.
Larissa terpaku, dia melihat Alora begitu percaya diri memasuki kamar Ron dan keluar lagi dengan pakaian wanita. Tanpa sadar Larissa mengepalkan tangannya, dia akan marah jika apa yang ada di pikirannya kini adalah nyata.
Semalam ... Ron dan Alora melakukan sesuatu yang Larissa lewatkan, kan?
***
"Iya, kamu benar."
Ron membuka maskernya, dia baru saja melakukan operasi sesar pada pasiennya. Sementara Rigel, orang yang sebelumnya bertanya kepada Ron: Apa kau pulang semalam?
Ngomong-ngomong, Rigel merupakan kakak ipar Ron yang bekerja sebagai direktur di Perusahaan Almond Financial.
"Ada perlu apa sampai jauh-jauh mendatangiku yang sedang ada operasi?" Ron membuang maskernya ke tong sampah. Dia pun mengajak Rigel untuk bertempat di ruangannya
Rigel duduk si kursi sebelum Ron mempersilakan, sudah menjadi rahasia umum kalau Rigel itu suka bertindak seenaknya dan melakukan apa yang menurut dia perlu dilakukan.
"Apa aku mandul?"
Ron menaikkan sebelah alis mata.
Rigel mengusap dagunya serius. "Kakakmu belum juga hamil padahal hiperbolanya: tiap malam kami berusaha. Ini sudah di tahun ke tiga pernikahan."
Rupanya Rigel datang untuk konsultasi tentang kesuburan. Atau mungkin ... bukan--
"Jadi, kapan kamu menikah, Ron? Ibu sudah tidak sabar ingin cucu, sedangkan kamu tahu kami yang sudah menikah ini belum dipercayai oleh Tuhan soal titipan."
Ya, melainkan tentang pernikahan dan ...
"Ingat, Ron. Kau sudah jadi bujang lapuk."
... usia tiga puluh lima tahunnya. Ron mendengkus seperti biasa ketika membahas soal umur, pernikahan, dan cucu.
"Belum ada yang cocok." Selalu seperti itu jawabannya.
Kalau dihiting-hitung, sudah lebih dari lima belas kali Rigel mendapatkan jawaban serupa dari Ron. Tapi Rigel juga tidak bisa untuk tidak bertanya hal yang sama sementara mertuanya meminta agar dia mau membujuk Ron, si bujang lapuk untuk menikah.
"Bukan karena kamu tidak suka wanita, kan?" Rigel mulai curiga.
"Aku punya mantan, dia perempuan."
"Iya, tapi kapan mau cari pacar dan lanjut ke jenjang yang lebih serius?"
Ron menatap datar lawan bicaranya. "Belum ada keinginan."
Rigel meradang. Bicara dengan Ron berpotensi memperpendek usia karena serangan darah tinggi. Dia menyerah. "Terserahlah, kalau menunggu kamu ingin menikah mungkin saat itu adalah saat kepalamu sudah ubanan."
Rigel lengser dan membanting pintu saking kesalnya. Dia melupakan tempat yang sedang dipijakinya adalah rumah sakit ibu dan anak, kekesalannya kepada Ron sampai di ubun-ubun.
Namun, berlainan dengan Rigel, Ron justru tetap tenang dan merasa tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan ketika pintu di buka kembali dengan kekuatan ekstra, Ron masih sedatar alur hidupnya.
"Paman!"
Ron salah. Hidupnya tak pernah datar kalau gadis itu yang ada di depannya.
***
Pagi itu Larissa benar-benar marah, tapi dia tahu tidak berhak jika amarahnya ditujukan kepada sang paman.
Rasanya cinta sepihak itu tidak enak. Segala sesuatu terbatasi oleh hak. Tapi untuk memilih berpindah ke lain hati juga tidak bisa, seolah perasaan itu sudah diatur sepenuhnya untuk tidak berpaling.
Soal Alora, tentang Ron, dan mengenai semalam. Larissa butuh klarifikasi. Oleh sebab itu, saat jam istirahat tiba dia mendatangi rumah sakit, menerobos masuk ke ruang kerja pamannya.
Larissa berseru, dia melihat Ron duduk diam menatapnya. "Jelaskan padaku soal kalian semalam!"
Dia bicara langsung pada inti, seakan tak sudi berbasa-basi apalagi kalau sampai harus menyebut nama Alora. Bagi Larissa, haram hukumnya menyebut empat huruf yang diawali dengan A dan diakhiri dengan A lagi, sementara tengahnya ada L, O, dan R.
"Kamu ini bicara apa?" Ron tidak memedulikan Larissa yang nampak terbakar emosi. Sekarang saja gadis itu berjalan berapi-api mendekatinya.
"Paman sengaja kan, cari-cari kesempatan untuk tidur bersama dengan gadis lain di saat Bibi Enjum tidak ada?!"
Makin menjadi, Ron menatap bingung sosok Larissa.
"Paman hanya menjadikan Bibi Enjum sebagai alasan untuk pergi dari rumah, tapi sebenarnya Paman itu gatal ingin bermesraan dengan--" Tolong, jangan membuat lidahnya menyebut nama orang itu. Karena saat teringat namanya saja, semua kejadian seperti kemeja dongker Ron yang ... hati Larissa sakit, dia tak ingin lanjutkan.
Larissa terlalu mengagumi pamannya, dia sampai jatuh hati dan tak bisa ditahan lagi. Kegilaan ini membuatnya terlena dan sulit berhenti.
Larissa pun mengatupkan bibirnya. Dia memandang ke arah yang tidak ada Ron-nya. Antara malu, marah, dan sedih, jadi satu. Cinta yang membuat Larissa merasa tololl sendiri.
"Coba katakan padaku satu-satu maksud dari seluruh tuduhanmu." Masih tenang. Ron pun menatap wajah Larissa dalam-dalam. Sementara gadis itu memilih diam.
"Larissa."
"Aku menyukai Paman!" teriak Larissa sambil menutupkan matanya. Dia memang masih sekekanak-kanakan ini. Usia transisi pun membuat emosinya lebih bergejolak, bersemangat.
Giliran Ron yang bungkam.
"Paman tahu itu, kan?"
Tidak berniat menanggapi. Ron hanya melihat mimik Larissa yang sendu dan matanya yang menatap pilu.
"Lalu kenapa Paman bawa-bawa Alora dan kalian ..." Larissa menggigit bibirnya, dia menjeda demi menetralkan detak jantungnya, "... kalian malah--"
"Cukup, Larissa."
Ron tidak ingin mendengar ucapan konyol yang seolah-olah sedang menyudutkannya, sementara Ron tidak tahu di mana letak salahnya.
"Paman tidak tahu apa yang kamu bicarakan, tapi soal Alora, Paman memang menyuruhnya datang ke rumah untuk menemanimu menggantikanku. Lalu soal perasaanmu ...," dia memberi spasi dalam ucapannya, "lupakan saja. Itu hanya perasaan sesaat."
"Paman!"
"Pulanglah," titah Ron sambil bangkit. "Paman akan sibuk."
Lagi-lagi penolakan. Larissa menelan bulat-bulat keputusan Ron. Tanpa berucap apa pun lagi, dia memilih pergi.
Sepeninggalan Larissa, Ron membuang napas pelan. Dia menatap lekat daun pintu yang ditutup.
***
"Hei, apa yang kamu lakukan?!"
Lucia menatap Larissa yang baru saja datang di kantor dan sekarang Larissa sedang menggeledah seluruh meja kerjanya, mengeluarkan seluruh tetekbengek yang berkaitan dengan wajah pamannya.
"Hoi, Larissa Andromeda, kamu dengar aku?!"
Pasalnya Larissa tetap bungkam dalam aktivitasnya yang mengumpulkan seluruh tentang Ron, dia akan membuangnya atau membawanya ke rumah dan menyimpannya saja di gudang. Bahkan Larissa mengobok-obok isi laptopnya, lagi-lagi terpenuhi oleh tampang pamannya. Ah, sayang sekali ... Larissa akan menaruhnya di recycle bin.
Melihat kelakuan temannya itu, Lucia bersedekap. Sedangkan Larissa meluruh di kursi. Dia tak mengindahkan sekitar. Ternyata begini rasanya patah hati.
"Mau bercerita padaku? Aku membuka jasa konsultasi: satu kata cukup dengan seratus ribu saja."
"Paman selingkuh," lirih Larissa.
"Memangnya kalian resmi berpacaran?"
Larissa menggigit bibirnya, kebiasaan buruk saat dia tak mau menjawab pertanyaan orang. Lucia pun duduk di meja, berhubung masih ada waktu istirahat dan di sana sedang sepi, tidak sopan sesekali, biarlah. Lucia yang tanggung konsekuensinya.
"Sudahlah, apa bagusnya sih pria tiga puluh lima tahun itu? Sebentar lagi juga pasti karatan. Meleyot-meleyot gitu."
Larissa mendelik.
"Kalau kamu mau, aku ada teman untuk kamu jadikan pelarian. Dia muda dan tampan, yang paling penting dia juga mapan. Paman Ron-mu itu ... lewat!"
Masalahnya, apa bisa Larissa melarikan diri dari cinta semunya kepada Ron? Sebelas tahun Larissa menyimpan rasa sukanya kepada sang paman, merupakan hal mustahil bagi Larissa untuk bisa jatuh cinta ke hati orang lain sekalipun orang itu adalah Orion Debora.
"Benar! Kakak kelas kita yang populer itu, Larissa. Kupikir Orion Debora cocok denganmu."
Lalu, haruskah Larissa pertimbangkan?
***
Ini hari yang berat bagi Ron. Belum lagi masalah ibunya yang memburu-buru agar ia bergegas menikah. Ron penat. Terlebih saat tiba di rumah, yang menyambutnya justru Bibi Enjum.
"Tuan Muda, biarkan saya yang bawa tasnya."
Seformal itulah Bibi Enjum. Ron mengangguk saja. Sementara matanya bergulir mencari-cari keberadaan ponakannya.
"Apa Larissa belum pulang?"
"Oh, Nona Muda tadi izin untuk kencan."
Ron diam. Dia duduk di sofa dan tidak ada segelas air putih di meja, biasanya selalu Larissa siapkan. Bibi Enjum tidak pernah melakukan itu, pasalnya hal-hal kecil yang membuat Ron senang adalah inisiatif dari ponakannya sendiri.
Mendengkus mengusir hama-hama tanaman, Ron berusaha untuk tidak termakan hama perasaan ... seperti kesal tanpa sebab, misalnya?
"Sejak kapan kencannya?"
"Eh?" Bibi Enjum kira obrolan mereka telah usai, ternyata masih berlanjut. "Sejak jam empat sore, Tuan."
Sekarang sudah jam tujuh malam. Bagus, Larissa belum datang. Apa ponakannya itu sedang mencoba menjadi gadis nakal? Ron tentu geram. Tapi pembawaannya tetap tenang. Dia pun memilih melebur ke dalam bak mandi, melarutkan emosinya yang datang dadakan.
Setengah jam Ron bermain-main dengan air, tubuhnya sudah dingin sekarang sampai ke otak, Ron pun menghampiri Bibi Enjum dan bertanya lagi.
"Di mana Larissa?"
Nampaklah Bibi Enjum yang kebingungan, dia menggaruk tengkuknya sambil bilang, "A-anu, Tuan. Tadi Nona Muda menelepon, dia meminta saya untuk menyampaikan izinnya kepada Tuan Muda."
Mimik Ron masih tidak berganti dari tadi, lurus tak ada lekuk-lekuk emosi sekali pun tangannya mengepal saat Bibi Enjum lanjutkan bahwa, "Malam ini Nona menginap di rumah pacar barunya."
***