Chapter 1 Pandai Bermain Ekspresi

1201 Words
Ines tengah menatap ke arah pantulan dirinya yang berada di sebuah cermin. Entah apa yang ingin dia lihat dan perhatikan dari pantulan tersebut, yang jelas gadis itu mengulas senyum manis yang mampu membuat siapa pun terpesona. Senyum manis yang selalu terukir di bibirnya setiap hari, tanpa lelah. Mengedipkan sebelah mata, lalu berjalan keluar kamar dan menuju ke ruang makan. Sesampainya di sana, ia pun membantu sang bunda yang tengah berkutat dengan beberapa bahan masakan. Setiap pagi, ia dan bundanya akan membuat sarapan dengan menu yang berbeda-beda, tetapi jika keduanya tengah sakit, maka hanya sarapan dengan roti dan selai juga segelas s**u saja. Meskipun tidak mendapatkan jawaban, Ines tetap membantu Mayang dengan cekatan. "Selamat pagi, Bunda," sapa Ines saat baru sampai di dapur. Mayang menatap Ines dengan sekilas, lalu kembali fokus dengan masakannya. Melihat hal itu, ia hanya bisa mengulas senyum paksa dan menghampiri Mayang. Membantu wanita paruh baya itu dan mencoba untuk mengakrabkan diri. "Bunda, katanya hari ini Bang Arka pulang." Ines berucap dengan canggung. Mayang menatap ke arah Ines dengan dahi berkerut. "Kamu kata siapa?" tanya wanita itu dengan wajah datar. "Semalem Abang bilang ke Ines, katanya Abang udah telpon Bunda tapi nggak terhubung, mungkin ponsel Bunda mati. Ines suruh bilang ke Bunda, buat jemput Abang di bandara. Katanya, Abang juga ajak Nella buat ke rumah," jawab Ines dengan panjang lebar disertai senyum manisnya. "Oh iya, semalam ponsel saya mati. Bilang sama Arka, nanti saya dan Mas Argi jemput dia di bandara. Kamu tanya jam berapa dia bakal sampai di sana, terus kasih tahu saya," titah Mayang, membuat Ines menganggukkan kepala dan tersenyum. Meskipun dengan wajah datar dan kalimat yang formal, tidak menutup kemungkinan bahwa Ines senang dengan apa yang diucapkan oleh Mayang. Wanita paruh baya itu mau berbincang dengannya. Namun, senyuman Ines seketika luntur mendengar apa yang diucapkan oleh Mayang. "Ya Allah, nggak sabar pengen ketemu Arka, apalagi Nella. Kalau dia ada di sini, mau aku ajak shopping dan q-time," gumamnya dengan senyum indah. Ines menatap ke arah sang bunda dengan perasaan sedih. Tanpa terasa masakan pun siap, ia menatap ke arah meja makan yang terdapat beberapa makanan. Ingin rasanya ia duduk di sini dan ikut sarapan bersama, tetapi takut bundanya marah dan mengamuk. Rasa sedih terus saja melingkupi hidup Ines, padahal ia hanya ingin merasakan kehangatan dari kedua orang tua dan abangnya. "Bunda, Ines berangkat ke kampus dulu ya," pamit gadis itu sambil mengecup punggung tangan bundanya dan mengambil tas punggung yang ada di kursi. "Tunggu," pinta Mayang. Ines membalikkan badannya menatap ke arah Mayang. "Kenapa, Bunda?" "Saya mau titip makanan buat Fernan, tadi Day menghubungi saya kalau dia tidak bisa memasak sarapan pagi ini, karena suaminya sedang sakit. Dia berpesan untuk membuatkan bekal sarapan dan titipkan ke kamu," jelas Mayang, membuat Ines terdiam sejenak. "Kenapa kamu malah diam?!" bentak Mayang. Ines terlonjak kaget. "Maaf, Bunda." Mayang menyodorkan sebuah tupperware yang berisi makanan. Hanya satu buah, itu untuk Fernan. Sedangkan Ines? Hanya bisa menatap sedih ke arah objek yang disodorkan oleh Mayang. Gadis itu menghela napas secara perlahan untuk menetralkan rasa sedih. "Bunda, hanya satu ya? Boleh nggak Ines minta juga?" tanya Ines dengan terbata-bata dan wajah yang menatap ke arah lain. Bukannya mendapatkan jawaban persetujuan, Mayang malah menghampiri putri bungsunya. Menampar dengan keras pipi gadis itu hingga terdengar suaranya ke ruang keluarga di mana ada Argi yang tengah berbincang dengan Fernan. Ines meringis, kulit pipinya memerah dan telinganya terasa berdengung, bukan hanya itu, bibirnya pun sobek dan mengeluarkan darah. "Maaf, Bunda," ucap Ines dengan mata berkaca-kaca. Fernan dan Argiantara Erick, ayah Ines, langsung berlari ke arah ruang makan yang terhubung dengan dapur. Mereka menatap ke arah Mayang yang berdiri di hadapan Ines dengan wajah yang menampakkan bahwa ia tengah emosi. "Ada apa ini, Sayang?" tanya Argi dengan nada khawatir melihat raut wajah Mayang. Fernan mengerutkan dahi melihat perlakuan Argi yang berbeda jika berada di rumahnya. Seakan-akan mereka tidak peduli dengan Ines. Di sini yang terluka Ines, tetapi mengapa pria paruh baya itu malah mengkhawatirkan keadaan istrinya? Itu sangat tidak masuk akal. "Kamu! Apa yang kamu perbuat lagi, Hah?! Dasar anak pembawa sial!" bentak Argi sambil menampar Ines. Fernan yang melihat hal itu, langsung mendekat ke arah Ines. Membawa gadis itu pergi dari kediaman Argi setelah berpamitan pada orang tua Ines. Di dalam mobil Ines tidak berbicara sedikitpun. Hal itu membuat Fernan menjadi tidak tega untuk bertanya lebih jauh soal Mayang yang menamparnya. Tiba-tiba saja Fernan terkejut melihat Ines yang menyodorkan sebuah tupperware yang sepertinya berisi makanan. Gadis itu akhirnya kembali ceria seperti semula, ia tersenyum ke arah Fernan. "Bunda suruh Ines kasih ini ke Fernan. Katanya, Tante Day minta tolong Bunda untuk kasih sarapan ke Fernan dan titipin ke Ines," ucapnya dengan nada lembut. Meskipun Ines mengulas senyum tulus dan terlihat ceria. Ia tidak akan pernah bisa menyembunyikan raut kesedihannya kepada Fernan yang sudah hapal mengenai apa yang terjadi kepada gadis itu. Namun, untuk kali ini dia tidak akan bertanya dulu, menunggu Ines saja yang bercerita. Jujur saja, jika seperti ini, Ines terasa asing. Karena biasanya Ines sangat ceria, tidak ada raut kesedihan yang bisa Fernan lihat. Mungkin gadis itu mampu menyembunyikan lukanya sebaik mungkin. Ines adalah gadis yang cantik, manis, dan lucu. Dia selalu membuat orang lain tertawa dan kesal secara bersamaan, karena kelemotannya dan keabsurd-annya. "Buat gue?" tanya Fernan memastikan apa yang dikatakan oleh Ines, padahal dia sendiri sudah mengetahuinya. Ines menganggukkan kepala dengan mantap. "Iya, buat Fernan katanya," jawabnya dengan santai. "Kalau buat Ines mana mungkinlah. Yang ada sebelum ngambil makanan udah mati duluan, tadi aja baru ngomong udah kena tampar dua kali," lanjut gadis itu sambil terkekeh pelan, membuat Fernan mengerutkan dahi. Bukan ucapan dari Ines yang membuatnya bingung, tetapi ekspresi dari gadis itu yang selalu membuat ia merasa aneh. Bagaimana mungkin orang yang tengah terluka masih mampu menahan kesedihan, apalagi itu di hadapan sahabatnya sendiri. Ines memang hebat. "Jadi, lo ditampar sama Bunda karena—" Belum sempat Fernan berucap, tiba-tiba saja langsung disela oleh Ines. "Jadi tadi itu Ines cuma bilang begini, Bunda cuma satu ya? Boleh nggak Ines juga. Ternyata ucapan Ines buat Bunda marah, tahu gitu Ines diem aja nggak usah bilang apa-apa. Nih, mulut sih ikutan ngomong kalau lagi sama Bunda," sela gadis itu. Fernan menyentil dahi Ines. "Ya kan emang mulut gunanya buat ngomong, Princes. Kalau hidung buat napas. Ya kali mulut diem, hidung yang suruh ngomong. Jangan ngada-ngada, Bu!" sahut Fernan yang merasa gemas dengan ucapan Ines. "Kenapa lo nggak tinggal di rumah gue aja, Nes. Enak kok, nggak nyeremin kayak di rumahnya Om Argi. Tiap hari lo kayaknya kesiksa gitu, kan gue nggak pernah stay di sana, jadi nggak bisa bela lo saat mereka nyakitin lo, Nes," tawar Fernan, "dijamin, Nes. Tinggal di rumah gue lo bakalan dapat fasilitas enak, suasana nyaman dan damai, hidup bakalan tenteram. Dan nggak akan ada yang nyakitin lo." Sekali lagi Fernan memberikan tawaran kepada sahabat masa kecilnya itu. "Masalahnya, emang Fernan punya rumah?" Skakmat! Mendengar hal itu Fernan langsung diam seribu bahasa. "Nggak punya sih. Eh, bukan nggak, lebih tepatnya belum, Nes. Siapa tahu besok gue langsung punya, tiba-tiba kan ada undian terus gue ikut dan menang. Atau siapa tahu Daddy tiba-tiba meninggal, terus ngasih warisan deh ke gue," seloroh Fernan dengan asal. "Terserah," balas Ines dengan tawa indahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD