Bab 2 Memaksa Wanita Baik-Baik Menjadi p*****r?

1613 Words
Indra turun dari mobil dan menyuruhku untuk tidak banyak bicara, juga melihat. Selain itu, aku pun harus mengingat segala perkataannya; pada saat melakukan jual-beli barang, tawar menawar adalah kegiatan yang penting. Lalu, jangan sampai rugi juga dalam melakukan bisnismu. Aku mengangguk-angguk saat dia mengatakan itu dan lanjut mengikutinya. Kami menyusuri koridor terbengkalai dengan tembok-temboknya yang sudah menguning dan dipenuhi dengan coret-coretan anak kecil, bahkan ada yang meminta seseorang untuk melunasi hutangnya dan lain sebagainya. Sungguh hiasan yang sangat mencolok. Begitu kami tiba di lantai 3, Indra merapikan kerahnya dan mengetuk pintu. Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Ekspresi wajahnya benar-benar tidak enak dilihat. Ditambah lagi, wajahnya memiliki bekas tamparan yang sangat kentara dan rambutnya begitu berantakan, persis seperti orang yang baru saja habis berkelahi. Aku merasa sedikit canggung, tapi Indra melangkah memasuki rumah itu seolah tidak terjadi apa-apa. Setelah masuk, aku bisa melihat bahwa kondisi rumah wanita paruh baya tersebut benar-benar menyedihkan. Hanya ada sebuah meja kayu tua berbentuk persegi dan beberapa perabotan sederhana di sana. Namun, yang membuatku terkejut adalah jumlah orang yang tinggal di rumah tersebut. Sekilas lihat saja, aku bisa menyimpulkan bahwa mereka bukanlah keluarga biasa, melainkan sebuah keluarga besar! Ada sekitar 7 atau 8 orang yang berdiri di depan meja dengan ekspresi wajah yang terlihat menyeramkan. Sebagian besar dari mereka merokok dan buruk rupa. Di antara mereka, ada seorang gadis berusia sekitar 18 atau 19 tahun sedang berdiri di sebelah si wanita paruh baya itu. Tampaknya dia adalah ‘barang’ yang dimaksud oleh Indra. Tentu saja, tatapanku tertuju pada ‘barang’ itu. Ketika melihatnya, aku pun terkejut. Sekarang aku tidak memiliki kesan yang baik terhadap wanita, tapi gadis ini berbeda dengan para wanita yang ada di tempat Indra. Rambutnya hitam panjang, bola matanya jernih, dan wajahnya cantik. Dia mengenakan gaun bunga-bunga tanpa lengan. Bahu dan kakinya ditutupi oleh bekas luka merah yang memanjang. Ada air mata di sudut matanya, jelas sekali kalau dia baru saja menangis. Karena sudah lama tidak berkomunikasi dengan orang asing, saat itu aku merasa sedikit gugup. Aku juga memikirkan apa yang menyebabkan luka di tubuh gadis itu. Namun, sebelum aku sempat menenangkan diri, terdengar seseorang berbicara dengan nada kasar yang membuatku takut. “Cepat tuangkan air untuk Bos! Untuk apa terus berdiri di sana seperti orang mati?” Orang yang bicara barusan adalah seorang pria paruh baya yang ekspresinya galak. Tampaknya, dia adalah orang yang suka marah-marah. Aku menyimpulkan bahwa dia pastilah kepala keluarga di rumah ini dan juga orang yang akan bernegosiasi dengan Indra. Wanita paruh baya berwajah pucat itu pun segera menuangkan air minum untuk kami. “Bos.” Ekspresi wajah pria paruh baya itu berubah ketika dia menyapa Indra. Dia menyuruh kami duduk dan memberi rokok pada kami. Gadis itu terus menatap kami dengan ketakutan, sedangkan orang-orang yang berada di sekitar meja terus-menerus melihat ke arahnya seolah sedang mengawasinya. Indra langsung menyatakan maksud kedatangannya dan berkata kepada pria paruh baya itu, “Apakah putri Anda bersedia melakukannya dengan sukarela?” Pria paruh baya itu tersenyum mengejek dan mengangguk, kemudian menyatakan bahwa dia telah mengetahui peraturannya. Jadi, bagaimana mungkin gadisnya tidak melakukannya dengan sukarela? Kemudian, dia berbalik dan memelototi gadis itu, “Lasmi, kemarilah!” Gadis yang bernama Lasmi itu wajahnya penuh dengan bekas air mata. Setelah dipanggil, dia berjalan mendekat. “Heh, malah bengong saja! Cepat sapa Bos!” Mata jernih Lasmi terlihat ketakutan. Lalu, dia menyapa dengan suara tersedak, “B-bos.” Indra berbalik, menatap Lasmi, kemudian bertanya mengenai kerelaannya melakukan pekerjaan itu. Ekspresi Lasmi terlihat ragu-ragu, membuatnya melihat ke arah pria paruh baya itu lagi. Namun, pria tersebut malah memaki, “Dasar jalang! Bisnis ini memang membutuhkan kerja keras. Jika di titik ini kamu sudah menyerah, tidak akan ada kesempatan kedua untukmu!” Kemudian aku melihat ke arah Lasmi yang masih menunjukkan rasa enggan. Namun, dia berjuang untuk menyembunyikan perasaannya dan mengangguk sambil menatap Indra. Aku jadi merasa tidak nyaman saat melihat situasi ini. Wanita paruh baya yang tadi menyapa kami pun keluar sambil membawakan teh. Namun, dia malah mendapatkan omelan kejam dari si pria paruh baya. Pria itu mengatakan bahwa dia sangat lambat dan kalau sampai gerak-geriknya lamban lagi, dia akan segera diberi pelajaran. Indra yang tampaknya sudah terbiasa dengan kejadian seperti ini, mengalihkan pandangan pada pria paruh baya tersebut dan mulai berdiskusi. Sahabatku itu memang sangat pandai dalam menekan harga. Pria paruh baya itu menginginkan uang sebesar 160 juta rupiah sedangkan Indra bersikeras menawar di harga 40 juta rupiah. Pada akhirnya, setelah melalui perundingan yang alot, harga yang disepakati adalah 100 juta rupiah. Setelah mencapai kesepakatan, pria paruh baya itu langsung menghina Lasmi dan ibunya, “Mau itu muda atau tua, semuanya sama-sama berharga rendah. Dasar kalian barang tidak berguna!” Indra sama sekali tidak berniat menghibur keduanya. Dia hanya mengeluarkan 5 gepok uang dari dalam tas ranselnya dan menyerahkannya kepada pria paruh baya itu. Setelah mengeluarkan uang tersebut, dia meletakkannya di meja untuk mereka hitung. Tidak lama kemudian, mereka itu mengangguk dan berkata kalau kami bisa membawa pergi gadis itu. Ada terlalu banyak keraguan di dalam hatiku, tapi selama transaksi tersebut dilakukan, aku menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa. Setelah berada di luar, barulah aku bertanya padanya, “Bukankah kamu sebelumnya mengatakan bahwa kamu akan membicarakan bisnis dengan keluarganya? Mengapa ada begitu banyak orang di dalam rumah itu?” Indra tidak menjawab pertanyaanku. Alih-alih berkata, dia memberi isyarat agar kita pergi dulu dari tempat tersebut sebelum mulai bicara. Pada saat yang bersamaan, kami juga menarik Lasmi untuk menuruni tangga. Setelah berada di lantai bawah dan bersiap-siap untuk masuk ke dalam mobil, tiba-tiba terdengar suara seseorang menjatuhkan diri ke aspal. Saking terkejutnya, aku langsung menoleh. Saat itulah aku melihat Lasmi berlutut di hadapan Indra. Indra juga menoleh dengan ekspresi yang tidak kalah kaget, “Apa yang kamu lakukan?” Lasmi menangis dan memohon pada Indra, “Bos, tolong selamatkan saya. Saya mohon, biarkanlah saya pergi.” Perkataannya yang tiba-tiba itu membuatku kewalahan, sedangkan Indra menunjukkan ekspresi bingung. Lalu, ia bertanya pada Lasmi, “Apa yang baru saja kamu katakan? Membiarkanmu pergi?” Lasmi berkata dengan ekspresi memelas, “Saya tidak melakukannya dengan sukarela. Ayah saya berhutang karena judi. Luka-luka di tubuh saya ini semuanya karena mereka pukuli. Orang tua saya juga mereka hajar dan mereka pun kehilangan pekerjaan. Itulah sebabnya mereka menjual saya untuk melunasi hutang. Bos, bisnis Anda ‘kan berjalan dengan baik, jadi saya mohon, lepaskan saya.” Apa yang gadis itu katakan membuatku paham. Ternyata, sejak awal tidak ada yang namanya sukarela, semuanya adalah omong kosong! Gadis ini jelas dipaksa untuk melakukannya. Dia adalah versi nyata dari seorang gadis yang dipaksa untuk menjadi p*****r. Pantas saja anggota keluarganya terlihat bengis. Rupanya, mereka semua adalah para penagih hutang. “Kamu…” Indra tampak serba salah. “Bos, bisnis Anda ‘kan berjalan dengan baik. Saya bersedia bekerja untuk Anda untuk membalas kebaikan Anda pada keluarga saya, tapi saya tidak mau menjadi wanita penghibur. Sejak awal saya belum pernah berhubungan dengan pria mana pun. Saya mohon….” Permohonan Lasmi yang memantik rasa kasihan ditambah dengan bekas-bekas luka di tubuhnya membuat hatiku terenyuh. Aku pun tidak tahan lagi dan berkata pada Indra, “Dia sama sekali tidak melakukan ini dengan sukarela. Apakah bisnisnya masih dapat berjalan kalau begini?” Kupikir, hati Indra akan luluh. Bagaimanapun juga, kondisi gadis itu sangat menyedihkan. Namun, tak kusangka Indra hanya menunjukkan ekspresi tidak berdaya dan berkata, “Aku telah membayarnya sebanyak 100 juta rupiah dan itu bukanlah jumlah yang kecil.” Sikap Indra membuatku paham. Dia tidak akan mungkin melepaskan gadis itu. Semua kata-kata yang dikatakannya padaku kemarin hanyalah kata-kata yang dipercantik. Di dalam bisnis ini, tidak ada seorang pun yang baik, termasuk Indra sahabatku. Setelah menghela napas, aku menatap Indra dan mengatakan tiap kata demi kata perlahan supaya terdengar jelas, “Tindakan ini sama saja dengan memaksa seorang gadis baik-baik untuk menjadi p*****r. Sudahlah, sebaiknya kita tidak melakukan hal yang kejam seperti ini. Kita bisa menyuruhnya bekerja paruh waktu di klub untuk membayar hutangnya, bukan?” “Tidak mungkin. Memangnya kamu pikir dia benar-benar dapat melunasi uang sebesar 100 juta rupiah setelah gaji kerja paruh waktunya dikurangi biaya hidup sebesar 4-6 juta rupiah per bulan? Kalau seperti itu, mungkin dia harus membayarnya seumur hidup.” “Bos, saya akan bekerja dengan sebaik mungkin. Tidak peduli seberapa berat pekerjaannya, saya pasti bisa melakukannya. Saya mohon, jangan suruh saya untuk melakukan hal itu.” Lasmi masih berlutut dan memohon-mohon sambil menangis di hadapan Indra. Namun, Indra sama sekali tidak tergerak hatinya. Pada akhirnya dia hanya berkata pada Lasmi, “Sudahlah, jangan bicara lagi. Dengarkan aku baik-baik, ini demi kebaikan semua orang. Aku benar-benar telah menghabiskan uang sebanyak Rp 100 juta, jadi aku tidak mau rugi! Kamu tidak bisa bila hanya mengembalikannya pelan-pelan. Jika tidak, aku akan membawamu kembali ke atas dan mengambil kembali uangku.” Begitu Indra mengatakan itu, Lasmi terlihat gelisah. Dia menggelengkan kepalanya sambil menangis, sorot matanya sangat ketakutan. “Bos, saya tidak bisa kembali. Kalau saya kembali, saya akan dipukuli sampai mati. Tangan ayah saya juga akan dipotong,” Lasmi berkata dengan air matanya berlinang. Jelas, dia lebih menolak kembali ke tempat tadi. Meski hatiku merasa iba, tapi Indra adalah saudaraku. Aku tidak mungkin mengkhianatinya hanya karena seorang wanita, bukan? Indra pun menyuruh Lasmi masuk ke dalam mobil. Karena dia tidak mau kembali, jadi sebaiknya gadis itu ikut dulu dengan dia. Meskipun sudah berada di dalam mobil, gadis itu terus menangis. Aku yang tidak tegaan, beberapa kali menolehkan ke belakang untuk menawarinya tisu, tapi dia tidak pernah menggubris niat baikku. Hal ini membuat hatiku terasa berat, seolah ada beban yang menghimpit di sana dan aku tahu, beban itu adalah perasaan bersalah yang begitu dalam. Walau begitu, Indra melajukan mobilnya dengan santai seperti tidak pernah terjadi masalah apa-apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD