6. Bukan Tulang Rusuk

2087 Words
“Tidak usah membahas hal pribadi,” ucap Farel seraya terkekeh. Aleta pun tertawa sembari menganggukkan kepalanya.  Aleta menatap wajah Farel yang masih tampan seperti saat mereka kuliah. Farel dulu adalah mahasiswa pendiam, tapi cukup populer karena prestasinya. Seingat Aleta, Farel mempunyai sahabat perempuan yang selalu Farel sebut-sebut, yaitu Ara. Farel dan Ara sudah seperti kembar siam yang tidak bisa dipisahkan. Setiap hari yang Farel bahas hanya Ara, Ara dan Ara. Aleta jadi meratapi nasib Ara saat ini, bagaimanakah keadaan gadis itu yang kini ditinggal menikah oleh Farel.  “Dokter Aleta,” panggil Farel saat mendapati Aleta tengah melamun. Aleta tergagap, gadis itu pun duduk dengan tegak.  “Ah maafkan saya, saya sedang mengenang masa kuliah,” ujar Aleta. Farel pun mengangguk, pikirannya melayang di masa-masa kuliah dulu.  Tidak ada yang spesial di masa kuliah Farel, hanya saja sejak dulu dia mengagumi Aleta. Aleta gadis mandiri, cantik dan berprestasi. Aleta juga tipe gadis yang pekerja keras. Tidak Farel sangka kalau mereka malah dipertemukan lagi di sini.  “Maafkan saya jadi tidak profesional. Apa kita bisa mulai wawancaranya?” tanya Aleta. “Kita profesional di tempat kerja, setelahnya kita anggap selayaknya teman satu sama lain. Tidak perlu canggung,” ucap Farel sersaya mengusung senyum manisnya. Aleta tersipu mendapati senyum manis Farel.  Aleta juga ingat dulu selain Ara, Farel mempunyai sahabat bernama Azka dan Rex yang sering pria itu sebut. Mereka sama-sama tampan, tapi yang paling manis adalah Farel. Buru-buru Ara menggelengkan kepalanya, ia mengenyahkan pemikiran tentang mengagumi suami orang.  Farel membuka berkas yang berisi curriculum vitae Aleta di mejanya. Farel melontarkan pertanyaan-pertanyaan pada Aleta yang dijawab baik oleh gadis itu. Farel duga juga apa, Aleta sangatlah pintar.  Sesi wawancara itu ditutup oleh kabar baik, yaitu Farel menerima Aleta menjadi dokter baru di rumah sakitnya. Farel berdiri, cowok itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Aleta. Aleta pun menyambut dengan semangat.  “Selamat bekerja, Dokter!” ujar Farel.  “Terimakasih, mohon bantuanya,” jawab Aleta. Farel mengangguk, Farel mengisyaratkan pada Aleta untuk keluar dari ruangannya. Setelah berpamitan, Aleta pun keluar dari ruangan Farel. Aleta disuruh menemui Dokter Nisa untuk tahap selanjutnya dia akan menempati bagian mana.  Farel mendudukkan dirinya kembali, cowok itu menegakkan pigura foto yang tadi dia tutup. Tangan Farel mengusap pigura itu yang sedikit lecet di sisi pinggirnya.  Kalau ada nominasi orang plin plan di dunia, mungkin pemenangnya adalah Farel. Farel menyayangi Ara, dia tidak ingin kehilangan Ara dan selalu ingin Ara di sampingnya, tapi otaknya masih memikirkan cara menemukan orang yang dia cintai selain Ara. Farel sudah punya kebahagiaan karena menikahi Ara, tapi Farel seakan tidak pernah puas. Farel ingin menemukan orang yang mencintainya dan dia cintai. Dulu sebelum dia menikah dengan Ara, mama  dan papanya pernah berpesan kalau dia harus menjadi pria yang setia. Harus bersyukur dengan apa yang dia miliki. Namun otak Farel terus menolak. Logika Farel tidak terima. Dia masih ingin berkelana mencari sang pujaan hatinya. Farel juga yakin kalau Ara bukanlah bagian dari tulang rusuknya. Papanya juga pernah mengancam kalau dia berani selingkuh, papanya akan mencabutnya dari status anak, sungguh papanya sangat kejam.  Karena tidak mau berpikir yang macam-macam lagi, Farel segera keluar dari ruangannya. Farel ada pembedahan tumor abdomen pada anjing pukul sembilan pagi. Pria itu harus mempelajari data anjing tersebut sebelum melakukan pembedahan. Hampir setiap hari Farel membedah kucing atau anjing yang terkena tumor. Para pecinta hewan kurang memperhatikan peliharaan mereka hingga memberikan makanan instan sembarangan, akibatnya banyak kucing dan anjing yang mempunyai penyakit tumor abdomen, tumor pada a**s anjing, tumor pada leher hewan, tumor di limpa hewan, di v****a hewan dan tumor di p******a anjing betina.  Kecintaannya pada hewan-hewan membuat Farel mendedikasikan ilmunya dengan sungguh-sungguh. Dulu awalnya dia ingin menjadi dokter bedah manusia, tapi pikirannya berubah dengan seiringnya waktu saat dia mulai mencintai kucing adn hewan-hewan lainnya.  Hari ini ada dua operasi yang harus Farel lakukan dan beberapa pemeriksaan. Farel keluar dari ruangan operasi tepat pada jam makan siang, laki-laki itu segera mencuci tangannya di sebelah ruang operasi. Belum selesai Farel mencuci tangannya, seorang perempuan masuk mendekati Farel.  “Dokter,” sapa Farel terlebih dahulu. Aleta menganggukkan kepalanya dan mencuci tangan di sebelah Farel. Aleta ikut dalam operasi hari ini.  “Bagaimana kalau kita makan siang?” tanya Aleta menawarkan diri.  “Boleh,” jawab Farel yang menyambut hangat. Setelah mereka mencuci tangan, Farel dan Aleta segera menuju ke kantin seraya berjalan beriringan berdua.  Mata para dokter di sana yang kebetulan berpapasan pun membulat sempurna. Selama ini tidak ada yang berani berjalan beriringan dengan Farel karena Farel pun selalu menolak. Farel hanya mau berjalan beriringan dengan Ara, istrinya. Namun kini Dokter baru sudah berani berdekatan. Mata Dokter Nisa pun memicing, matanya hampir juling saking fokusnya menatap siku Farel dan Siku Aleta sampai bersentuhan saking mepetnya.  Farel tidak peduli saat merasakan banyak tatapan mengarah padanya. Setelah memasuki kantin rumah sakit, Farel dan Aleta memesan makanan mereka dan duduk berhadap-hadapan. Farel melupakan satu fakta bahwa sang istri selalu membawakan makan siang, dan kini untuk pertama kalinya dia makan di luar.  “Dokter, kalau  boleh tau, Dokter Aleta benar belum menikah?” tanya Farel. Farel sangat penasaran saat membaca curriculum vitae milik Aleta. Ia tidak percaya kalau perempuan baik, cerdas dan cantik itu masih belum menikah. Dulu seingat Farel, Aleta banyak digandrungi para mahasiswa.  “Belum, mungkin belum ada yang mau sama saya,” jawab Aleta seraya terkekeh.  Farel mengangguk-anggukkan kepalanya. Dua mangkuk soto pun tiba serta dua botol air mineral. Penjaga kantin itu meletakkan di meja Farel dan Aleta.  “Waah baunya enak,” ucap Aleta. “Aku baru pertama kali makan di sini juga,” ujar Farel.  “Lah dokter kemana saja sampai pertama kali makan di sini?”  “Tidak perlu formal kalau hanya berdua. Aku biasa makan masakan istriku,” ujar Farel.  “Waah enak yang sudah punya istri. Makan saja ada yang ngurusin,” ucap Aleta.  “Lalu bagaimana keadaan sahabat kamu? Dia dulu sangat bergantung sama kamu, apa dia terima kamu menikah dengan orang lain?” tambah Aleta.  “Dialah istriku,” jawab Farel tertawa.  “Benarkah?” tanya Aleta tidak percaya. Farel menganggukkan kepalanya.  “Kalau bukan aku yang menikahinya, tidak akan ada pria yang mau menikahinya,” ucap Farel lagi. Aleta meletakkan sendoknya, entah kenapa dia yang merasa sakit hati mendengar ucapan Farel. Farel merendahkan istrinya sendiri di hadapannya, belum lagi Farel mengatakan tanpa rasa bersalah sedikit pun.  “Apa maksudmu, Farel?” tanya Aleta.  “Ara tipe gadis manja, tidak bisa apa-apa, aku hanya menawarkan diri menikahinya karena kasihan melihat dirinya,” jawab Farel.  “Farel, kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?” tanya Aleta.  “Aku sadar, aku memang tidak mencintainya,” aku Farel dengan jujur.  Di belakang Farel, Brama mengepalkan  tangannya dengan erat. Wajah Brama sudah memerah menahan amarahnya yang akan meluap. Dulu saat Ara menikah dengan Farel, dia lah yang paling tidak setuju. Bagi Brama, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, dulu Farhan papa Farel pun tukang selingkuh, dan kini Farel sudah menunjukkan sifat aslinya.  Brama pergi meninggalkn Farel seraya mematikan rekaman suara di hpnya. Brama ke rumah sakit mengantar Ara yang membawa banyak cake dan makan siang suaminya, tapi saat ke ruangan Farel, Farel tidak ada di tempatnya. Brama berinisiatif mencari Farel sedangkan Ara menunggu di ruangan suaminya. Dan apa yang Brama lihat sekarang sungguh membuat hati Brama sakit dibuatnya. Meski Ara adalah sepupu jauhnya, Brama sangat menyayangi Ara. Mendengar ucapan jujur Farel membuat Brama ingin membunuh Farel saat ini juga.  Brama sampai ke ruangan Farel, Ara pun dengan spontan berdiri, “Farel di mana, Mas?” tanya Ara.  “Farel masih ada pemeriksaan, kamu tunggu di sini saja sampai dia kembali,” ucap Brama. Ara pun dengan mudah percaya, cewek itu segera duduk lagi di sofa menanti sang suami datang. Di pangkuan Ara ada kotak makan yang berisi makanan kesukaan Farel. Di sampingnya pun juga banyak cake yang sudah dia siapkan dan akan dia bagi nanti.  “Mas Brama pulang saja. Nanti aku pulang sama Farel,” ucap Ara.  “Kenapa tidak pulang sama Mas saja? Mas bisa tunggu kok. Daripada kamu pulang sore hanya nungguin Farel,” kata Brama.  “Mas, Farel suamiku, jangan gunakan kata hanya,” ucap Ara cemberut. Brama memalingkan wajahnya, tiba-tiba cowok itu keluar ruangan Farel dan menutup pintu dengan kencang sampai membuat Ara berjingkat kaget.  Ara mengusap dadaanya sebentar, gadis itu pun kembali duduk anteng menanti suaminya. Di hati Ara sangatlah gelisah, Ara takut suaminya akan jatuh sakit karena melewatkan jam makan siang. Ara ingin mencari Farel sendiri dan menyeret pria itu agar makan terlebih dahulu, tapi dia tidak bisa melakukannya. Ara tidak mau bertemu banyak orang, Ara takut.  Lima menit, sepuluh menit, sampai setengah jam, Farel tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ara sudah berdiri dengan gelisah sambil menenteng kotak makannya. Tidak biasanya Farel akan meninggalkan jam makan siang, apalagi Farel juga sudah pasti hapal istrinya akan datang. Ceklek! Suara pintu terbuka membuat Ara menatap ke arah sana, “Sejak kapan rumah sakit ini tidak ada jam istirahatnya, hah?” teriak Ara dengan kencang. Farel dan Aleta yang memasuki ruangan pun tersentak.  Mata Ara membulat saat mendapati seorang wanita cantik di hadapan suaminya. Pikiran Ara makin berkecamuk. Farel meninggalkan makan siang lalu datang bersama seorang perempuan.  “Ara, kok kamu ada di sini?” tanya Farel mendekati sang istri.  “Kamu lupa kalau setiap hari aku datang ke sini mengantarkan makan siang?” tanya Ara balik.  “Tapi aku sudah makan,” jawab Farel. Ara terdiam, cewek itu mengendus bau mulut suaminya. Ada bau khas soto, Ara menundukkan kepalanya melihat tempat makan yang dia bawa.  “Oh sudah makan ya,” kata Ara yang menampilkan raut sedih.  “Sekali-kali makan di luar gak apa-apa, biar makanannya aku saja yang makan,” ucap Ara lagi yang kembali duduk di sofa, Ara membuka bekalnya dan menatap masakannya yang lumayan banyak. Biasanya dia makan berdua dengan suaminya.  Aleta menatap Ara yang sama sekali tidak menyambutnya. Benar kata Farel kalau Ara tidak bisa memperlakukan orang lain dengan baik karena gadis itu cenderung tidak bisa berbaur dengan orang lain. “Ara, kenalkan ini dokter baru sekaligus teman satu kampus ku,” ucap Farel pada Ara. Ara mendongakkan kepalanya.  “Hai Dokter, saya Ara. Istri Dokter Farel,” ucap Ara mengulurkan tangannya. Aleta menyambutnya, cewek itu melempar senyum pada Ara.  “Apa dokter Aleta harus mengikuti Dokter Farel sampai ke ruangannya? Tadi kan sudah makan siang bersama,” ucap Ara dengan asal.  “Ara!” tegur Farel. Ara tidak menanggapi, Ara mulai memakan makanannya.  “Ara, aku ada urusan dengan Dokter Aleta. Kamu pulang saja, ya!” ucap Farel meraih kotak makan Ara dan menutupnya.  “Tapi aku ingin di sini. Pulang sama kamu nanti sore,” ucap Ara.  “Tidak bisa, Ara. Aku ada urusan. Kamu makannya di rumah saja,” ucap Farel dengan keukeuh.  “Mas Brama sudah pulang duluan, aku pergi naik apa?” tanya Ara.  “Bisa naik taksi online. Cepat gih, beresin barang-barang kamu!’ ucap Farel sedikit menarik kasar tangan sang istri. “Aku gak mau, aku mau di sini.”  “Ara, menurutlah. Kamu pulang saja. Lagian kamu tidak ngapa-ngapain di sini. Hanya makan saja kamu lanjutin di rumah.”  “Aku lapar, aku mau makan dulu. Nanti aku akan telpon Mas Brama biar balik ke sini.”  “Sekarang, Ara!” tegas Farel menyentak tangan Ara kasar. Kotak makan yang dibawa Ara pun terjatuh. Nasi, lauk pauk dan sayur berceceran di lantai. Ara menatap nanar masakannya. Cewek itu bergantian menatap Aleta yang hanya diam menatap pertengkaran Farel dan dirinya. Sebagai seorang wanita, Aleta sama sekali tidak  merasa sungkan masuk di pembicaraan rumah tangga orang.  “Untuk pertama kalinya, suamiku tidak menghargai masakanku,” ucap Ara menatap nanar masakannya.  “Urus saja urusanmu, kalau belum selesai tidur saja di sini. Aku pergi,” ucap Ara lagi meninggalkan suaminya seraya berlari keluar ruangan.  Dadaa Ara terasa sesak seperti ada yang menghimpitnya dengan keras. Air matanya juga mendesak ingin keluar. Ara tebak kalau Farel makan siang dengan Aleta. Ara ingat Farel pernah menceritakan Aleta waktu dulu saat Farel masih kuliah. Farel membanggakan Aleta, katanya jadi wanita harus seperti Aleta yang mandiri, cantik dan pintar.  Ara tidak masalah bila suaminya makan siang dengan Aleta, tapi cara suaminya menyuruhnya pergi sama sekali tidak baik. Lagi pula urusan apa yang dimaksud suaminya sampai suaminya keukeuh menyuruhnya pulang. Belum lagi Aleta juga ikut masuk ke ruangannya, biasanya kalau dokter lain ada urusan maka larinya ke dokter Nisa. Ara menghapus air matanya saat beberapa dokter akan berpapasan dengannya. Ara tidak mau terlihat menangis yang nantinya akan menimbulkan asumsi buruk. Ara harus menjaga nama baik suaminya agar mereka tidak menerka-nerka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD