5. Teman Lama

1346 Words
“Bee, aku berangkat dulu, ya. Kamu hati-hati di rumah. Kalau kecapean masak, kamu istirahat, bisa tidur atau nonton kartun. Atau kalau kamu mau belanja online, kamu bisa belanja sepuas kamu,” oceh Farel menepuk-nepuk kepala sang istri dengan pelan. Saat ini Farel dan Ara berada di teras rumah. Ara mengantar suaminya sampai suaminya masuk ke mobil, itu sudah kebiasaannya semenjak menikah.  “Siap, nanti aku habiskan uang kamu,” jawab Ara seraya bercanda. Farel tidak yakin kalau istrinya akan menghabiskan uangnya. Istrinya sangat hemat, kecuali kalau bahan makanan dan kue, istrinya bisa khilaf.  “Ingat juga kalau kamu mau ke rumah sakit, sama Mas Brama, ya!”  “Siap, Farel. Mas Brama juga pasti siap sedia kok nganter aku. Lagian aku kan gak bisa nyetir kendaraan apapun.”  “Kapan-kapan aku ajarin, biar kalau ada sesuatu yang repot kamu bisa naik kendaraan sendiri,” ujar Farel seraya tersenyum.  “Kalau Mas Brama gak ada, kan masih ada kamu yang siap membawaku,” kata Ara.  “Kalau ada repot-repot nanti malah ngerepotin kalau kamu gak kunjung belajar,” ujar Farel mencium kening Ara. Ara tercekat mendengar ucapan Farel. Begini lah suaminya, selalu mengucapkan kata-kata menyakitkan. Mungkin Farel tidak sadar akan kata-kata yang pria itu ucapkan sendiri, tapi itu tepat melukai ulu hati Ara.  Ara pun jadi bertanya-tanya, apakah Farel benar-benar kerepotan karena dirinya yang tidak bisa apa-apa? Kalau memang iya, Ara tidak apa-apa bila harus menuruti ucapan suaminya. Ara tersenyum tipis, perempuan itu mengambil tangan suaminya dan mencium punggung tangan suaminya.  “Hati-hati di jalan, yah,” ucap Ara tersenyum pada Farel. Farel menganggukkan kepalanya, pria itu melenggang menuju mobilnya dan segera keluar dari pekarangan rumah mereka. Ara menatap kepergian suaminya dengan nanar, lagi-lagi gerimis menghujani hati Ara.  Dulu saat Farel menikahinya, Ara selalu yakin kalau Farel bisa mengimbanginya. Farel bisa menerima apapun keadaannya, tapi lambat laun Farel menunjukkan keberatannya dengan sikap Ara. Ara mengenyahkan pemikiran buruknya, dibandingkan kata-kata Farel yang selalu melukai hatinya, Ara selalu mengingatkan pada dirinya sendiri kalau Farel adalah pria baik. Kebaikan Farel lebih banyak dari keburukan dan kata-kata pedas pria itu. Sejak kecil mereka sudah bersama, seharusnya Ara sadar kalau Farel memang baik, dan mungkin kata-kata pedas itu hanya suatu kekhilafan.  “Berpikir positif, Ara!” ucap Ara menepuk-nepuk kepalanya dengan pelan.  “Selain Farel, tidak akan ada laki-laki yang mau menikahimu,” ucap Ara lagi. Ara segera masuk ke rumahnya dan menuju dapur. Ara sudah kenyang sarapan bersama suaminya, saat ini dia akan menyiapkan banyak cake untuk dokter-dokter di rumah sakit suaminya.  Ara sangat suka memasak dan membuat kue, apalagi kalau ada orang yang mau memakan masakannya, pasti Ara akan sangat senang. Dulu saat dia pertama kali belajar memasak, Farel lah bahan percobaannya. Saat itu Farel selalu mengejek masakannya tidak enak, tapi pria itu tetap memakannya hingga tandas. Mengingat moment itu membuat hati Ara menghangat.  Dari TK, SD, SMP, SMA, mereka terus bersama. Ibarat kata mereka sudah sama-sama sekonyong-konyong koder, tidak bisa dipisahkan. Setiap pulang sekolah, kalau Ara tidak ke rumah Farel, maka Farel lah yang akan ke rumah Ara. Keluarga mereka pun sudah kenal dekat, dan dengan menikahnya Ara dan Farel membuat hubungan mereka dan keluarga makin erat. Dalam gundah gulana hubungan mereka, Ara selalu berdoa semoga pernikahannya dengan Farel akan langgeng sampai akhir hayat mereka. Karena kalau mereka retak, hubungan dua keluarga yang harmonis pun kena imbasnya juga. “Farel yang dulu sangat lucu,” ucap Ara memasukkan tepung ke bowl yang sudah dia beri bahan lainnya. Seraya membuat cakenya, sesekali Ara akan tertawa sendiri. Menertawakan persahabatannya dengan Farel yang sejak TK. Dulunya Farel sangatlah narsis, dia selalu merasa sok tampan. Kata-kata menyakitkan Farel tadi seakan menguar begitu saja tatkala kilasan hubungan mereka sejak kecil masuk di pikiran Ara. Ara membuat cakenya dengan hatinya yang penuh bermekaran bunga-bunga. Hubungannya dan Farel sejak dulu sangatlah indah.  “Tidak ada yang bisa mengalahkan rasa cake yang aku buat, karena aku menggunakan bumbu yang tidak digunakan pembuat lain,” ucap Ara terkikik geli.  “Em … memangnya bumbu apa?” tanya sebuah suara membuat Ara menoleh. Pria dengan setelan kaos hitam juga celana jeans hitam itu bersandar di kusen pintu dapur Ara.  “Mas Brama ngagetin aja,” ujar Ara kembali fokus dengan kuenya. Brama adalah kakak sepupu jauh Ara. Mas Brama kerjaannya siap sedia mengantar Ara ke mana pun Ara pergi. Pria itu juga yang dipercaya Farel untuk menjaga sang istri.  Brama sendiri bekerja sebagai fotografer dan menjual hasil tangkapannya di media online. Jadilah banyak waktu luang yang dimiliki Brama. Brama tidur saja uangnya sudah ngalir menuju kantongnya.  “Jadi bumbu apa yang kamu maksud?” tanya Brama mengulangi.  “Tentu saja karena bumbu cinta. Tanpa cinta masakan tidak akan seenak masakanku,” jawab Ara penuh percaya diri.  “Ohh .,. pantesan setelah makan masakan kamu, hatiku rasanya berdebar-debar, ternyata karena menerima cintamu,” kata Brama seraya tertawa. “Enak saja. Cintaku khusus untuk Farel,” ujar Ara. Brama terkekeh kecil, cowok itu mengambil kemasan-kemasan cake berukuran sedang dan menatanya untuk membantu Ara.  “Mas, gak ada niatan memotret rotiku apa? Siapa tau laku dijual,” tanya Ara.  “Nanti suamimu ngamuk. Suamimu pernah menghantam rahangku karena aku memotret kamu dan mengunggah di **. Katanya cantiknya istrinya tidak boleh diumbar,” jelas Brama.  “Bukan aku, Mas. Tapi rotinya,” ujar Ara mengulangi.  “Malas ah. Aku gak mau memotret apapun yang berhubungan dengan kamu,” jawab Brama.  Yang dikatakan Brama memang benar adanya. Farel pernah tiba-tiba menghantam rahangnya karena marah saat sang istri dia pajang di ** miliknya yang pengikutnya sudah ratusan ribu. Brama pikir Farel sangatlah possessive kepada sang istri. Brama juga berpikir kalau Farel sangat mencintai Ara hingga pria itu tidak ingin istrinya menjadi tontonan publik. Padahal waktu itu Ara tengah memakai piyama panjang dan tertutup.  Di sisi lain, Farel tengah berjalan di koridor kantornya. Sepanjang jalan dia menjawab dengan ramah sapaan dari rekan dokternya. Farel juga menatap beberapa orang yang tengah menjinjing kandang yang berisi hewan, baik kucing, anjing atau hewan lainnya.  “Dokter Farel,” panggil seorang perempuan yang berlari tergopoh-gopoh menghampiri Farel.  “Iya Dokter Nisa?” tanya Farel. Dokter Nisa adalah Dokter senior sekaligus orang yang dia percaya untuk menjadi asistennya, atau bisa dikatakan sebagai partner inti.  “Dok, ada Dokter baru yang hari ini wawancara dengan Anda. Anda sudah menyetujuinya kemarin,” kata Dokter Nisa.  “Suruh datang ke ruangan saya sepuluh menit lagi!” kata Farel. Dokter Nisa menganggukkan kepalanya seraya mengundurkan diri. Farel pun segera bergegas menuju ke ruangannya.  Farel memasuki ruangannya, pria itu mendudukkan dirinya di kursi kebesarannya. Sebelum mengecek>“Sejak dulu tidak pernah berubah, selalu manis,” kata Farel memuji istrinya. Dalam foto itu sang istri tengah tersenyum manis. Farel menatap foto di sebelahnya, pigura kecil yang menampilkan fotonya dan foto sang istri. Itu saat dirinya lulus kuliah. Ia berpose menggendong Ara sedangkan Ara mengangkat tinggi-tinggi topi wisudanya. Hari itu sangat membahagiakan. Lebih tepatnya setiap hari yang dia lalui bersama Ara tetaplah jadi hari yang membahagiakan.  Tok tok tok! Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Farel tentang Ara. Pria itu menyuruh sang tamu untuk masuk. Suara pintu terbuka dan tertutup kembali pun terdengar. Farel mendongakkan kepalanya, seorang wanita cantik yang sudah dia kanal berdiri di sana.  “Dokter Farel,” pekik Aleta seraya tersenyum manis.  “Dokter, Aleta. Kita bertemu lagi,” kata Farel seolah menyambut.  Dengan langkah penuh dengan kepercayaan dirinya, Aleta menghampiri Farel. Aleta berdiri di hadapan teman lamanya seraya tersenyum.  “Waah tidak saya sangka teman yang dulunya satu kelas sama saya, kini menjadi direktur rumah sakit,” ucap Aleta dengan bahasa sopan.  “Biasa saja, Dokter Aleta. Silahkan duduk!” ujar Farel. Aleta pun mengiyakan, perempuan itu mendudukkan dirinya di depan Farel. Kini mereka hanya terbatas oleh meja.  “Maaf, Dokter Farel. Saya dengar Anda sudah menikah, ya. Wah selamat atas pernikahan Anda,” kata Aleta. Entah kenapa untuk kali ini Farel merasa tidak nyaman dengan fakta bahwa dia sudah menikah. Farel hanya berdehem dengan kecil.  “Apakah di pigura itu adalah foto istri Anda?” tanya Aleta lagi.  Brakk! Farel menutup kasar pigura kecil yang bergambar foto Ara dan dirinya. Aleta tersentak kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD