Keanehan Shanum

1430 Words
Suasana taman belakang, yang telah disulap sedemikian rupa untuk resepsi sore ini begitu cantik. Tak kurang, dari seribu undangan telah disebar dua minggu sebelumnya. Dan, para undangan berhasil memenuhi taman itu. Sayang, kenyataan tak seindah khayalan Shanum. Nama mempelai pria yang tercetak di undangan, tak terlihat sama sekali batang hidungnya. Malahan, kehadiran pria lain yang berdiri di samping mempelai wanita begitu menarik perhatian para tamu undangan. Sebisa mungkin, Shanum tetap menyembunyikan rasa sedihnya. Menyambut semua tamu dengan senyumnya. Meski, tak dapat dipungkiri kadang rasa sakit itu begitu menusuk kala tamu undangan menanyakan mengapa lelaki yang bersanding dengannya bukanlah Miko. Shanum, hanya tersenyum tanpa mampu memberikan jawaban pasti. Tak berapa lama, segerombolan orang datang dengan riuhnya. Mereka, tak lain adalah teman dekat Ahsan. Dan, langsung memberikan selamat kepada kedua mempelai. "Wah, gila banget ini namanya. Kabar yang lu kasih kemaren tuh sukses bikin kita gempar, tau ga?" Lelaki berkemeja biru dongker itu, menjepit leher Ahsan dengan lengannya. Dia adalah Neo, sahabat sekaligus tangan kanan Ahsan dalam menjalankan bisnisnya. "Tau, nih. Mana ga ngasih info selanjutnya, lagi," sahut Sam, yang kini terlihat tampan dengan koko hijau toskanya. Serasi, dengan Delima, istri yang baru dinikahinya tiga bulan lalu. Selebihnya, ada Wahyu, Roni, dan terakhir, satu-satunya wanita dalam kelompok mereka, Fairuz. Mereka, satu persatu memberikan ucapan selamat sambil memeluk Ahsan. Kecuali Fairuz, yang hanya mengucapkan saja sambil tersenyum. "Kalian, tau darimana kalau acaranya di sini?" tanya Ahsan penasaran. Pasalnya, dia tak memberikan info apapun kepada para sahabatnya itu tentang lokasi acara pernikahannya. "Ya, tau dari Afnan, lah. Siapa lagi, kalau bukan dia," timpal Roni. Mereka mengobrol secara santai, karna memang pesta ini dibuat dengan konsep seperti itu. Pengantin, tak harus duduk sepenuhnya di pelaminan. Tapi, mereka juga bebas untuk berbaur dengan para tamu. "Tapi, gue ga nyangka kalau lu bakal nikah sama Shanum. Secara, dia kan udah kaya adik buat lu," canda Neo, yang memang sudah berteman dengan Ahsan sejak SMP dulu. Sesaat, Ahsan saling pandang dengan Shanum. Dirasa, ada yang aneh dengan gelagat mereka berdua, Sam pun mencoba menengahi. "Ya, namanya juga udah jodoh. Siapa yang bisa menyangka." Sam tersenyum seraya menepuk pundak Ahsan. Mereka mengangguk, setuju dengan ucapan Sam barusan. Demi menghindari pertanyaan aneh lainnya, Ahsan mengarahkan teman-temannya untuk mencicipi hidangan yang sudah disediakan. Setelah dilihat teman-temannya menemukan tempat duduk, Ahsan pun meminta ijin untuk bergabung bersama mereka. Sedangkan Shanum, memilih bergabung dengan orang tua mereka, karna teman dekatnya baru saja pulang tadi. Dari jauh, Shanum memperhatikan Ahsan. Dia terlihat tertawa bersama dengan temannya. Semua, terlihat normal di matanya. Sampai, dia melihat ke arah Fairuz. Entah kenapa, dia bisa melihat tatapan penuh cinta yang Fairuz tujukan untuk Ahsan. "Apakah, itu artinya mereka memiliki hubungan spesial?"  bathin Shanum bertanya. Saat Fairuz sadar sedang diperhatikan Shanum, dia pun memilih membuang muka. *** Menjelang maghrib, tamu yang datang sudah hampir tak ada. Hanya, tinggal beberapa tamu saja yang memang baru datang tadi, yang masih ada di lokasi. Ahsan, pamit membersihkan diri, karna adzan sebentar lagi berkumandang. Didikan papahnya, bahwa anak laki-laki harus sholat di masjid begitu melekat kuat padanya dan Afnan. Jika, tak ada kondisi darurat mereka memang jarang melewatkan jama'ah di masjid. Setelah pulang dari masjid, Lintang meminta Shanum untuk makan dengan Ahsan berdua saja di kamar. Dia, ingin anak dan menantunya bisa lebih menikmati waktu pengantin baru mereka. Meski terpaksa, Shanum tetap menuruti permintaan mamahnya. Sayangnya, mereka hanya makan dalam diam di kamar. Tak ada obrolan hangat, atau pun sekedar obrolan ringan di antara mereka. Masing-masing, lebih memilih menyibukkan diri dengan kegiatan mengisi perut sampai kenyang. Hubungan yang dulu begitu dekat, entah kemana perginya sekarang. Mereka berdua, kini layaknya orang asing yang terpaksa berada dalam satu ikatan suci. "Biar, aku aja yang bawa." Shanum, langsung mengambil alih piring kosong milik Ahsan. "Terima kasih." Hanya itu, yang Ahsan ucapkan. Hening. Kamar itu, bagaikan ruang kosong tak berpenghuni. Setiap sudut kamar, yang sudah didekor dengan nuansa merah menyala yang menggelora. nyatanya, tak mampu membangkitkan gairah sepasang penganti baru itu. Tak seperti pengantin baru kebanyakan, yang melewati malam pertama dengan berbagi peluh. Mereka, lebih memilih untuk berpetualang dalam mimpi mereka masing-masing. Tanpa ada sedikitpun niat, untuk membicarakan masa depan mereka kelak. *** Dering ponsel, menyadarkan Shanum dari lamunannya, Tertera, nama Mey di layarnya. Lekas, Shanum jawab panggilannya. "Assalamu'alaikum, Mah." Cepat, Shanum mengucap salam begitu panggilannya tersambung. Setelah menikah dengan Ahsan, Mey meminta Shanum merubah panggilan dirinya dari tante menjadi mamah. "Wa'alaikumsalam, Cha. Kamu lagi dimana?" tanya Mey, di seberang. "Aku lagi di rumah, Mah," jawabnya. "Kok, Mamah ucap salam di luar, kamu ga jawab dari tadi." Shanum tersentak mendengar ucapan Mey barusan. Buru-buru, Shanum bangkit dan berlari menuju pintu depan. Dan, benar saja. Dia, melihat ibu mertuanya itu sedang berdiri di depan pintu pagarnya sendirian. "Maaf ya, Mah. Aku, lagi di halaman belakang. Jadi, ga dengar Mamah ngucap salam di depan," ucapnya, menyesal sambil membuka pintu pagarnya. "Iya, Sayang. Ga pa-pa, kok," ucap Mey, memaklumi. Mereka pun, masuk ke dalam rumah bersamaan. "Loh, Cha. Ini, kok masakan masih banyak banget, sih"" tanya Mey, yang melihat meja makan dengan makanan yang masih utuh seperti belum tersentuh. Shanum terkesiap. Karna penolakan Ahsan tadi, membuat dia lupa untuk membereskan semua hidangan yang ada di meja makan. Mey, memutar tubuhnya menghadap Shanum. "Kalian, lagi ga berantem, kan? Hubungan kalian, baik-baik aja, kan?" Mey menyipitkan matanya menatap tajam pada Shanum. Shanum, yang tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu, mendadak bingung untuk memberikan jawabannya. "Cha," panggil Mey, yang melihat menantunya tak memberikan respon. "Eh, iya, Mah. Hubungan kami baik-baik aja, kok," bohongnya yang tak dipercayai oleh Mey. Mey, melirik lagi pada hidangan di atas meja. Lalu, terlintas sebuah pikiran, yang dia harap bukanlah sebuah kenyataan. "Cha, temenin Mamah pergi sebentar, ya," pinta Mey, sambil menarik menantunya menuju kamar. "Kamu siap-siap, ya. Mamah, tunggu di depan. Jangan lama-lama pokonya," lanjutnya kemudian berlalu menuju ruang tamu. Setelah Shanum siap, Mey segera mengajak Shanum keluar. Lima belas menit berlalu, akhirnya mereka sampai juga di sebuah rumah sakit swasta. Entah, apa tujuan Mey mengajak Shanum kesini. Yang pasti, dia hanya menuruti Mey saja. "Yuk, masuk," ajak Mey, setelah kurang lebih setengah jam menunggu antrian di depan poli kandungan. "Tapi, Mah. Aku, kan belum hamil," tolak Shanum halus. "Iya, Mamah tau. Mamah, cuma mau mastiin kondisi kamu lagi subur apa ga. Mamah, udah ga sabar pengen nimang cucu soalnya," kilah Mey sambil tetap menarik Shanum masuk. Terpaksa, Shanum menuruti pinta Mey. Dokter menyarankan untuk USG transvagina. Karna, dengan cara tersebut dokter dapat mengetahui kondisi rahim, tuba fallopi dan yang lainnya lebih cepat dan mudah. Dokter pun, meminta Shanum untuk berbaring di ranjang dan melepas celana dalamnya. Shanum, menurut dan segera mengikuti instruksi dokter tersebut. Beruntungnya, dokter yang menangani adalah wanita, jadi Shanum tak terlalu malu. "Maaf ya, Mbak," ijinnya. saat membuka kedua kaki Shanum. Dokter mengernyit heran, merasa ada yang aneh. Sebelum melanjutkan pemeriksaan, dokter tersebut ijin ingin berbicara pada Mey. "Sudah selesai, Dok?" Mey, merasa heran karna dokter sudah kembali duduk. Padahal, belum sampai lima menit memeriksa Shanum. "Sebenarnya, saya belum memeriksa menantu Ibu sama sekali. Tapi, ada yang ingin saya tanyakan terlebih dahulu pada Ibu," dokter menjeda ucapannya. Membuat Mey, semakin penasaran. "Apa, benar yang di dalam itu menantu Ibu?" tanyanya, sedikit ragu. Mey mengerjap, merasa aneh dengan pertanyaan dokter tersebut. "Ya, bener dong, Dok. Masa, saya bohong, sih." Mey, tertawa canggung. Dokter, mendesah pelan. "Begini, Bu. Dari apa yang saya lihat tadi, sepertinya dia masih gadis." "Maksud, Dokter?" Mey, menatap bingung. "Maksud saya, tak ada tanda-tanda bahwa menantu Ibu pernah berhubungan suami istri. Selaput daranya, masih utuh. Belum rusak, sama sekali." Mey, mematung. Gemetar tubuhnya, mendengar pernyataan dokter barusan. Ternyata, perkiraannya tepat. Tubuhnya lemas. Kilasan memori bertahun lalu, muncul dalam ingatannya. "Apakah, ini semua karma masa lalunya?" bathinnya bertanya. "Bu." tepukan pada punggung tangannya, menyadarkannya dari kenangan itu. "Ah, maaf, Dok. Jadi, gimana hasilnya?" tanya Mey memastikan. "Untuk saat ini, saya belum berani melakukan USG transvagina. Karna, saya ga tau sekuat apa selaput daranya. Khawati, saya malah merusaknya. Jadi, lebih baik kita tunda dulu ya, Bu," jelasnya. Mey mengangguk, setuju dengan saran dokter tersebut. Akhirnya, Mey pun pamit setelah mendapat resep vitamin saja. "Mah." Shanum merasa heran, melihat ibu mertuanya lebih banyak diam sejak keluar dari ruang dokter tadi. "Ah, maaf ya, Sayang. Kayanya, Mamah lelah banget. Bisa kamu temenin Mamah pulang ke rumah?" pintanya. Dengan senang hati, Shanum menuruti permintaan ibu mertuanya itu. Toh, dia berpikir untuk apa berada di rumah saat rumah terasa begitu sepi. Setidaknya, mungkin dia bisa mengobrol lagi dengan Ibu mertuanya nanti. Sedang di resto miliknya, Ahsan menatap heran pada pesan yang dikirimkan Mey untuknya barusan. "Ga biasanya, mamah kirim pesan kaya gini. Ada apa, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD