Bukan Pernikahan Impian

1393 Words
Pagi, begitu sibuk di kediaman Mey. Kabar pernikahan yang begitu mendadak, membuat semua keluarga kalang kabut karnanya. Bahkan, mereka baru bisa tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Setidaknya, meski mendadak semua persiapan sudah selesai. Hantaran yang dibeli pun, sudah cukup jumlahnya. "Nan, coba cek mas kamu di kamarnya. Udah selesai belum dia?" pinta Mey pada Afnan. "Ga perlu, Mah. Mas, udah siap kok." Belum sempat Afnan beranjak, ternyata Ahsan sudah lebih dulu keluar dari kamarnya. "Masyaallaah. Tampan banget sih, anak Mamah yang satu ini." Mey, langsung menghampiri Ahsan dan merapihkan jasnya. Mey menatap Ahsan, haru. Diusapnya, pipi sang anak lembut. "Makasih ya, Sayang. Kamu, udah mau memenuhi permintaan konyol Mamah ini." Jujur saja. Mey, khawatir jika Ahsan merasa terbebani dengan pernikahan ini. Karna, Ahsan menyetujui pernikahan ini, hanya karna permintaannya saja. Bukan murni keinginannya. "Kamu, lagi ga suka sama perempuan mana pun kan, Mas?" tanyanya hati-hati. "Ga kok, Mah. Mas, lagi ga menyukai siapapun," jawabnya menenangkan hati Sang Mamah. Seketika, senyum terbit di wajah Mey. Lega, setelah mengetahui bahwa sang anak sedang tak menyukai siapapun. Itu berarti, ada peluang untuknya jatuh cinta pada Shanum. Kini, semua telah bersiap untuk berangkat menuju kediaman Shanum. *** "Pengantin, kok cemberut aja, sih" goda Lintang, berusaha mencairkan suasana yang panas sejak subuh tadi. Setelah shalat subuh, Shanum memang sengaja lebih memilih untuk diam. Lelah rasanya, jika harus berdebat kembali dengan kedua orang tua dan opahnya, terkait masalah pernikahan hari ini. "Mamah harap, kamu mengerti dengan  keputusan yang kami ambil ini, Cha." Lintang, membelai punggung Shanum yang telah terbalut kebaya berwarna putih gading. "Pernikahan ini, bukan cuma menyelamatkan reputasi keluarga kita. Lebih dari itu. Pernikahan ini, bisa menyelamatkan reputasi kamu yang dihancurkan oleh Miko." Lintang, mengembuskan napas berat setelah mengatakan hal itu. Memang, ini semua bukan semata demi nama besar Pradipta. Tapi justru, demi nama baik Shanum sendiri. Mereka, hanya ingin menyelamatkan Shanum dari cemoohan orang-orang, karna Shanum ditinggal Miko. Tepat, sehari sebelum pesta pernikahan mereka digelar. Akan ada banyak cibiran dan nyinyiran negatif, yang pasti akan melekat pada nama Shanum nantinya, jika pernikahannya batal. Untuk itulah, mereka memilih untuk tetap menikahkan Shanum. Meski, harus dengan mempelai pengganti. Lagi pula, mereka tak perlu khawatir Shanum jatuh ke tangan yang salah. Karna mereka semua tau, Ahsan adalah pria yang baik. Juga, mereka sudah saling kenal dan dekat sejak masih kecil dulu. Pasti, kehidupan rumah tangga mereka akan baik-baik saja. Pikir mereka seperti itu. Lintang meninggalkan Shanum di kamar bersama Erisa Pradipta, adik bungsu Shanum. "Senyum dong, Kak. Jangan sedih terus, lah," pinta Risa pada Shanum, sambil menarik kedua sudut bibir Shanum dengan jarinya. "Kamu, ga ngerti gimana perasaan Kakak, Ris," sentaknya, membuat Risa cemberut. "Apa Kakak pikir, cuma Kakak aja yang merasa terpaksa dengan pernikahan ini? Apa Kakak pikir, mas Ahsan dengan sukarela menjadi pengantin pengganti hari ini?" tanyanya penuh penekanan. Shanum tersadar kemudian. "Benar. Bukan hanya aku yang terpaksa menjalani pernikahan ini. Tapi, mas Ahsan pasti lebih terpaksa lagi karna harus menyelamatkan harga diriku," Bathin Shanum berbisik. "Lagian ya, Kak. Asal Kakak tau. Kakak, ga akan rugi jika menikah dengan mas Ahsan. Selain ganteng, Mas Ahsan itu tajir melintir," puji Risa. Memang, selama empat tahun kuliah di luar kota, Shanum sudah hampir putus komunikasi dengan Ahsan. Selain, karna dia yang fokus pada kuliahnya. Miko, juga membatasi pergaulan Shanum dengan lawan jenis. Kecuali, keluarganya saja. Di luar itu, Shanum dilarang berhubungan intens dengan laki-laki. Juga, saat Shanum memutuskan untuk melanjutkan bekerja di kota yang sama, akhirnya komunikasi mereka putus sama sekali. Hingga akhirnya, dia tak tau sama sekali kabar tentang Ahsan maupun Afnan yang merupakan teman masa kecilnya. "Sah." "Alhamdulillah ...." Tanpa mereka sadari, ternyata proses pengucapan ijab qobul telah selesai. Riuh suara orang yang mengucap 'SAH' dan hamdallah, menandakan bahwa kini Shanum telah menyandang status Nyonya Ahsan Nuzulan Kareem. Suara pintu yang dibuka, membuat kedua kakak beradik itu menolehkan wajah mereka. Wira, adik pertama Shanum muncul dari balik pintu. Meminta, agar Shanum segera keluar. Dituntun oleh Risa, Shanum berjalan pelan menuju ruang tengah yang sudah disulap sedemikian rupa menjadi tempat pelaksanaan ijab qobul. Lintang, menyambut dan membawa Shanum duduk tepat di samping Ahsan. Pak Penghulu, mengarahkan mereka untuk mengisi surat-surat pernikahan terlebih dahulu. Setelah selesai mereka menandatangani buku nikah, mereka pun dipersilahkan untuk melanjutkan proses selanjutnya. Yaitu, sungkeman. Dimulai, dari Shanum yang mencium tangan Ahsan. Lalu, setelahnya Ahsan mencium kening Shanum. Hambar. Itu, yang dirasakan. Tak ada, debar kebahagiaan. Tak ada, tangis haru yang menyeruak. Seolah, ini bukanlah proses yang sakral dalam hidup. Dan, selesai begitu saja. Lalu setelahnya, baru mereka sungkem pada orang tua mereka. Dilanjut, dengan sesi foto-foto bersama keluarga dan tamu yang menghadiri acara ijab qobul. Selesai semua proses pagi ini, mereka pun diminta beristirahat untuk mempersiapkan diri menghadapi acara resepsi sore nanti. *** Ahsan, memilih untuk merebahkan tubuh lelahnya di ranjang. Sedang Shanum, terpaku menatap Ahsan yang bisa langsung tertidur lelap. Merasa heran, bagaimana bisa Ahsan begitu santainya tertidur di kamar orang lain. Meski kini, status mereka sudah menjadi suami dan istri. "Hah ...," mendesah pelan, Shanum memilih untuk membersihkan tubuh terlebih dahulu di kamar mandi. Selesai membersihkan diri, Shanum melihat Ahsan masih terlelap dalam tidurnya. Dia pun, memilih untuk keluar dan mengambil makan. Karna, sejak pagi dia tak berselara makan sedikit pun. "Loh, kok kamu ada di dapur sih, Sayang" sapa Lintang, terkejut melihat keberadaan Shanum. "Aku laper, Mah. Masa iya, aku ga boleh makan, sih," jawabnya enteng, sambil memasukan nasi, potongan semur ayam, dan sambal ke mulutnya. "Iya, Mamah tau. Maksud Mamah, kok kamu makan sendirian aja disini. Kenapa, ga di kamar bareng suami kamu," omelnya. Shanum, tersedak. Membuatnya terbatuk dan menyemburkan sebagian makanan yang ada di mulutnya tadi. Tak ayal, rasa perih menjalar di hidung dan tenggorokan akibat sambal yang dimakannya. Buru-buru, Lintang memberikan air minum padanya. "Pelan-pelan dong Cha, makannya." Lintang mengingatkan, sambil menepuk punggung Shanum pelan. Shanum, memilih tak menanggapi ocehan Mamahnya. Ia, memilih fokus minum untuk menghilangkan rasa perih di tenggorokannya. "Cha," panggil Lintang lagi. "Yee, nih anak. Orang ditanya, juga. Kenapa, ga bareng sama Ahsan makannya?" tanyanya ulang. Jengah, terpaksa Shanum menjawab. "Mas Ahsan lagi tidur, Mah. Dari tadi, belum bangun dia," jawabnya jujur. "Ya, kamu bangunin dong, Cha. Kasian, itu Ahsan belum makan pasti. Egois banget, mikirin diri sendiri." Omelan Lintang, berlanjut sambil dia berlalu menuju halaman belakang rumah. Shanum, mendesah berat. Dilangkahkannya, kaki menuju kamar, tempat di mana lelaki yang baru saja bergelar suaminya tertidur pulas. "Mas." Shanum mengguncang tubuh Ahsan pelan. Ahsan, hanya bergumam. "Bangun, Mas." lagi, Shanum mengguncang tubuh Ahsan. Ahsan, yang kini tengah memeluk guling menyipitkan matanya. Tepat, ketika netranya terbuka sempurna, saat itu juga dia terlonjak kaget melihat Shanum di hadapannya. Saking kagetnya, dia sampai tak sadar bahwa dia bergerak mundur. Dan, sukses membuatnya terjatuh dari ranjang. Bunyi benturan b****g dengan lantai, terdengar begitu jelas. "Awh ... sshh ...." Ahsan, mendesis sambil mengusap bokongnya yang mendarat terlebih dahulu di lantai. Shanum, yang melihat Ahsan terjatuh pun, ikut terlonjak kaget dan langsung menghampiri Ahsan berniat membantunya bangun. "Ya ampun, Mas. Mas, ga pa-pa?" tanyanya cemas. Shanum, mencoba memegang tangan Ahsan. Namun, reaksi yang diberikan Ahsan membuat Shanum terdiam. Ahsan, menepis tangan Shanum. Sesaat, Ahsan sadar apa yang barusan dia perbuat pada Shanum pasti menyakiti hati Shanum. Terbukti, dari reaksi Shanum yang hanya terdiam setelah penolakan tadi. "Maaf," ucapnya menyesal. Shanum menggeleng. "Ga pa-pa. Mas, ga salah kok. Harusnya, aku ga sentuh Mas Ahsan secara sembarangan." Shanum, masih menundukkan kepalanya. Shanum teringat, jika Ahsan sangat menjaga batasannya dengan lawan jenis sejak dia memilih masuk ke sekolah islam saat SMA dulu. Jadi, bukan hal aneh baginya melihat reaksi Ahsan seperti tadi. Ahsan, mengusap wajahnya kasar. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Barulah, dia tersadar bahwa kini dia bukan berada di kamarnya. Melainkan, kamar Shanum, gadis yang baru saja dia sahkan menjadi istrinya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya seraya memijat keningnya yang dilanda pening. "Jam 11.32," jawab Shanum. Itu berarti, Ahsan sudah tidur hampir sejam lamanya. "Mas, mau makan dulu. Atau, ganti baju dulu?" tawar Shanum. Ahsan, melirik baju yang dipakainya. Benar, dia masih memakai kemeja putih yang ia gunakan saat akad tadi. "Saya, mau mandi dulu." Ahsan bangkit menuju kamar mandi. Namun, dia berbalik ketika sampai di depan pintu kamar mandi. "Bisakah, kamu ambilkan baju di mobil saya? Kuncinya, ada di kantung jas saya." Shanum, mengiyakan permintaan Ahsan. Dan, langsung berlalu setelah Ahsan masuk ke kamar mandi. Setelah meletakkan baju Ahsan di ranjang, Shanum memilih keluar dari kamar untuk menyiapkan makan siang sang suami
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD